Sudah beberapa hari ini, Sofija tampak gelisah. Pasalnya, Jian tidak pernah tampak lagi semenjak dirinya secara tidak langsung menolak menikah dengan lelaki berwajah teduh itu. Salahnya memang, andai saja dia memintanya untuk menunggu beberapa saat.
"Aaaahh! Menyebalkan. Makanya, dari dulu aku tidak mau berurusan dengan laki-laki. Ribet!" Kesalnya meninju-ninju guling.
"Apanya yang ribet, tuan Putri?" tanya dayang Biyu yang baru masuk ke kamar Sofija. Tampak sepucuk surat di tangan wanita paruh baya itu.
"Tidak ada, Biyu. Ribet meluruskan tali sarung guling yang entah kenapa jadi kusut." Sofija tampak sibuk menggulung, lalu mengulur tali sarung guling.
Dayang Biyu yang tahu akan kepura-puraan sang Putri, terkekeh pelan sambil mengambil posisi duduk di dekat Sofija.
"Talinya tampak baik-baik saja Putri. Hati yang sedang memegang talinya yang terlihat kusut." Senyum dayang Biyu melihat bibir tipis itu mengerucut. "Mungkin, surat ini bisa menenangkan hati yang sedang galau itu.
Dayang biyu mengulurkan kertas putih ke pada Sofija. "Dari siapa, Biyu?" Pertanyaan ini ditujukan gadis itu untuk menutupi denyut jantungnya yang tiba-tiba saja berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Baca saja. Jika nanti segumpal daging itu kembali gelisah, cobalah mengadu pada Sang Penguasa Hati. Dia-lah Maha Pembolak-balik hati manusia. Apa yang tidak mungkin, akan menjadi mungkin jika Dia berkehendak." Nasihat dari dayang Biyu, sedikit menentramkan batin Sofija.
"Terima kasih, Biyu. You know me so well." Peluk kasih diberikannya ke pada dayang Biyu.
"Eaa ... hamba saja sering dapat gombalan, apalagi nanti sang suami." Dayang Biyu terkekeh, geleng-geleng kepala karena tingkah sang Putri. "Silahkan dilanjut, tuan Putri. Hamba undur diri."
Sepeninggal dayang Biyu, Sofija segera membuka surat tadi
Salam (sayang) hormat, tuan Putri, Sofija
Kedua sudut bibir Sofija seketika terangkat membaca salam pembuka surat tersebut. 'Apa-apaan memakai tanda kurung segala. Lagian, kenapa mengirim surat segala? Kenapa tidak langsung saja menemuiku?'
Sebelumnya, hamba memohon maaf tidak lagi pernah mengunjungi sejak peristiwa itu. Bukan karena hamba menyerah, sama sekali bukan karena hal itu.
Namun, hamba harus menemui sang Ayah ke kerajaan Negeri Selatan. Begitu banyak hal yang ternyata harus hamba selesaikan di sini.
Untuk itu, sudilah kiranya Putri menanti hamba kembali. Jangan berpaling ke lain hati.
'Dih, kenapa dia jadi percaya diri sekali? Siapa juga ingin menanti?'
Salam rindu,
Jian
.
Entah siapa yang sedang mendengarkan alunan musik, baru saja Sofija selesai membaca salam penutup, musik itu terdengar semakin jelas.
Sofija tidak dapat lagi menahan rekahan bibir merahnya. Akhirnya gadis itu memilih merebahkan diri dan menutup wajah yang menghangat dengan kertas surat dari seseorang yang memang dinanti.
Sementara itu, di luar kamar sang Putri, dayang Biyu melanjutkan lantunan syair lagu.
"Aaaahh! Menyebalkan. Makanya, dari dulu aku tidak mau berurusan dengan laki-laki. Ribet!" Kesalnya meninju-ninju guling.
"Apanya yang ribet, tuan Putri?" tanya dayang Biyu yang baru masuk ke kamar Sofija. Tampak sepucuk surat di tangan wanita paruh baya itu.
"Tidak ada, Biyu. Ribet meluruskan tali sarung guling yang entah kenapa jadi kusut." Sofija tampak sibuk menggulung, lalu mengulur tali sarung guling.
Dayang Biyu yang tahu akan kepura-puraan sang Putri, terkekeh pelan sambil mengambil posisi duduk di dekat Sofija.
"Talinya tampak baik-baik saja Putri. Hati yang sedang memegang talinya yang terlihat kusut." Senyum dayang Biyu melihat bibir tipis itu mengerucut. "Mungkin, surat ini bisa menenangkan hati yang sedang galau itu.
Dayang biyu mengulurkan kertas putih ke pada Sofija. "Dari siapa, Biyu?" Pertanyaan ini ditujukan gadis itu untuk menutupi denyut jantungnya yang tiba-tiba saja berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Baca saja. Jika nanti segumpal daging itu kembali gelisah, cobalah mengadu pada Sang Penguasa Hati. Dia-lah Maha Pembolak-balik hati manusia. Apa yang tidak mungkin, akan menjadi mungkin jika Dia berkehendak." Nasihat dari dayang Biyu, sedikit menentramkan batin Sofija.
"Terima kasih, Biyu. You know me so well." Peluk kasih diberikannya ke pada dayang Biyu.
"Eaa ... hamba saja sering dapat gombalan, apalagi nanti sang suami." Dayang Biyu terkekeh, geleng-geleng kepala karena tingkah sang Putri. "Silahkan dilanjut, tuan Putri. Hamba undur diri."
Sepeninggal dayang Biyu, Sofija segera membuka surat tadi
Salam (sayang) hormat, tuan Putri, Sofija
Kedua sudut bibir Sofija seketika terangkat membaca salam pembuka surat tersebut. 'Apa-apaan memakai tanda kurung segala. Lagian, kenapa mengirim surat segala? Kenapa tidak langsung saja menemuiku?'
Sebelumnya, hamba memohon maaf tidak lagi pernah mengunjungi sejak peristiwa itu. Bukan karena hamba menyerah, sama sekali bukan karena hal itu.
Namun, hamba harus menemui sang Ayah ke kerajaan Negeri Selatan. Begitu banyak hal yang ternyata harus hamba selesaikan di sini.
Untuk itu, sudilah kiranya Putri menanti hamba kembali. Jangan berpaling ke lain hati.
'Dih, kenapa dia jadi percaya diri sekali? Siapa juga ingin menanti?'
Salam rindu,
Jian
.
Entah siapa yang sedang mendengarkan alunan musik, baru saja Sofija selesai membaca salam penutup, musik itu terdengar semakin jelas.
Semua kata rindumu
semakin membuatku, tak berdaya
Menahan rasa ingin jumpa ....
Sofija tidak dapat lagi menahan rekahan bibir merahnya. Akhirnya gadis itu memilih merebahkan diri dan menutup wajah yang menghangat dengan kertas surat dari seseorang yang memang dinanti.
Sementara itu, di luar kamar sang Putri, dayang Biyu melanjutkan lantunan syair lagu.
Percayalah padaku
Aku pun rindu kamu
Ku akan pulang
Melepas semua
Kerinduan ... yang terpendaam
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku