Sofija ke luar dari ruang rawat Kim Xander dengan wajah yang merah padam. Tangannya terkepal kuat di sisi tubuh. Langkahnya sedikit menghentak-hentak tanpa disengaja. Ingin membanting pintu itu, namun dia masih menjaga wibawanya sebagai seorang putri raja. Kalau kata orang milenial, jaim.
Langkahnya yang terburu-buru hingga Sofija melupakan seseorang yang sedang menantinya di luar ruangan tadi, bahkan selalu setia menantikan hatinya menuju pemuda itu. Sang Putri yang sedang dilanda rasa cemburu itu menghentikan langkahnya, tanpa berniat kembali menghadap ke belakang, dia berteriak lantang, "Jian! Jian!!" soraknya tidak sabar.
"Hamba, tuan Putri, hamba." jawab Jian dengan wajah yang ... merana? Entah, yang jelas telapak tangan kanan pemuda itu berada di dada kirinya. Seperti menahan detakan yang kencang.
Kening Sofija berkerut melihat wajah Jian, "Kamu, kenapa? Masih ada yang sakit?"
Nada suara yang terdengar sedikit khawatir itu, membuat kedua ujung bibir Jian terangkat. "Tidak kenapa, Putri. Hamba hanya sedikit terkejut." jawabnya lembut.
"Terkejut ... kenapa?"
"Mendengar teriakan tuan Putri."
"Memang kamu di mana?"
"Tepat di belakang tuan Putri."
Hening.
Sofija menatap penuh ke arah Jian yang masih menunduk. Karena tidak ada lagi terdengar tanya dari sang Putri, Jian mendongak. Mereka saling menatap sekian detik, "Tuan Putri, kalau marah tampak lebih menggemaskan." Hingga suara Jian yang nyaris seperti gumaman memutuskan tatapan itu.
Mata berbulu lentik itu berkedip-kedip, rasa hangat terasa menjalar ke pipi gadis itu. Sofija memilih pura-pura tidak mendengar, "Kita pergi," ucapnya sambil kembali melangkah. Hanya saja, langkah kali ini sedikit lebih tenang.
"Ke mana, tuan Putri?"
"Ke tempat yang bisa meredakan hati panas."
"Baik, tuan Putri." Jian mendahului langkah sang Putri sebagai penunjuk jalan ke tempat yang diinginkan tuan Putri.
Sampailah mereka di tempat yang di maksud.
"Apa maksudmu mengajak aku ke sini, Jian? Jangan memancing kemarahanku lagi, Jian." Tangan itu kembali terkepal.
"Maaf, tuan Putri. Bukankah di dalam agama kita, jika marah sedang menguasai, dianjurkan untuk berwudhu?" Silahkan jika tuan Putri berkenan." jawab Jian kembali dengan kepala tertunduk.
Malu dan gemas menyerang diri Sofija. Sedikit mendengkus, sang Putri akhirnya mengikuti saran dari Jian agar amarahnya sirna.
Sayup terdengar suara sedang bersenandung dari dalam kamar mandi. Sofija yang sedang mengenakkan hijabnya selesai berwudhu, mencoba fokus mendengarkan.
"Jian, kau bernyanyi?" tanyanya saat sudah berada di luar.
"Hamba, kenapa, tuan Putri?"
Sofija menangkap keengganan Jian untuk menjawa pertanyaannya tadi. Dia memilih melangkah kembali.
"Sekarang kita akan ke mana, Putri?" tanya Jian mengikuti Sofija.
"Aku mau istirahat ke ruanganku."
"Izin hamba sedikit memberi nasihat, tuan Putri. Cobalah membaca Quran atau shalat sunnah saat hati sedang tidak menentu, tuan Putri. Insyaallah, hati akan menjadi tentram. Zikir dan doa, agar Sang Pembolak-balik Hati manusia, bisa menyentuh hati tuan Putri menuju yang terbaik."
"Terima kasih, Jian."
Jian menunduk dengan tangan ke dada sebagai jawaban ucapan sang Putri. Senyuman yang diberikannya sebelum menutup pintu, menghadirkan letup-letupan kecil di dada Jian. Kemudian, pemuda itu meloncat dan kembali bersenandung, kali ini dengan suara lantang.
"Jian, kau, kenapa?"
Langkahnya yang terburu-buru hingga Sofija melupakan seseorang yang sedang menantinya di luar ruangan tadi, bahkan selalu setia menantikan hatinya menuju pemuda itu. Sang Putri yang sedang dilanda rasa cemburu itu menghentikan langkahnya, tanpa berniat kembali menghadap ke belakang, dia berteriak lantang, "Jian! Jian!!" soraknya tidak sabar.
"Hamba, tuan Putri, hamba." jawab Jian dengan wajah yang ... merana? Entah, yang jelas telapak tangan kanan pemuda itu berada di dada kirinya. Seperti menahan detakan yang kencang.
Kening Sofija berkerut melihat wajah Jian, "Kamu, kenapa? Masih ada yang sakit?"
Nada suara yang terdengar sedikit khawatir itu, membuat kedua ujung bibir Jian terangkat. "Tidak kenapa, Putri. Hamba hanya sedikit terkejut." jawabnya lembut.
"Terkejut ... kenapa?"
"Mendengar teriakan tuan Putri."
"Memang kamu di mana?"
"Tepat di belakang tuan Putri."
Hening.
Sofija menatap penuh ke arah Jian yang masih menunduk. Karena tidak ada lagi terdengar tanya dari sang Putri, Jian mendongak. Mereka saling menatap sekian detik, "Tuan Putri, kalau marah tampak lebih menggemaskan." Hingga suara Jian yang nyaris seperti gumaman memutuskan tatapan itu.
Mata berbulu lentik itu berkedip-kedip, rasa hangat terasa menjalar ke pipi gadis itu. Sofija memilih pura-pura tidak mendengar, "Kita pergi," ucapnya sambil kembali melangkah. Hanya saja, langkah kali ini sedikit lebih tenang.
"Ke mana, tuan Putri?"
"Ke tempat yang bisa meredakan hati panas."
"Baik, tuan Putri." Jian mendahului langkah sang Putri sebagai penunjuk jalan ke tempat yang diinginkan tuan Putri.
Sampailah mereka di tempat yang di maksud.
"Apa maksudmu mengajak aku ke sini, Jian? Jangan memancing kemarahanku lagi, Jian." Tangan itu kembali terkepal.
"Maaf, tuan Putri. Bukankah di dalam agama kita, jika marah sedang menguasai, dianjurkan untuk berwudhu?" Silahkan jika tuan Putri berkenan." jawab Jian kembali dengan kepala tertunduk.
Malu dan gemas menyerang diri Sofija. Sedikit mendengkus, sang Putri akhirnya mengikuti saran dari Jian agar amarahnya sirna.
Sayup terdengar suara sedang bersenandung dari dalam kamar mandi. Sofija yang sedang mengenakkan hijabnya selesai berwudhu, mencoba fokus mendengarkan.
Sesungguhnya dia ada di dekatmu
Tapi kau tak pernah menyadari itu
Dia s'lalu menunggumu
Untuk nyatakan cinta
"Jian, kau bernyanyi?" tanyanya saat sudah berada di luar.
"Hamba, kenapa, tuan Putri?"
Sofija menangkap keengganan Jian untuk menjawa pertanyaannya tadi. Dia memilih melangkah kembali.
"Sekarang kita akan ke mana, Putri?" tanya Jian mengikuti Sofija.
"Aku mau istirahat ke ruanganku."
"Izin hamba sedikit memberi nasihat, tuan Putri. Cobalah membaca Quran atau shalat sunnah saat hati sedang tidak menentu, tuan Putri. Insyaallah, hati akan menjadi tentram. Zikir dan doa, agar Sang Pembolak-balik Hati manusia, bisa menyentuh hati tuan Putri menuju yang terbaik."
"Terima kasih, Jian."
Jian menunduk dengan tangan ke dada sebagai jawaban ucapan sang Putri. Senyuman yang diberikannya sebelum menutup pintu, menghadirkan letup-letupan kecil di dada Jian. Kemudian, pemuda itu meloncat dan kembali bersenandung, kali ini dengan suara lantang.
Dia mungkin bukan
Manusia sempurna
Tapi dia selalu ada untukmu
"Jian, kau, kenapa?"
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku