Kamu kenal dengan Bilal bin Rabah? Muadzin pada saat zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam, right? Kalau dengan Abdullah bin Ummu Maktum? Beliau juga muadzin Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam. Ya, ternyata Rasulullah memiliki dua orang muadzin pada saat itu.
Dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiallahu'anha :
"Sesungguhnya Bilal adzan pada waktu (sepertiga) malam. Karena itu, Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, 'Makan dan minumlah kalian sampai Abdullah bin Ummu Maktum adzan. Karena ia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq (masuk waktu subuh)'." (Tafsiir Abdullah bin Katsiir 8/321)
Membaca hadist di atas dapat diketahui bahwa, Bilal bin Rabah dan Abdullah bin Ummu Maktum, memiliki waktu khusus mengumandangkan azan. Jika Bilal di waktu tahajud, maka Abdullah azan saat terbitnya fajar.
Abdullah bin Ummu Maktum radhiallahu'anhu, adalah sahabat Rasulullah yang termasuk di antara as-sabiqunal awwalun (orang-orang yang pertama memeluk Islam). Nama Abdullah merupakan nama pemberian dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wa ssalam. Sebelumnya, ada yang mengatakan nama beliau adalah Umar, sedangkan orang Irak menyebutnya Amr. Nasab Abdullah bin Ummu Maktum adalah Abdullah bin Qays bin Zaidah bin al-Usham.
Sahabat Rasulullah shalallahu‘alaihi wassallam yang merupakan sepupu dari Khadijah binti Khuwailid ini, memiliki keterbatasan fisik semenjak kecil.
Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bertanya kepadanya, "sejak kapan, engkau kehilangan penglihatan?"
Ia menjawab, "sejak kecil."
Maka Rasulullahshallallahu'alaihi wa sallam bersabda,
"Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman, 'Jika Aku mengambil penglihatan hamba-Ku, maka tidak ada balasan yang lebih pantas kecuali surga'." (HR. Tirmidzi)
Betapa bahagia Abdullah bin Ummu Maktum mendengar sabda Rasulullah tersebut, menjadikannya sosok yang semakin cinta pada ajaran sunnah Sang Teladan. Walaupun tidak bisa melihat sebagaimana orang pada umumnya, tidak menyurutkan semangat Abdullah bin Ummu Maktum untuk beribadah pada Allah Subhanahu wata'ala.
Suatu waktu, Abdullah bin Ummu Maktum mengikuti pengajian Rasulullah Shallallahua'alaihi wassalam yang membahas betapa pentingnya kewajiban setiap Muslim ketika mendengar azan untuk segera menunaikan shalat.
Mendengar demikian, Abdullah bin Ummu Maktum memberanikan diri untuk bertanya kepada Rasulullah, mengingat keterbatasan fisiknya.
"Wahai Rasulullah shalallahu‘alaihi wassallam, apakah saya juga diwajibkan kendati saya tidak bisa melihat?" tanya Abdullah bin Ummu Maktum.
Nabi menjawab, "apakah kamu mendengar seruan azan?"
Abdullah bin Ummu Maktum menjawab dengan yakin, "ya, saya mendengarnya."
Nabi shalallahu‘alaihi wassallam bersabda, "Maka jawablah seruannya, karena aku tidak mendapatkan keringanan untukmu."
(Ditakhrij oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad: 3/23. Dan Abdullah bin Mâjah: Kitabul Masâjid, Bab At-taghlidh Fit Takhalluf 'anil jamâ'ah, No. 792).
Lantas, Abdullah bin Ummu Maktum selalu datang shalat berjamaah di masjid meskipun dia harus merangkak, meraba-raba dalam dunianya yang gelap.
Suatu ketika di waktu Subuh, saat azan dikumandangkan, Abdullah bin Ummu Maktum pun bergegas ke masjid. Di tengah jalan, kakinya tersandung batu hingga terjatuh dan berdarah. Namun, beliau terus melangkah untuk tetap berjamaah ke masjid.
Waktu Subuh berikutnya, ia bertemu dengan seorang pemuda yang menolong dan menuntunnya sampai ke masjid. Selama berhari-hari, pemuda ini selalu mengantarnya ke masjid.
Hingga hari berikutnya, Abdullah bin Ummu Maktum melontarkan pertanyaan, "wahai saudaraku, siapakah gerangan namamu?"
"Apa untungnya bagi engkau mengetahui namaku, yang penting engkai bisa menuaikan ibadahmu." jawab sang pemuda tanpa menjawab pertanyaan.
"Demi Allah, kabarkan kepadaku, siapa dirimu." tutur Abdullah bin Ummu Maktum mendesak.
Sang pemuda itupun akhirnya mengenalkan diri. "Wahai Abdullah bin Ummu Maktum, ketahuilah sesungguhnya aku adalah iblis," ujarnya.
"Lalu mengapa engkau menolongku dan selalu mengantarkanku ke masjid? Bukankah engkau semestinya mencegahku untuk ke masjid?" tanya Abdullah bin Ummu Maktum lagi.
Pemuda yang ternyata iblis itu kemudian mengatakan alasan atas pertolongannya. "Wahai Abdullah bin Ummu Maktum, masih ingatkah engkau beberapa hari yang lalu tatkala engkau hendak ke masjid dan engkau terjatuh? Aku tidak ingin hal itu terulang lagi. Sebab, karena engkau terjatuh, Allah telah mengampuni dosamu yang separuh. Aku takut kalau engkau jatuh lagi, Allah akan menghapuskan dosamu yang separuhnya lagi, sehingga terhapuslah dosamu seluruhnya. Maka, sia-sialah kami menggodamu selama ini," jelas iblis menjelaskan niat culasnya yang berbungkus kebaikan.
Sungguh, setan itu adalah musuh manusia paling nyata (QS Fatir [35]: 6). Bahkan, dalam berbuat kebaikanpun manusia disesatkan menuju kemungkaran kepada Allah Azza wa Jalla.
"Selamat datang orang yang karenanya Allah menegurku.” Itulah sepenggal kalimat yang diucapkan Rasulullah shalallahu‘alaihi wassallam saat berjumpa dengan Abdullah Bin Ummu Maktum. Keistimewaan lain dari Sang Sahabat.
Abdullah bin Ummu Maktum adalah seorang yang tegas dan gigih dalam menegakkan agama Allah. Menghafal Al-Quran adalah impiannya. Keinginan dirinya begitu kuat untuk terus mempelajari wahyu-wahyu Allah.
Pada saat itu, Nabi Muhammad shalallahu‘alaihi wassallam sedang melakukan dakwah pada pembesar kaum Quraiys. Terdapat berbagai macam riwayat tentang nama-nama para pembesar Quraisy tersebut. Sebagian riwayat menyebutkan mereka adalah ‘Utbah bin Robi’ah, Abu Jahl bin Hisyaam, dan al-‘Abbas bin ‘Abdil Muthholib. Sebagian riwayat menyatakan Nabi sedang mendakwahi Umayyah bin Kholaf. Dan riwayat yang lain menunjukan Nabi sedang mendakwahi Ubay bin Kholaf. (lihat riwayat-riwayat tersebut dalam Tafsir At-Thobari 24/103-104).
Nabi shalallahu‘alaihi wassallam begitu bersemangat berdakwah di hadapan para pembesar Quraisy. Dengan harapan, jika pemukanya masuk Islam, maka akan banyak pengikutnya yang akan ikut serta.
Tatkala Nabi shalallahu‘alaihi wassallam sedang berkonsentrasi mendakwahi para Ubay bin Kholaf -atau yang lainnya-, lalu datanglah Abdullah bin Ummu Maktum yang buta, dan memotong pembicaraan Nabi shalallahu'alaihi wassallam, dia berkata, “Ya Rasulullah, berikanlah petunjuk kepadaku.”
Rasulullah menoleh sejenak pada Abdullah bin Ummu Maktum, lalu kembali fokus mendakwahi Ubay bin Khalaf, seorang saudagar kaya raya.
Sikap Rasulullah yang mengabaikan dan bermuka masam kepada Abdullah bin Ummu Maktum inilah yang membuat Nabi ditegur Allah Ta'ala. Allah subhanallahu wata’ala berfirman :
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta dating kepadanya, Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang dating kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali kali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran Allah itu suatu peringatan. Maka siapa yanag menghendaki tentulah ia memperhatikannya. (Ajaran ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti.” (QS. 80 : 1 – 16)
Surat 'Abasa yang berart Ia Bermuka Masam, itulah yang disampaikan Jibril Al-Amin ke dalam hati Rasulullah sehubungan dengan peristiwa Abdullah bin Ummu Maktum. Rasulullah shalallahu'alaihi wassallam menyadari kekeliruan dan kesalahan sikapnya.
Semenjak itu, Rasulullah shalallahu‘alaihi wassallam begitu memuliakan dan melayani kebutuhan Abdullah bin Ummu Maktum. Diriwayatkan, Abdullah bin Ummu Maktum datang kepada Rasulullah shallallahu‘alaihi wassallam, maka beliau menyambutnya dengan mengatakan,
“Marhaban (selamat datang) orang yang Robbku menegurku karenanya."
Beliau juga berkata kepadanya, “apakah ada keperluanmu?” (Tafsiir Al-Baghowi 8/332)
Disebutkan dalam sejarah, dalam dua kali peperangan Rasulullah shallallahu‘alaihi wassallam menjadikan Abdullah bin Ummu Maktum sebagai kepala Madinah Madinah ketika Nabi shallallahu'alaihi wassallam meninggalkan Madinah.
Seharusnya yang mengurusi kota Madinah bukanlah orang buta, tetapi Rasulullah shallallahu‘alaihi wassallam mempercayakan posisi itu kepada Abdullah bin Ummu Maktum tatkala Nabi shallallahu‘alaihi wassallam berperang di luar dari kota Madinah. (lihat Tafsir At-Thobari 24/104 dan Tafsir al-Baghowi 8/332)
Selain itu, Nabi menjadikan beliau sebagai muadzin subuh, yaitu azan yang kedua padahal beliau tidak bisa melihat fajar. Beliau hanya bisa azan kalau ada yang memberitahu bahwa fajar sudah terbit. (Tafsiir Abdullah bin Katsiir 8/321). Padahal yang lebih utama yang azan adalah yang bisa melihat fajar dan bukan orang buta. Namun ini semua dilakukan oleh Nabi dalam rangka menghargai Abdullah bin Umi Maktuum.
Bagi Abdullah bin Ummu Maktum, jiwa yang besar tidak dapat dikatakan besar, kecuali bila orang itu memikul pula pekerjaan besar. Oleh karena itu, sekalipun buta, dan sudah mendapatkan maaf dari Allah Jazza wa Jalla tidak dapat turun berjihad karena mempunyai udzur (QS. 4 : 95), beliau tetap membulatkan tekad untuk turut berperang fii sabilillah.
Maka, pada tahun ke empat belas Hijriyah, khalifah Umar bin Khaththab membuat keputusan akan memasuki wilayah Persia untuk menggulingkan pemerintahan yang zalim, dan menggantinya dengan pemerintahan Islam yang demokratis dan bertauhid.
Abdullah bin Ummu Maktum sangat bersemangat untuk turut berperang dan menetapkan sendiri tugasnya di medan perang. Perang tersebut dikenal dengan perang Qadisiyah.
Katanya, “tempatkan saya antara dua barisan sebagai pembawa bendera. Saya akan memeganya erat-erat untuk kalian. Saya buta, karena itu saya pasti tidak akan lari.”
Pada akhirnya, kaum Muslimin berhasil memenangkan perang dengan kemenangan paling besar yang belum pernah direbutnya. Maka runtuhlah mahligai yang termegah, dan berkibarlah bendera tauhid di bumi penyembah berhala itu.
Kemenangan yang meyakinkan itu dibayar dengan darah dan jiwa ratusan syuhada. Diantara mereka yang syahid, terdapat Abdullah bin Ummu Maktum yang buta. Dia ditemukan terkapar di medan tempur berlumuran darah syahidnya, sambil memeluk bendera kaum muslimin.
Sumber :
https://firanda.com/2784-tafsir-surat-abasa-tafsir-juz-amma.html
https://kisahmuslim.com/4445-abdullah-bin-Ummu-maktum-sang-muadzin-rasulullah.html
Shuwar min Hayaatis Shahabah, Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya dalam https://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/12/abdullah-bin-ummi-maktum-wafat-14-h/amp/
Dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiallahu'anha :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا : أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
"Sesungguhnya Bilal adzan pada waktu (sepertiga) malam. Karena itu, Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, 'Makan dan minumlah kalian sampai Abdullah bin Ummu Maktum adzan. Karena ia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq (masuk waktu subuh)'." (Tafsiir Abdullah bin Katsiir 8/321)
Membaca hadist di atas dapat diketahui bahwa, Bilal bin Rabah dan Abdullah bin Ummu Maktum, memiliki waktu khusus mengumandangkan azan. Jika Bilal di waktu tahajud, maka Abdullah azan saat terbitnya fajar.
🍃🍂🍃
Abdullah bin Ummu Maktum radhiallahu'anhu, adalah sahabat Rasulullah yang termasuk di antara as-sabiqunal awwalun (orang-orang yang pertama memeluk Islam). Nama Abdullah merupakan nama pemberian dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wa ssalam. Sebelumnya, ada yang mengatakan nama beliau adalah Umar, sedangkan orang Irak menyebutnya Amr. Nasab Abdullah bin Ummu Maktum adalah Abdullah bin Qays bin Zaidah bin al-Usham.
Sahabat Rasulullah shalallahu‘alaihi wassallam yang merupakan sepupu dari Khadijah binti Khuwailid ini, memiliki keterbatasan fisik semenjak kecil.
Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bertanya kepadanya, "sejak kapan, engkau kehilangan penglihatan?"
Ia menjawab, "sejak kecil."
Maka Rasulullahshallallahu'alaihi wa sallam bersabda,
قال الله تبارك وتعالى: إذا ما أخذتُ كريمة عبدي لم أجِدْ له بها جزاءً إلا الجنة
"Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman, 'Jika Aku mengambil penglihatan hamba-Ku, maka tidak ada balasan yang lebih pantas kecuali surga'." (HR. Tirmidzi)
Betapa bahagia Abdullah bin Ummu Maktum mendengar sabda Rasulullah tersebut, menjadikannya sosok yang semakin cinta pada ajaran sunnah Sang Teladan. Walaupun tidak bisa melihat sebagaimana orang pada umumnya, tidak menyurutkan semangat Abdullah bin Ummu Maktum untuk beribadah pada Allah Subhanahu wata'ala.
Suatu waktu, Abdullah bin Ummu Maktum mengikuti pengajian Rasulullah Shallallahua'alaihi wassalam yang membahas betapa pentingnya kewajiban setiap Muslim ketika mendengar azan untuk segera menunaikan shalat.
Mendengar demikian, Abdullah bin Ummu Maktum memberanikan diri untuk bertanya kepada Rasulullah, mengingat keterbatasan fisiknya.
"Wahai Rasulullah shalallahu‘alaihi wassallam, apakah saya juga diwajibkan kendati saya tidak bisa melihat?" tanya Abdullah bin Ummu Maktum.
Nabi menjawab, "apakah kamu mendengar seruan azan?"
Abdullah bin Ummu Maktum menjawab dengan yakin, "ya, saya mendengarnya."
Nabi shalallahu‘alaihi wassallam bersabda, "Maka jawablah seruannya, karena aku tidak mendapatkan keringanan untukmu."
(Ditakhrij oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad: 3/23. Dan Abdullah bin Mâjah: Kitabul Masâjid, Bab At-taghlidh Fit Takhalluf 'anil jamâ'ah, No. 792).
Lantas, Abdullah bin Ummu Maktum selalu datang shalat berjamaah di masjid meskipun dia harus merangkak, meraba-raba dalam dunianya yang gelap.
Suatu ketika di waktu Subuh, saat azan dikumandangkan, Abdullah bin Ummu Maktum pun bergegas ke masjid. Di tengah jalan, kakinya tersandung batu hingga terjatuh dan berdarah. Namun, beliau terus melangkah untuk tetap berjamaah ke masjid.
Waktu Subuh berikutnya, ia bertemu dengan seorang pemuda yang menolong dan menuntunnya sampai ke masjid. Selama berhari-hari, pemuda ini selalu mengantarnya ke masjid.
Hingga hari berikutnya, Abdullah bin Ummu Maktum melontarkan pertanyaan, "wahai saudaraku, siapakah gerangan namamu?"
"Apa untungnya bagi engkau mengetahui namaku, yang penting engkai bisa menuaikan ibadahmu." jawab sang pemuda tanpa menjawab pertanyaan.
"Demi Allah, kabarkan kepadaku, siapa dirimu." tutur Abdullah bin Ummu Maktum mendesak.
Sang pemuda itupun akhirnya mengenalkan diri. "Wahai Abdullah bin Ummu Maktum, ketahuilah sesungguhnya aku adalah iblis," ujarnya.
"Lalu mengapa engkau menolongku dan selalu mengantarkanku ke masjid? Bukankah engkau semestinya mencegahku untuk ke masjid?" tanya Abdullah bin Ummu Maktum lagi.
Pemuda yang ternyata iblis itu kemudian mengatakan alasan atas pertolongannya. "Wahai Abdullah bin Ummu Maktum, masih ingatkah engkau beberapa hari yang lalu tatkala engkau hendak ke masjid dan engkau terjatuh? Aku tidak ingin hal itu terulang lagi. Sebab, karena engkau terjatuh, Allah telah mengampuni dosamu yang separuh. Aku takut kalau engkau jatuh lagi, Allah akan menghapuskan dosamu yang separuhnya lagi, sehingga terhapuslah dosamu seluruhnya. Maka, sia-sialah kami menggodamu selama ini," jelas iblis menjelaskan niat culasnya yang berbungkus kebaikan.
Sungguh, setan itu adalah musuh manusia paling nyata (QS Fatir [35]: 6). Bahkan, dalam berbuat kebaikanpun manusia disesatkan menuju kemungkaran kepada Allah Azza wa Jalla.
🍃🍂🍃
"Selamat datang orang yang karenanya Allah menegurku.” Itulah sepenggal kalimat yang diucapkan Rasulullah shalallahu‘alaihi wassallam saat berjumpa dengan Abdullah Bin Ummu Maktum. Keistimewaan lain dari Sang Sahabat.
Abdullah bin Ummu Maktum adalah seorang yang tegas dan gigih dalam menegakkan agama Allah. Menghafal Al-Quran adalah impiannya. Keinginan dirinya begitu kuat untuk terus mempelajari wahyu-wahyu Allah.
Pada saat itu, Nabi Muhammad shalallahu‘alaihi wassallam sedang melakukan dakwah pada pembesar kaum Quraiys. Terdapat berbagai macam riwayat tentang nama-nama para pembesar Quraisy tersebut. Sebagian riwayat menyebutkan mereka adalah ‘Utbah bin Robi’ah, Abu Jahl bin Hisyaam, dan al-‘Abbas bin ‘Abdil Muthholib. Sebagian riwayat menyatakan Nabi sedang mendakwahi Umayyah bin Kholaf. Dan riwayat yang lain menunjukan Nabi sedang mendakwahi Ubay bin Kholaf. (lihat riwayat-riwayat tersebut dalam Tafsir At-Thobari 24/103-104).
Nabi shalallahu‘alaihi wassallam begitu bersemangat berdakwah di hadapan para pembesar Quraisy. Dengan harapan, jika pemukanya masuk Islam, maka akan banyak pengikutnya yang akan ikut serta.
Tatkala Nabi shalallahu‘alaihi wassallam sedang berkonsentrasi mendakwahi para Ubay bin Kholaf -atau yang lainnya-, lalu datanglah Abdullah bin Ummu Maktum yang buta, dan memotong pembicaraan Nabi shalallahu'alaihi wassallam, dia berkata, “Ya Rasulullah, berikanlah petunjuk kepadaku.”
Rasulullah menoleh sejenak pada Abdullah bin Ummu Maktum, lalu kembali fokus mendakwahi Ubay bin Khalaf, seorang saudagar kaya raya.
Sikap Rasulullah yang mengabaikan dan bermuka masam kepada Abdullah bin Ummu Maktum inilah yang membuat Nabi ditegur Allah Ta'ala. Allah subhanallahu wata’ala berfirman :
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta dating kepadanya, Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang dating kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali kali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran Allah itu suatu peringatan. Maka siapa yanag menghendaki tentulah ia memperhatikannya. (Ajaran ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti.” (QS. 80 : 1 – 16)
Surat 'Abasa yang berart Ia Bermuka Masam, itulah yang disampaikan Jibril Al-Amin ke dalam hati Rasulullah sehubungan dengan peristiwa Abdullah bin Ummu Maktum. Rasulullah shalallahu'alaihi wassallam menyadari kekeliruan dan kesalahan sikapnya.
Semenjak itu, Rasulullah shalallahu‘alaihi wassallam begitu memuliakan dan melayani kebutuhan Abdullah bin Ummu Maktum. Diriwayatkan, Abdullah bin Ummu Maktum datang kepada Rasulullah shallallahu‘alaihi wassallam, maka beliau menyambutnya dengan mengatakan,
مَرْحَبًا بِمَنْ عَاتَبَنِي فِيهِ رَبِّي
“Marhaban (selamat datang) orang yang Robbku menegurku karenanya."
Beliau juga berkata kepadanya, “apakah ada keperluanmu?” (Tafsiir Al-Baghowi 8/332)
Disebutkan dalam sejarah, dalam dua kali peperangan Rasulullah shallallahu‘alaihi wassallam menjadikan Abdullah bin Ummu Maktum sebagai kepala Madinah Madinah ketika Nabi shallallahu'alaihi wassallam meninggalkan Madinah.
Seharusnya yang mengurusi kota Madinah bukanlah orang buta, tetapi Rasulullah shallallahu‘alaihi wassallam mempercayakan posisi itu kepada Abdullah bin Ummu Maktum tatkala Nabi shallallahu‘alaihi wassallam berperang di luar dari kota Madinah. (lihat Tafsir At-Thobari 24/104 dan Tafsir al-Baghowi 8/332)
Selain itu, Nabi menjadikan beliau sebagai muadzin subuh, yaitu azan yang kedua padahal beliau tidak bisa melihat fajar. Beliau hanya bisa azan kalau ada yang memberitahu bahwa fajar sudah terbit. (Tafsiir Abdullah bin Katsiir 8/321). Padahal yang lebih utama yang azan adalah yang bisa melihat fajar dan bukan orang buta. Namun ini semua dilakukan oleh Nabi dalam rangka menghargai Abdullah bin Umi Maktuum.
🍃🍂🍃
Bagi Abdullah bin Ummu Maktum, jiwa yang besar tidak dapat dikatakan besar, kecuali bila orang itu memikul pula pekerjaan besar. Oleh karena itu, sekalipun buta, dan sudah mendapatkan maaf dari Allah Jazza wa Jalla tidak dapat turun berjihad karena mempunyai udzur (QS. 4 : 95), beliau tetap membulatkan tekad untuk turut berperang fii sabilillah.
Maka, pada tahun ke empat belas Hijriyah, khalifah Umar bin Khaththab membuat keputusan akan memasuki wilayah Persia untuk menggulingkan pemerintahan yang zalim, dan menggantinya dengan pemerintahan Islam yang demokratis dan bertauhid.
Abdullah bin Ummu Maktum sangat bersemangat untuk turut berperang dan menetapkan sendiri tugasnya di medan perang. Perang tersebut dikenal dengan perang Qadisiyah.
Katanya, “tempatkan saya antara dua barisan sebagai pembawa bendera. Saya akan memeganya erat-erat untuk kalian. Saya buta, karena itu saya pasti tidak akan lari.”
Pada akhirnya, kaum Muslimin berhasil memenangkan perang dengan kemenangan paling besar yang belum pernah direbutnya. Maka runtuhlah mahligai yang termegah, dan berkibarlah bendera tauhid di bumi penyembah berhala itu.
Kemenangan yang meyakinkan itu dibayar dengan darah dan jiwa ratusan syuhada. Diantara mereka yang syahid, terdapat Abdullah bin Ummu Maktum yang buta. Dia ditemukan terkapar di medan tempur berlumuran darah syahidnya, sambil memeluk bendera kaum muslimin.
🍃🍂🍃
Sumber :
https://firanda.com/2784-tafsir-surat-abasa-tafsir-juz-amma.html
https://kisahmuslim.com/4445-abdullah-bin-Ummu-maktum-sang-muadzin-rasulullah.html
Shuwar min Hayaatis Shahabah, Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya dalam https://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/12/abdullah-bin-ummi-maktum-wafat-14-h/amp/
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku