Hati itu kamu yang punya. Tentu hanya kamu yang bisa mengaturnya. Mau dia tetap dijalan-Nya, atau mengikuti bisikan makhluk Allah yang bisa menyusup dalam diri melalui aliran darahmu. Semua, tergantung padamu, dirimu sendiri.
Menjadi salah satu siswi di sekolah menengah umum bukanlah cita-cita, apalagi impian Qian. Hanyalah keinginan yang begitu kuat untuk mengajak sang sahabat pindah haluan, maksudnya kembali ke jalan yang benar, lebih tepatnya hijrah. Ais ... Qian memang sebegitu bingungnya menghadapi sahabat sehidupnya ini. Iya, sehidup, karena mereka belum merasakan yang namanya mati. Na'udzubillah.
"Lo pikir gue tersesat gitu? Qi, gue masih shalat lima waktu, masih puasa, masih bersedekah, masih sering ucap syahadat, udah berhijab, naik haji aja yang belum. Ah, lo buat gue jadi riya."
Begitu protes Gita ketika mendengar alasan Qian ingin melanjutkan pendidikan di sekolah umum. Gita bukannya tersinggung, gadis berhijab mungil ini lebih mengkhawatirkan sahabatnya yang biasanya hanya bergaul dengan kaum hawa. Jika lanjut ke sekolah umum, tentu akan sering berinteraksi dengan lawan jenis. Apa bisa? Atau malah nanti Qian yang jadi labil?
"Aku akan melanjutkan sekolah di pesantren kalau kamu putus dengan gema gema itu." jawab Qian dengan bibir mencebik. "Lagian ya, kenapa kamu yang jadi khawatir bin cemas gitu?" lanjut Qian dengan tatapan menyelidik.
"Ya iyalah, gue khawatir. Lo gak tau aja, kalau siswa-siswa di sekolah umum itu mengerikan. Mereka bisa aja membawa lo yang polos ini ke kubangan dosa." Gita membuat wajah dan nada suaranya sehoror mungkin untuk melunturkan niat Qian.
"Kan, ada kamu." Bahu Gita jatuh lemas seketika mendengar jawaban teman dari lahirnya itu. Qian memang sepolos itu. Siapa yang niat menolong, siapa yang dimintai tolong. "Whatever Qi, whatever!" Gemas Gita menutupi percakapan mereka.
Qian bukannya tidak mengetahui bagaimana pergaulan antara perempuan dan laki-laki di sekolah umum. Itu juga salah satu alasan gadis berhijab lebar ini ingin melanjutkan pendidikan di sekolah umum. Mencoba menguji nyali hatinya ketika berhadapan langsung dengan salah satu makhluk mulia ciptaan Allah itu. Seberapa kuat segumpal daging itu bertahan di jalan-Nya?
Qian tetaplah gadis beranjak remaja, yang sama halnya dengan anak baru gede lainnya, ingin memenuhi rasa penasarannya. Putri bungsu dari tiga bersaudara ini yakin, selain karena ingin mengajak sahabatnya ke arah yang lebih baik, juga memenuhi permintaan si hati, mana tau jiwa dakwah mudanya bisa lebih berkobar di sekolah umum. Kan, bisa jadi ladang amal. Semoga.
Namun, yang sering terlupakan oleh seorang insan seperti Qian, bahwa makhluk yang ditangguhkan oleh Allah, akan selalu mencari celah sekecil apapun, agar hamba-Nya tersesat dari jalan yang lurus.
"Itu ... senior yang kuning langsat, tinggi, rupawan, kenapa jutek banget, sih?"
Pada akhirnya Qian tidak dapat menahan untuk tidak berkomentar terhadap apa yang sedari tadi diperhatikannya.
Berkumpul di lapangan upacara dalam rangka pembukaan Masa Orientasi Siswa, atau yang biasa disebut MOS, membuat bibir tipis Qian gatal untuk mengkritik setiap yang dilihatnya. Terutama para senior yang sepertinya punya kuasa penuh.
"Ghadul bashar, ukhti."
"Astaghfirullah," Qian segera mengalihkan tatapan ke Gita yang berdiri di sisi kirinya. "Habisnya, dari tadi suara dia aja yang terdengar. Udah suara ngebass, pake pengeras suara lagi. Gimana gak mengundang untuk diperhatikan coba?"
"I don't need your aliby! Itu mata udah dari tadi 'kan, ngikutin si Ketos? Bukannya, ngalihin pandangan malah dinikmati."
Jawaban dari Gita membuat Qian mengerucutkan mulutnya. Gita benar, harusnya cukup dilihat sebentar. Lalu, alihkan mata ke arah yang lain. Tapi, cowok ini seperti mempunyai magnet yang menarik pandangan Qian untuk tetap menatapnya.
"Mungkin si bulet ungu lagi tawaf di sekitar mata lo." Gita memutar-mutar kedua telunjuknya dimasing-masing mata Qian.
"Ngasal! Berarti kalau di kamu, dia tawaf di sekitar mulutmu, dong?" tepis Qian sambil cekikikan yang diikuti Gita.
Mereka kadang memang seabsurd itu. Bahkan, kata syaitan diganti dengan si bulat ungu yang terinspirasi dari kartun nusantara. Sekedar untuk saling mengingatkan, jika musuh nyata itu selalu ada di sekitar kita.
"Ehm ...!"
Deheman teguran dari arah belakang, membuat punggung Qian dan Gita tegak seketika. Bibir mereka yang tadi terbuka, langsung tertutup rapat.
▲▼▲
Menjadi salah satu siswi di sekolah menengah umum bukanlah cita-cita, apalagi impian Qian. Hanyalah keinginan yang begitu kuat untuk mengajak sang sahabat pindah haluan, maksudnya kembali ke jalan yang benar, lebih tepatnya hijrah. Ais ... Qian memang sebegitu bingungnya menghadapi sahabat sehidupnya ini. Iya, sehidup, karena mereka belum merasakan yang namanya mati. Na'udzubillah.
"Lo pikir gue tersesat gitu? Qi, gue masih shalat lima waktu, masih puasa, masih bersedekah, masih sering ucap syahadat, udah berhijab, naik haji aja yang belum. Ah, lo buat gue jadi riya."
Begitu protes Gita ketika mendengar alasan Qian ingin melanjutkan pendidikan di sekolah umum. Gita bukannya tersinggung, gadis berhijab mungil ini lebih mengkhawatirkan sahabatnya yang biasanya hanya bergaul dengan kaum hawa. Jika lanjut ke sekolah umum, tentu akan sering berinteraksi dengan lawan jenis. Apa bisa? Atau malah nanti Qian yang jadi labil?
"Aku akan melanjutkan sekolah di pesantren kalau kamu putus dengan gema gema itu." jawab Qian dengan bibir mencebik. "Lagian ya, kenapa kamu yang jadi khawatir bin cemas gitu?" lanjut Qian dengan tatapan menyelidik.
"Ya iyalah, gue khawatir. Lo gak tau aja, kalau siswa-siswa di sekolah umum itu mengerikan. Mereka bisa aja membawa lo yang polos ini ke kubangan dosa." Gita membuat wajah dan nada suaranya sehoror mungkin untuk melunturkan niat Qian.
"Kan, ada kamu." Bahu Gita jatuh lemas seketika mendengar jawaban teman dari lahirnya itu. Qian memang sepolos itu. Siapa yang niat menolong, siapa yang dimintai tolong. "Whatever Qi, whatever!" Gemas Gita menutupi percakapan mereka.
Qian bukannya tidak mengetahui bagaimana pergaulan antara perempuan dan laki-laki di sekolah umum. Itu juga salah satu alasan gadis berhijab lebar ini ingin melanjutkan pendidikan di sekolah umum. Mencoba menguji nyali hatinya ketika berhadapan langsung dengan salah satu makhluk mulia ciptaan Allah itu. Seberapa kuat segumpal daging itu bertahan di jalan-Nya?
Qian tetaplah gadis beranjak remaja, yang sama halnya dengan anak baru gede lainnya, ingin memenuhi rasa penasarannya. Putri bungsu dari tiga bersaudara ini yakin, selain karena ingin mengajak sahabatnya ke arah yang lebih baik, juga memenuhi permintaan si hati, mana tau jiwa dakwah mudanya bisa lebih berkobar di sekolah umum. Kan, bisa jadi ladang amal. Semoga.
Namun, yang sering terlupakan oleh seorang insan seperti Qian, bahwa makhluk yang ditangguhkan oleh Allah, akan selalu mencari celah sekecil apapun, agar hamba-Nya tersesat dari jalan yang lurus.
▲▼▲
"Itu ... senior yang kuning langsat, tinggi, rupawan, kenapa jutek banget, sih?"
Pada akhirnya Qian tidak dapat menahan untuk tidak berkomentar terhadap apa yang sedari tadi diperhatikannya.
Berkumpul di lapangan upacara dalam rangka pembukaan Masa Orientasi Siswa, atau yang biasa disebut MOS, membuat bibir tipis Qian gatal untuk mengkritik setiap yang dilihatnya. Terutama para senior yang sepertinya punya kuasa penuh.
"Ghadul bashar, ukhti."
"Astaghfirullah," Qian segera mengalihkan tatapan ke Gita yang berdiri di sisi kirinya. "Habisnya, dari tadi suara dia aja yang terdengar. Udah suara ngebass, pake pengeras suara lagi. Gimana gak mengundang untuk diperhatikan coba?"
"I don't need your aliby! Itu mata udah dari tadi 'kan, ngikutin si Ketos? Bukannya, ngalihin pandangan malah dinikmati."
Jawaban dari Gita membuat Qian mengerucutkan mulutnya. Gita benar, harusnya cukup dilihat sebentar. Lalu, alihkan mata ke arah yang lain. Tapi, cowok ini seperti mempunyai magnet yang menarik pandangan Qian untuk tetap menatapnya.
"Mungkin si bulet ungu lagi tawaf di sekitar mata lo." Gita memutar-mutar kedua telunjuknya dimasing-masing mata Qian.
"Ngasal! Berarti kalau di kamu, dia tawaf di sekitar mulutmu, dong?" tepis Qian sambil cekikikan yang diikuti Gita.
Mereka kadang memang seabsurd itu. Bahkan, kata syaitan diganti dengan si bulat ungu yang terinspirasi dari kartun nusantara. Sekedar untuk saling mengingatkan, jika musuh nyata itu selalu ada di sekitar kita.
"Ehm ...!"
Deheman teguran dari arah belakang, membuat punggung Qian dan Gita tegak seketika. Bibir mereka yang tadi terbuka, langsung tertutup rapat.
▲▼▲
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku