Sebelumnya → Hijrah Rasa (5)
"Aku ke teman-teman dulu, ya." Pamit Gema, yang fokusnya tentu pada Gita. "Ntar pulang bareng, bisa?" Lanjut pemuda itu sedikit berbisik namun, masih terdengar oleh Qia.
"Aku ada, lho, Ge." Tanpa maksud menyindir cowok itu, Qia menatap serius manik mata yang terlihat sebal.
Ini bukan kali pertama Qia, teman sepermainan Gita itu menganggu. Tujuannya baik, Gema tahu itu. Tapi ... ya, gimana ya?
"Iya, iya." jawab Gema kesal sambil berlalu. Malas, ntar dapat kultum lagi.
"Kesempatan banget, sih." Senggol bahu Qia ke Gita setelah ambil posisi duduk.
"Gue lagi, gak mood dikasih kultum, Qi." jawab Gita yang sepertinya terkena virus malas Gema.
"Aku juga lagi malas kasih kultum, tuh." ujar Qia cuek.
Gaya temannya ini seketika membuat darah Gita naik. "Dengar, ya, Sayang. Kita itu pacarannya, pacaran sehat. Dengar, pa ca ran se hat. Jangankan kiss-kissan, pegangan aja gak!" Bela Gita penuh emosi.
"Nah, ayo ... ngarep 'kan, dapat permen kiss? Aku gak bilang gitu, lho tadi."
"Ish. Nyebelin!" rajuk Gita membuat Qia terkekeh.
"Git, sekarang kamu bisa bilang sehat. Tapi, nanti, ada jaminan gak, tuh, si bulat ungu gak ada diantara kalian? Lagi jalan berdua, gak sengaja tangan saling bersenggolan. Trus, mulai digenggam. Trus, didekap. Trus, melangkah ke tempat yang agak lengang. Trus ...."
"Iya, Qi, iya. Pacaran sehat itu cuma bisa setelah nikah. Tapi, gimana dengan hati gue yang sudah terlanjur ini?"
Tangis Gita pecah. Dia juga tidak menyangka akan membuat soulfriend-nya ini baper. Kalau seperti ini, tidak akan mempan jika diberi nasihat lagi. Jadinya, Qia hanya mengusap-usap punggung Gita yang posisinya menungkupkan kepala di paha Qiara.
"Lo karna belum pernah ngerasain gimana punya perasaan nyaman sama cowok, sih, Qi. Jadi gampang ngomong gak boleh pacaran. Coba aja nanti lo sempat naksir cowok."
Bagaimanapun, yang dikatakan Gita benar. Qia belum pernah di posisi ada rasa yang tak biasa di hatinya. Qia juga tidak tahu, ternyata masalah hati seperti ini itu berat bagi remaja yang sedang mencari jati diri.
Mungkin ini yang dimaksud ustazahnya waktu di pesantren. Jangan pernah bermain dengan hati, sekalipun mengujinya. Berat. Jadi, selagi bisa menghindar, lebih baik jauh-jauh saja dari yang bukan mahram kita.
Aish. Kali ini, Qia merasa langkahnya benar-benar salah. Dalam hati, Qia istighfar, berdoa agar Allah tidak menguji hatinya dengan yang katanya virus merah jambu itu. Na'udzubillah mindzalik.
◆◆◆
"Aku ke teman-teman dulu, ya." Pamit Gema, yang fokusnya tentu pada Gita. "Ntar pulang bareng, bisa?" Lanjut pemuda itu sedikit berbisik namun, masih terdengar oleh Qia.
"Aku ada, lho, Ge." Tanpa maksud menyindir cowok itu, Qia menatap serius manik mata yang terlihat sebal.
Ini bukan kali pertama Qia, teman sepermainan Gita itu menganggu. Tujuannya baik, Gema tahu itu. Tapi ... ya, gimana ya?
"Iya, iya." jawab Gema kesal sambil berlalu. Malas, ntar dapat kultum lagi.
"Kesempatan banget, sih." Senggol bahu Qia ke Gita setelah ambil posisi duduk.
"Gue lagi, gak mood dikasih kultum, Qi." jawab Gita yang sepertinya terkena virus malas Gema.
"Aku juga lagi malas kasih kultum, tuh." ujar Qia cuek.
Gaya temannya ini seketika membuat darah Gita naik. "Dengar, ya, Sayang. Kita itu pacarannya, pacaran sehat. Dengar, pa ca ran se hat. Jangankan kiss-kissan, pegangan aja gak!" Bela Gita penuh emosi.
"Nah, ayo ... ngarep 'kan, dapat permen kiss? Aku gak bilang gitu, lho tadi."
"Ish. Nyebelin!" rajuk Gita membuat Qia terkekeh.
"Git, sekarang kamu bisa bilang sehat. Tapi, nanti, ada jaminan gak, tuh, si bulat ungu gak ada diantara kalian? Lagi jalan berdua, gak sengaja tangan saling bersenggolan. Trus, mulai digenggam. Trus, didekap. Trus, melangkah ke tempat yang agak lengang. Trus ...."
"Iya, Qi, iya. Pacaran sehat itu cuma bisa setelah nikah. Tapi, gimana dengan hati gue yang sudah terlanjur ini?"
Tangis Gita pecah. Dia juga tidak menyangka akan membuat soulfriend-nya ini baper. Kalau seperti ini, tidak akan mempan jika diberi nasihat lagi. Jadinya, Qia hanya mengusap-usap punggung Gita yang posisinya menungkupkan kepala di paha Qiara.
"Lo karna belum pernah ngerasain gimana punya perasaan nyaman sama cowok, sih, Qi. Jadi gampang ngomong gak boleh pacaran. Coba aja nanti lo sempat naksir cowok."
Bagaimanapun, yang dikatakan Gita benar. Qia belum pernah di posisi ada rasa yang tak biasa di hatinya. Qia juga tidak tahu, ternyata masalah hati seperti ini itu berat bagi remaja yang sedang mencari jati diri.
Mungkin ini yang dimaksud ustazahnya waktu di pesantren. Jangan pernah bermain dengan hati, sekalipun mengujinya. Berat. Jadi, selagi bisa menghindar, lebih baik jauh-jauh saja dari yang bukan mahram kita.
Aish. Kali ini, Qia merasa langkahnya benar-benar salah. Dalam hati, Qia istighfar, berdoa agar Allah tidak menguji hatinya dengan yang katanya virus merah jambu itu. Na'udzubillah mindzalik.
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku