Suatu sore yang cerah, Hasyim ditemani Ibu, sedang menunggu Ayah pulang dari kerja. Hasyim dan Ibu, duduk di taman bunga yang tidak jauh dari rumah mereka.
Hasyim sedang sedih, karena Ayah tidak bisa menemani Hasyim bermain sepeda sore ini. Padahal, Ayah sudah janji akan bersepeda dan pergi makan es krim yang besar.
"Hasyim, kecewa, ya?" tanya Ibu.
"Iya, Bu. Ayah ndak sayang Hasyim, ya, Bu?" tanya Hasyim sedih.
"Ayah sayang Hasyim, kok." jawab Ibu sambil tersenyum.
"Kalau Ayah sayang Hasyim, kok, Ayah ndak mau main sama Hasyim?" tanya Hasyim lagi.
"Ayah 'kan kerja, Nak. Ayah kerja biar apa coba?" jelas Ibu lagi.
"Biar dapat uang,"
"Terus uangnya untuk apa?"
"Untuk beli susu Hasyim, sama mainan, sama kue coklat, sama es krim."
Ibu tertawa kecil mendengar jawaban Hasyim yang panjang. "Kalau begitu, Ayah sayang tidak sama Hasyim?"
"Sayang." Suara Hasyim terdengar lebih semangat sekarang.
"Hasyim, mau dengar tidak cerita tentang ayah pinguin?"
"Mau, Ibu, mau." jawab Hasyim sambil bersorak senang. Lalu, Ibu mulai bercerita.
Di sebuah lembah es, hiduplah sekumpulan kawanan pinguin. Diantara pinguin yang banyak itu, ada seekor pinguin kecil yang sedang bermain di depan rumahnya. Namanya, Pingping pinguin.
Pingping sedang menunggu ayahnya pulang dari mencari ikan, udang, cumi-cumi, atau yang lainnya, yang bisa dimakan Pingping. Sudah semenjak pagi ayah Pingping pergi, sekarang sudah hampir gelap. Padahal, ayah Pingping berjanji, akan mengajari Pingping cara berenang. Namun, Pingping tidak marah pada ayahnya. Pingping sabar menanti sang ayah pulang. Karena Pingping tahu, kalau ayahnya pergi untuk mencari ikan, agar dia bisa makan.
Tidak lama kemudian, Pingping merasa capek bermain. Lalu, Pingping memilih duduk sambil berdoa, agar ayahnya cepat pulang. Pingping teringat cerita ibu, saat Pingping masih di dalam telur.
Selama Pingping di dalam telur, ayahlah yang mengerami Pingping. Telur diletakkan ayah diantara dua kaki. Ayah kuat berdiri lama agar telur Pingping tetap hangat. Bahkan, ayah tidak makan selama mengerami telur Pingping.
Mengingat itu, Pingping semakin rindu pada ayahnya. Kenapa ayah pulang terasa begitu lama? Begitu tanya Pingping di dalam hati.
"Ibu Pingping, kemana, Bu?" tanya Hasyim setelah mendengarkan cerita Ibu.
"Ibu Pingping pergi mencari makan." jawab Ibu.
"Kenapa bukan ayah Pingping yang cari makan? Kayak Ayah, cari uang buat beli makan. Ibu yang temanin Hasyim."
Ibu tersenyum sambil mengusap kepala Hasyim, "Karena, ibu Pingping tidak kuat berdiri lama sampai Pingping menetas. Makanya, ayah Pingping yang mengerami, ibu Pingping yang cari ikan."
"Terus, kenapa ayah Pingping ndak makan? Kalau ndak makan, nanti sakit perut, 'kan, Bu?" tanya Hasyim masih penasaran.
"Itu semua atas izin Allah, Nak. Ibu Pingping bertelur itu saat musim dingin. Ketika musim dingin, makanan sulit untuk di dapatkan. Makanya, yang kuat untuk tidak makan, dan juga berdiri lama itu ayah Pingping."
"Wah ... Ayah Pingping kuat!" ujar Hasyim kagum.
"Terus, kapan ibu Pingping pulang, Bu?" lanjut Hasyim bertanya.
"Ibu Pingping pulang saat telur akan menetas. Pada saat itu, biasanya musim dingin akan berakhir. Es-es sudah mulai mencair, sehingga terbentuk lubang-lubang air. Dari situlah ayah, dan ibu Pingping dapat berburu ikan atau makanan lainnya."
"Es kayak di dalam kulkas, ya, Bu?" Hasyim bertanya lagi, sepertinya dia belum mengerti.
"Benar, Nak. Sini, Ibu gambarkan." Hasyim dan Ibu jongkok di atas tanah. Ibu mulai menggambarkan, bagaimana bentuk es di Kutub yang kemudian membentuk lubang air saat mencair.
"Nah, dari lubang es seperti ini, pinguin mulai mencari ikan, udang atau cumi-cumi tadi." Tangan Ibu masih menggambar-gambar di atas tanah. "Nanti di rumah, Ibu lihatkan dimana Pingping pinguin tinggal. Oke?"
"Oke, Ibu!" sorak Hasyim senang. Wajah Hasyim tidak lagi menunjukkan kesedihan.
"Hasyim ... Ayah Pingping begitu kuat menjaga Pingping saat masih di dalam telur. Saat Pingping sudah menetas, ayah Pingping juga yang mencari makan dan melindungi Pingping dari hewan buas lain." jelas Ibu perlahan.
"Iya, ya, Bu. Ayah Pingping kuat." Hasyim membeo.
"Ayah juga begitu, lho, Nak. Saat Hasyim masih di dalam perut Ibu, Ayah sangat menjaga Ibu agar tetap makan makanan bergizi, tidak sakit, dan juga capek. Tiap hari, Ayah kerja, agar dapat membeli semua yang Hasyim perlukan. Kemarin, pas Ayah mau pergi kerja, hujan 'kan?"
"Iya, Bu. Hujannya deras, Ayah perginya sambil main hujan, ya, Bu?" tanya Hasyim dengan wajah senang.
"Saat panas, Ayah tetap pergi kerja juga. Itu semua untuk Hasyim. Kalau Ayah tidak kerja, pasti Hasyim diajak main oleh Ayah. Ya, 'kan?"
"Ayah suka main gelitikin Hasyim, Bu. Ayah ngajarin Hasyim main sepeda juga. Ayah sering belikan Hasyim es krim ...."
Selama Hasyim berceloteh tentang Ayah, Ibu menggenggam tangan mungil Hasyim menuju rumah mereka. Langit mulai menggelap, menandakan sebentar lagi matahari akan terbenam.
Sesampai di rumah, ternyata Ayah sudah duduk menunggu Hasyim dan Ibu di teras rumah. Hasyim berlari ke pelukan Ayah, sambil bersorak, "Ayah ... Hasyim kangen."
"Wah ... kenapa Hasyim terlihat begitu rindu sama Ayah?" tanya Ayah sambil menggendong Hasyim masuk ke dalam rumah.
"Tadi, Ibu cerita tentang Pingping pinguin, Yah. Pingping sabar menunggu ibunya pulang cari ikan. Terus, Pingping rindu ayahnya karena ayahnya lama sekali pulang. Jadinya Hasyim juga rindu sama Ayah." Hasyim bercerita sambil kembali memeluk Ayah, erat.
"Maaf, ya, Nak. Ayah terlambat pulang kerja. Kita juga tidak jadi bermain sepedanya. Hasyim ... ndak marah 'kan pada Ayah?" tanya Ayah hati-hati pada Hasyim. Ayah khawatir, kalau Hasyim menangis.
Ayah menyesal karena tidak bisa menunda pekerjaan di kantornya.
"Hasyim ndak marah sama Ayah. 'Kan kata Rasulullah, janganlah kamu marah, maka surga bagimu. Hasyim mau surga, Ayah." jawaban Hasyim membuat kagum Ayah dan Ibu.
"Masyaallah ... Hasyim tau dari siapa hadist Rasulullah itu?" tanya Ibu sambil meletakkan dua gelas air mineral di meja dekat Ayah dan Hasyim duduk.
"Pak Ustadz, Bu." Setelah menjawab pertanyaan Ibu, Hasyim kembali bercerita pada Ayah. "Ayah, Ayah ... ayah Pingping bisa berdiri lama, juga ndak makan-makan. Ayah Pingping kuat, ya, Yah?"
Ayah tersenyum, dan memeluk Hasyim. "Hasyim juga kuat, kuat untuk tidak marah karena tidak jadi main sepeda."
"Yeee ... Hasyim kuat." Hasyim tepuk tangan mendengar pujian Ayah.
"Kalau Ayah Hasyim?" tanya Ibu sambil tersenyum.
"Kalau Ayah Hasyim ... Ayah, hebat!"
Hasyim, Ayah, dan Ibu tertawa bersama.
"Karena Hasyim sudah sabar menunggu Ayah, juga tidak marah, besok kita main sepeda seharian. Juga makan es krim." ucap Ayah.
"Horeee ... Terima kasih Ayah hebat." Hasyim meloncat-loncat gembira.
Ayah, adalah orang yang sangat sayang padamu. Ayah rela berkerja apa saja, kapan saja, demi membuatmu tersenyum. Ayah tidak akan rela, jika kamu tersakiti. Ucapkan terima kasih pada Ayahmu, dan beri satu kecupan sayang. Ayahmu akan merasa bahagia.
Hasyim sedang sedih, karena Ayah tidak bisa menemani Hasyim bermain sepeda sore ini. Padahal, Ayah sudah janji akan bersepeda dan pergi makan es krim yang besar.
"Hasyim, kecewa, ya?" tanya Ibu.
"Iya, Bu. Ayah ndak sayang Hasyim, ya, Bu?" tanya Hasyim sedih.
"Ayah sayang Hasyim, kok." jawab Ibu sambil tersenyum.
"Kalau Ayah sayang Hasyim, kok, Ayah ndak mau main sama Hasyim?" tanya Hasyim lagi.
"Ayah 'kan kerja, Nak. Ayah kerja biar apa coba?" jelas Ibu lagi.
"Biar dapat uang,"
"Terus uangnya untuk apa?"
"Untuk beli susu Hasyim, sama mainan, sama kue coklat, sama es krim."
Ibu tertawa kecil mendengar jawaban Hasyim yang panjang. "Kalau begitu, Ayah sayang tidak sama Hasyim?"
"Sayang." Suara Hasyim terdengar lebih semangat sekarang.
"Hasyim, mau dengar tidak cerita tentang ayah pinguin?"
"Mau, Ibu, mau." jawab Hasyim sambil bersorak senang. Lalu, Ibu mulai bercerita.
Di sebuah lembah es, hiduplah sekumpulan kawanan pinguin. Diantara pinguin yang banyak itu, ada seekor pinguin kecil yang sedang bermain di depan rumahnya. Namanya, Pingping pinguin.
Pingping sedang menunggu ayahnya pulang dari mencari ikan, udang, cumi-cumi, atau yang lainnya, yang bisa dimakan Pingping. Sudah semenjak pagi ayah Pingping pergi, sekarang sudah hampir gelap. Padahal, ayah Pingping berjanji, akan mengajari Pingping cara berenang. Namun, Pingping tidak marah pada ayahnya. Pingping sabar menanti sang ayah pulang. Karena Pingping tahu, kalau ayahnya pergi untuk mencari ikan, agar dia bisa makan.
Tidak lama kemudian, Pingping merasa capek bermain. Lalu, Pingping memilih duduk sambil berdoa, agar ayahnya cepat pulang. Pingping teringat cerita ibu, saat Pingping masih di dalam telur.
Selama Pingping di dalam telur, ayahlah yang mengerami Pingping. Telur diletakkan ayah diantara dua kaki. Ayah kuat berdiri lama agar telur Pingping tetap hangat. Bahkan, ayah tidak makan selama mengerami telur Pingping.
Mengingat itu, Pingping semakin rindu pada ayahnya. Kenapa ayah pulang terasa begitu lama? Begitu tanya Pingping di dalam hati.
"Ibu Pingping, kemana, Bu?" tanya Hasyim setelah mendengarkan cerita Ibu.
"Ibu Pingping pergi mencari makan." jawab Ibu.
"Kenapa bukan ayah Pingping yang cari makan? Kayak Ayah, cari uang buat beli makan. Ibu yang temanin Hasyim."
Ibu tersenyum sambil mengusap kepala Hasyim, "Karena, ibu Pingping tidak kuat berdiri lama sampai Pingping menetas. Makanya, ayah Pingping yang mengerami, ibu Pingping yang cari ikan."
"Terus, kenapa ayah Pingping ndak makan? Kalau ndak makan, nanti sakit perut, 'kan, Bu?" tanya Hasyim masih penasaran.
"Itu semua atas izin Allah, Nak. Ibu Pingping bertelur itu saat musim dingin. Ketika musim dingin, makanan sulit untuk di dapatkan. Makanya, yang kuat untuk tidak makan, dan juga berdiri lama itu ayah Pingping."
"Wah ... Ayah Pingping kuat!" ujar Hasyim kagum.
"Terus, kapan ibu Pingping pulang, Bu?" lanjut Hasyim bertanya.
"Ibu Pingping pulang saat telur akan menetas. Pada saat itu, biasanya musim dingin akan berakhir. Es-es sudah mulai mencair, sehingga terbentuk lubang-lubang air. Dari situlah ayah, dan ibu Pingping dapat berburu ikan atau makanan lainnya."
"Es kayak di dalam kulkas, ya, Bu?" Hasyim bertanya lagi, sepertinya dia belum mengerti.
"Benar, Nak. Sini, Ibu gambarkan." Hasyim dan Ibu jongkok di atas tanah. Ibu mulai menggambarkan, bagaimana bentuk es di Kutub yang kemudian membentuk lubang air saat mencair.
"Nah, dari lubang es seperti ini, pinguin mulai mencari ikan, udang atau cumi-cumi tadi." Tangan Ibu masih menggambar-gambar di atas tanah. "Nanti di rumah, Ibu lihatkan dimana Pingping pinguin tinggal. Oke?"
"Oke, Ibu!" sorak Hasyim senang. Wajah Hasyim tidak lagi menunjukkan kesedihan.
"Hasyim ... Ayah Pingping begitu kuat menjaga Pingping saat masih di dalam telur. Saat Pingping sudah menetas, ayah Pingping juga yang mencari makan dan melindungi Pingping dari hewan buas lain." jelas Ibu perlahan.
"Iya, ya, Bu. Ayah Pingping kuat." Hasyim membeo.
"Ayah juga begitu, lho, Nak. Saat Hasyim masih di dalam perut Ibu, Ayah sangat menjaga Ibu agar tetap makan makanan bergizi, tidak sakit, dan juga capek. Tiap hari, Ayah kerja, agar dapat membeli semua yang Hasyim perlukan. Kemarin, pas Ayah mau pergi kerja, hujan 'kan?"
"Iya, Bu. Hujannya deras, Ayah perginya sambil main hujan, ya, Bu?" tanya Hasyim dengan wajah senang.
"Saat panas, Ayah tetap pergi kerja juga. Itu semua untuk Hasyim. Kalau Ayah tidak kerja, pasti Hasyim diajak main oleh Ayah. Ya, 'kan?"
"Ayah suka main gelitikin Hasyim, Bu. Ayah ngajarin Hasyim main sepeda juga. Ayah sering belikan Hasyim es krim ...."
Selama Hasyim berceloteh tentang Ayah, Ibu menggenggam tangan mungil Hasyim menuju rumah mereka. Langit mulai menggelap, menandakan sebentar lagi matahari akan terbenam.
Sesampai di rumah, ternyata Ayah sudah duduk menunggu Hasyim dan Ibu di teras rumah. Hasyim berlari ke pelukan Ayah, sambil bersorak, "Ayah ... Hasyim kangen."
"Wah ... kenapa Hasyim terlihat begitu rindu sama Ayah?" tanya Ayah sambil menggendong Hasyim masuk ke dalam rumah.
"Tadi, Ibu cerita tentang Pingping pinguin, Yah. Pingping sabar menunggu ibunya pulang cari ikan. Terus, Pingping rindu ayahnya karena ayahnya lama sekali pulang. Jadinya Hasyim juga rindu sama Ayah." Hasyim bercerita sambil kembali memeluk Ayah, erat.
"Maaf, ya, Nak. Ayah terlambat pulang kerja. Kita juga tidak jadi bermain sepedanya. Hasyim ... ndak marah 'kan pada Ayah?" tanya Ayah hati-hati pada Hasyim. Ayah khawatir, kalau Hasyim menangis.
Ayah menyesal karena tidak bisa menunda pekerjaan di kantornya.
"Hasyim ndak marah sama Ayah. 'Kan kata Rasulullah, janganlah kamu marah, maka surga bagimu. Hasyim mau surga, Ayah." jawaban Hasyim membuat kagum Ayah dan Ibu.
"Masyaallah ... Hasyim tau dari siapa hadist Rasulullah itu?" tanya Ibu sambil meletakkan dua gelas air mineral di meja dekat Ayah dan Hasyim duduk.
"Pak Ustadz, Bu." Setelah menjawab pertanyaan Ibu, Hasyim kembali bercerita pada Ayah. "Ayah, Ayah ... ayah Pingping bisa berdiri lama, juga ndak makan-makan. Ayah Pingping kuat, ya, Yah?"
Ayah tersenyum, dan memeluk Hasyim. "Hasyim juga kuat, kuat untuk tidak marah karena tidak jadi main sepeda."
"Yeee ... Hasyim kuat." Hasyim tepuk tangan mendengar pujian Ayah.
"Kalau Ayah Hasyim?" tanya Ibu sambil tersenyum.
"Kalau Ayah Hasyim ... Ayah, hebat!"
Hasyim, Ayah, dan Ibu tertawa bersama.
"Karena Hasyim sudah sabar menunggu Ayah, juga tidak marah, besok kita main sepeda seharian. Juga makan es krim." ucap Ayah.
"Horeee ... Terima kasih Ayah hebat." Hasyim meloncat-loncat gembira.
Ayah, adalah orang yang sangat sayang padamu. Ayah rela berkerja apa saja, kapan saja, demi membuatmu tersenyum. Ayah tidak akan rela, jika kamu tersakiti. Ucapkan terima kasih pada Ayahmu, dan beri satu kecupan sayang. Ayahmu akan merasa bahagia.
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku