Aku menghirup udara, pelan, tapi rakus. Seolah tidak akan pernah lagi bertemu oksigen sesegar ini. Menikmati setiap tarikannya yang beraroma khas, sejuk, menenangkan.
"Petrichor," ujarmu yang entah kapan sudah duduk santai di sampingku.
Sedikit terkejut, kembali kukuasai diri. "Gak nanya," balasku sarkas.
Hening.
Kenikmatan akan anugerah hujan tadi sedikit terusik dengan keberadaannya.
Rindu.
Aku benci dengan rasa-rasa ini. Ketika hati begitu kesal, datang bersamaan yang katanya berat. Semua akan melebur, saat dia mengajak sedikit saja berbicara. Seperti sekarang.
Ck!
Kenapa aku selemah itu? Setidaknya sesekali aku ingin mengikuti ego, merajuk. Dibujuk, baru bicara. Namun, hati dan mulut seolah berselingkuh mengkhianati ego.
"Kenapa tau, aku di sini?" Pada akhirnya aku yang mengenyahkan keheningan. Selalu.
"Hm? ... Gak, kebetulan aja ke sini sama teman-teman." Aku mengikuti arah kepalanya yang memutar ke belakang, ke tempat sekelompok pemuda yang sedang menikmati hidangan kafe.
'Menyebalkan,' kataku sambil kembali menatap kaca yang berembun, memudarkan pandangan ke luar.
Aku mengusap kaca demi bisa melihat rintik-rintik yang terasa begitu damai. Galau yang beberapa hari menemani, setidaknya telah mengabur di dalam sini.
"Selain menjadi pluviophile, jadilah seorang ... Pedrophile." Kali ini, ada rasa hangat menjalar ke dada. Dia yang memecah kesunyian yang kerap hadir di antara kami.
Aku mengangkat alis tanda tidak mengerti, "Pe-dro-phile?" bahkan mengeja apa yang tadi diucapnya.
'Hah? Astaga ....'
Seketika bibir inipun merekah sempurna setelah paham maksudnya. Lalu menggeleng-gelengkan kepala dan menunduk. Malu dan tersipu. Masih dengan tawa yang tertahan.
Dasar. Kapan bisanya sih, ngomong to the point?
"Jangan lagi keluar tanpa izin dariku, oke?" Lanjutnya sambil merapatkan bangkunya ke arahku.
"Iya, maaf," jawabku menyambut uluran tangannya. Menggenggam erat.
"Yuk, udah lama gak main hujan, kan?" Aku menariknya menuju pintu luar.
"Oh, come on ...," jawabnya malas tapi masih mengikuti langkahku. Aku tau, dia paling tidak suka basah terkena hujan.
Beda denganku, yang selalu merasa bahagia terkena percikannya. Jangan tanya kenapa, bagiku, tidak ada alasan untuk menyukai hujan. Tawa ini lepas, walau ganjalan itu ... masih terasa.
"Petrichor," ujarmu yang entah kapan sudah duduk santai di sampingku.
Sedikit terkejut, kembali kukuasai diri. "Gak nanya," balasku sarkas.
Hening.
Kenikmatan akan anugerah hujan tadi sedikit terusik dengan keberadaannya.
Rindu.
Aku benci dengan rasa-rasa ini. Ketika hati begitu kesal, datang bersamaan yang katanya berat. Semua akan melebur, saat dia mengajak sedikit saja berbicara. Seperti sekarang.
Ck!
Kenapa aku selemah itu? Setidaknya sesekali aku ingin mengikuti ego, merajuk. Dibujuk, baru bicara. Namun, hati dan mulut seolah berselingkuh mengkhianati ego.
"Kenapa tau, aku di sini?" Pada akhirnya aku yang mengenyahkan keheningan. Selalu.
"Hm? ... Gak, kebetulan aja ke sini sama teman-teman." Aku mengikuti arah kepalanya yang memutar ke belakang, ke tempat sekelompok pemuda yang sedang menikmati hidangan kafe.
'Menyebalkan,' kataku sambil kembali menatap kaca yang berembun, memudarkan pandangan ke luar.
Aku mengusap kaca demi bisa melihat rintik-rintik yang terasa begitu damai. Galau yang beberapa hari menemani, setidaknya telah mengabur di dalam sini.
"Selain menjadi pluviophile, jadilah seorang ... Pedrophile." Kali ini, ada rasa hangat menjalar ke dada. Dia yang memecah kesunyian yang kerap hadir di antara kami.
Aku mengangkat alis tanda tidak mengerti, "Pe-dro-phile?" bahkan mengeja apa yang tadi diucapnya.
'Hah? Astaga ....'
Seketika bibir inipun merekah sempurna setelah paham maksudnya. Lalu menggeleng-gelengkan kepala dan menunduk. Malu dan tersipu. Masih dengan tawa yang tertahan.
Dasar. Kapan bisanya sih, ngomong to the point?
"Jangan lagi keluar tanpa izin dariku, oke?" Lanjutnya sambil merapatkan bangkunya ke arahku.
"Iya, maaf," jawabku menyambut uluran tangannya. Menggenggam erat.
"Yuk, udah lama gak main hujan, kan?" Aku menariknya menuju pintu luar.
"Oh, come on ...," jawabnya malas tapi masih mengikuti langkahku. Aku tau, dia paling tidak suka basah terkena hujan.
Beda denganku, yang selalu merasa bahagia terkena percikannya. Jangan tanya kenapa, bagiku, tidak ada alasan untuk menyukai hujan. Tawa ini lepas, walau ganjalan itu ... masih terasa.
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku