Aku menunduk menahan gejolak di dada. Jari jemari ini saling mengait untuk mempertahankan mulut agar tidak mengeluarkan kata yang bisa membuat suasana semakin runyam. Kepala yang terasa panas, tetap kupaksa berfikir, bagaimana berucap pada lelaki yang begitu santai duduk di sampingku sambil bermain onet. Ish ....
"Sudahlah, Bu ... gak perlu dipikirin." ujarnya semakin santai tanpa beralih sedikitpun menatap smart phone-nya. Ish ... ish ... ish ....
"Gimana gak mikirin ... Ayah bisa gak, sih, berhenti sebentar? Ini kita lagi bicara serius!" Ujung-ujungnya nada suaraku naik juga satu oktaf. Gemes! Bagaimana dia sebegitu santainya setelah mengucapkan, 'aku gak percaya sama kamu'.
"Oke. Emang, Ibu maunya gimana?" Setelah menyimpan hp di sampingnya, lelaki itu merubah posisi duduknya menghadap penuh ke arahku.
"Harusnya Ibu yang nanya gitu, Ayah maunya Ibu gimana?" Suaraku melunak. Aku selalu grogi kalau sudah ditatap penuh seperti ini. Antara meleleh dan ... entahlah.
"Emang Ibu lagi mikirin apa, sih?" Keningnya berkerut menandakan dia tidak paham ada apa denganku. Hadeh.
"Tadi Ayah bilang, gak percaya sama Ibu. Maksudnya apa? Kalau Ayah gak percaya sama Ibu, gimana Ayah santai saat ninggalin anak-anak ke Ibu? Gimana Ayah percaya ke Ibu untuk mengatur keuangan?" tanyaku beruntun.
"Emang, ada Ayah ngomong gitu?" balasnya sambil mengulum bibir. Ish ... tak sengat juga nanti, tu, bibir. Eh ....
"Tadi 'kan, Ayah bilang gak percaya,"
"Ya, Ayah memang gak boleh percaya sama Ibu. Ntar Ayah berdosa dong, kalau percaya sama Ibu. Kita itu cuma boleh percaya pada Allah." Satu kecupan mendarat di pipiku, lalu dengan santai dia meninggalkanku yang ... ugh! Nyebalin!!!
"Sudahlah, Bu ... gak perlu dipikirin." ujarnya semakin santai tanpa beralih sedikitpun menatap smart phone-nya. Ish ... ish ... ish ....
"Gimana gak mikirin ... Ayah bisa gak, sih, berhenti sebentar? Ini kita lagi bicara serius!" Ujung-ujungnya nada suaraku naik juga satu oktaf. Gemes! Bagaimana dia sebegitu santainya setelah mengucapkan, 'aku gak percaya sama kamu'.
"Oke. Emang, Ibu maunya gimana?" Setelah menyimpan hp di sampingnya, lelaki itu merubah posisi duduknya menghadap penuh ke arahku.
"Harusnya Ibu yang nanya gitu, Ayah maunya Ibu gimana?" Suaraku melunak. Aku selalu grogi kalau sudah ditatap penuh seperti ini. Antara meleleh dan ... entahlah.
"Emang Ibu lagi mikirin apa, sih?" Keningnya berkerut menandakan dia tidak paham ada apa denganku. Hadeh.
"Tadi Ayah bilang, gak percaya sama Ibu. Maksudnya apa? Kalau Ayah gak percaya sama Ibu, gimana Ayah santai saat ninggalin anak-anak ke Ibu? Gimana Ayah percaya ke Ibu untuk mengatur keuangan?" tanyaku beruntun.
"Emang, ada Ayah ngomong gitu?" balasnya sambil mengulum bibir. Ish ... tak sengat juga nanti, tu, bibir. Eh ....
"Tadi 'kan, Ayah bilang gak percaya,"
"Ya, Ayah memang gak boleh percaya sama Ibu. Ntar Ayah berdosa dong, kalau percaya sama Ibu. Kita itu cuma boleh percaya pada Allah." Satu kecupan mendarat di pipiku, lalu dengan santai dia meninggalkanku yang ... ugh! Nyebalin!!!
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku