sebelumnya → Alasan
Deheman yang berupa teguran dari arah belakang, membuat punggung Alisha dan Gita tegak seketika. Bibir mereka yang tadi terbuka, langsung tertutup rapat. Jantung mereka berdentum cepat.
Siapa yang mau mencari kesalahan dengan senior pada saat MOS? Tidak ada. Senior selalu benar, junior harus mengikuti senior, jika senior salah, kembali ke nomor satu. Ish ... apa-apaan itu. Maka, selagi bisa menjauh, jaga jarak saja dengan mereka--yang sok berkuasa--dalam beberapa hari ini.
Namun beberapa orang ada yang bilang, sih, kalau dapat masalah dari senior saat masa orientasi, bisa menjadikan keakraban tersendiri nantinya. Membuka peluang menjadi relasi, bukankah memiliki jaringan pertemanan yang banyak itu baik?
Bagi Alisha dan Gita, lebih baik menghindar saja. Mereka tahu, kok, tidak semua dari mereka yang sok-sokan. Sebagian mungkin ada yang tulus menjalankan kewajiban sebagai seorang senior tanpa maksud terselubung. Maksud apa? Nanti kamu juga tahu.
"Heh, kok malah jadi patung, sih?"
Serempak mereka menoleh ke arah suara yang tadi menyapa dengan rasa cemas. Lalu menghembuskan nafas lega saat sudah melihat yang punya suara.
"Pasti mikirnya senior, ya?" Gemes. Apalagi ditambah cekikikannya yang menyebalkan.
"Lo, ngapain dalam barisan cewek?"
Kekesalan yang sempat dipendam Qia, tersalurkan dengan pertanyaan ketus dari Gita kepada Jimmy.
"Nah, ketahuan gak nyimak instruksi," telunjuk Jimmy bergantian ke arah Qia dan Gita, kemudian tatapannya fokus ke arah gadis berhijab lebar itu, "maaf, Ukhti, boleh kita ganti posisi?"
Dahi Qia seketika berkerut menandakan sama sekali tak mengerti. Posisi apa yang harus diganti? Kenapa harus gantian dengan cowok ini?
"Buruan, ntar kita kena tegur senior!" Sedikit bentakan dari Jimmy mengalihkan pertanyaan-pertanyaan di kepalanya. Belum sepenuhnya mengerti maksud Jimmy, suara bass lain kembali mengejutkan Qia, diikuti tepukan jidat sendiri oleh Gita.
"Kamu, ikut saya." Satu tunjuk mengarah pada Qiara, kemudian pemilik suara bass tadi melangkah meninggalkan tiga junior yang masih bertampang lugu itu, tanpa tahu bahwa yang diberi titah masih bengong kaku seperti celengan. Astaga.
"Mate," gumaman lanjut Gita.
"Heh, dengar tidak? Kamu, ikuti, saya!"
Suara tegas dari yang tidak lain adalah seorang senior itu, kembali mengejutkan Qia. Astaghfirullah ... lama-lama bisa dapat penyakit jantung aku, ujarnya di hati.
Tiba-tiba saja tangan Qia melayang diikuti badannya yang tertarik. Mata Qiara yang tadi tampak terkejut, semakin membesar melihat tangannya di genggam tangan lain. Tangan laki-laki. Ya, laki-laki. Apa?
"Aaaaarghhh!!!"
Lengkingan suara itu keluar begitu saja dari mulut Qia, diikuti hentakannya melepaskan tautan dua tangan yang menyebabkan gadis itu berteriak. Suasana terasa menjadi hening, semua mata tertuju pada mereka.
Sang senior yang tadi tampak kaget, langsung kembali menguasai keadaan. "Apa yang kalian lihat? Lanjutkan kegiatan!" teriaknya lantang.
Semua mata yang tadi memandang mereka, kembali berdengung, walapun beberapa pasang mata tetap ke arah sepasang senior-junior itu.
"Dan, kamu, ke ruang OSIS, se-ka-rang!" lanjutnya dengan tatapan yang tajam, setajam ... silet. Elah.
Sedikit gemetar Qia berdiri di depan pintu ruang OSIS, sementara sepasang mata duduk di meja khusus ketua menatap tajam siswi yang tampak resah itu. Kenapa harus takut, sih, Qi? Bukannya kamu udah siap dengan segala resikonya? Lagian dia juga seorang hamba Allah, kok. Gayanya aja yang disangar-sangarkan.
Qiara sibuk menguatkan diri. Apa gadis itu tidak tahu kalau Sang Ketua sudah geram menantinya di dalam ruangan? Lagian, kenapa di bawa ke ruangan, sih? Dengar saja apa alasan ukhti bertubuh kelewat langsing itu.
"Jangan di dalam, Kak. Di sini aja,"
"Memang kenapa kalau di dalam?"
"Nanti kena fitnah."
Jika semua siswi di SMA itu takut ditatap tajam oleh Ketua OSIS, tidak bagi Qia. Netra berbulu lentik itu begitu santai membalas tatapan mata sakura itu. Sakura apaan, Qi? Saya kurang ramah, muehehehe ....
"Ck! Lo membuang-buang waktu gue, tau!"
Qiara sedikit terkejut saat mendapati si Ketos sudah berada di hadapannya.
"Gak tau," jawab Qia dengan tatapan polos yang masih melihat si Ketos.
Jangan ditanya bagaimana ekspresi cowok itu mendengar jawaban lugu Qia. "Lo ... tau nama gue?" Niat ingin berkata kasar, malah jadi ingin menguji siswi tamatan pesantren itu.
"Diky?"
"Good. Balik ke lapangan. Tapi, ingat, urusan kita belum selesai." Diky berjalan mendahului Qia yang masih terbengong-bengong dengan sikap seniornya itu. Namun, tetap mengikuti langkah cowok berbadan tegap di depannya.
"Hah? Urusan apaan, Kak? Kita 'kan baru kenal. Eh, belum kenalan malah."
Gemes. Diky menghentikan langkahnya yang mengakibatkan Qia menabrak punggung cowok itu.
"Astaghfirullah," Qia mundur beberapa langkah, "jangan ngambil kesempatan, Kak. Ini udah yang ke dua kali kamu berusaha bersentuhan denganku. Sekali lagi, awas kamu!"
Ancaman serius dari Qia membuat Diky melongo. Mata membesar dengan mulut menganga. Iya, sebegitu herannya Diky pada siswi yang bahkan dia belum tahu siapa namanya.
"Lo ...."
"Kenapa? Manis?" Masih dengan nada kesalnya, Qia kembali melontarkan pertanyaan lugu.
"Kembali ke lapangan sekarang, atau gue gendong ...." Suara Diky terdengar menggelegar di koridor yang sepi.
Tanpa menunggu Diky menyelasaikan perkataannya, Qia langsung berlari ke arah lapangan. Bukannya Qia takut dengan ancaman Diky, hanya saja sepertinya si bulat ungu sudah mulai berdatangan di antar mereka.
'Cewek aneh. Lagian, kenapa gue bawa dia ke ruang OSIS, sih?'
▼▲▼
Deheman yang berupa teguran dari arah belakang, membuat punggung Alisha dan Gita tegak seketika. Bibir mereka yang tadi terbuka, langsung tertutup rapat. Jantung mereka berdentum cepat.
Siapa yang mau mencari kesalahan dengan senior pada saat MOS? Tidak ada. Senior selalu benar, junior harus mengikuti senior, jika senior salah, kembali ke nomor satu. Ish ... apa-apaan itu. Maka, selagi bisa menjauh, jaga jarak saja dengan mereka--yang sok berkuasa--dalam beberapa hari ini.
Namun beberapa orang ada yang bilang, sih, kalau dapat masalah dari senior saat masa orientasi, bisa menjadikan keakraban tersendiri nantinya. Membuka peluang menjadi relasi, bukankah memiliki jaringan pertemanan yang banyak itu baik?
Bagi Alisha dan Gita, lebih baik menghindar saja. Mereka tahu, kok, tidak semua dari mereka yang sok-sokan. Sebagian mungkin ada yang tulus menjalankan kewajiban sebagai seorang senior tanpa maksud terselubung. Maksud apa? Nanti kamu juga tahu.
"Heh, kok malah jadi patung, sih?"
Serempak mereka menoleh ke arah suara yang tadi menyapa dengan rasa cemas. Lalu menghembuskan nafas lega saat sudah melihat yang punya suara.
"Pasti mikirnya senior, ya?" Gemes. Apalagi ditambah cekikikannya yang menyebalkan.
"Lo, ngapain dalam barisan cewek?"
Kekesalan yang sempat dipendam Qia, tersalurkan dengan pertanyaan ketus dari Gita kepada Jimmy.
"Nah, ketahuan gak nyimak instruksi," telunjuk Jimmy bergantian ke arah Qia dan Gita, kemudian tatapannya fokus ke arah gadis berhijab lebar itu, "maaf, Ukhti, boleh kita ganti posisi?"
Dahi Qia seketika berkerut menandakan sama sekali tak mengerti. Posisi apa yang harus diganti? Kenapa harus gantian dengan cowok ini?
"Buruan, ntar kita kena tegur senior!" Sedikit bentakan dari Jimmy mengalihkan pertanyaan-pertanyaan di kepalanya. Belum sepenuhnya mengerti maksud Jimmy, suara bass lain kembali mengejutkan Qia, diikuti tepukan jidat sendiri oleh Gita.
"Kamu, ikut saya." Satu tunjuk mengarah pada Qiara, kemudian pemilik suara bass tadi melangkah meninggalkan tiga junior yang masih bertampang lugu itu, tanpa tahu bahwa yang diberi titah masih bengong kaku seperti celengan. Astaga.
"Mate," gumaman lanjut Gita.
"Heh, dengar tidak? Kamu, ikuti, saya!"
Suara tegas dari yang tidak lain adalah seorang senior itu, kembali mengejutkan Qia. Astaghfirullah ... lama-lama bisa dapat penyakit jantung aku, ujarnya di hati.
Tiba-tiba saja tangan Qia melayang diikuti badannya yang tertarik. Mata Qiara yang tadi tampak terkejut, semakin membesar melihat tangannya di genggam tangan lain. Tangan laki-laki. Ya, laki-laki. Apa?
"Aaaaarghhh!!!"
Lengkingan suara itu keluar begitu saja dari mulut Qia, diikuti hentakannya melepaskan tautan dua tangan yang menyebabkan gadis itu berteriak. Suasana terasa menjadi hening, semua mata tertuju pada mereka.
Sang senior yang tadi tampak kaget, langsung kembali menguasai keadaan. "Apa yang kalian lihat? Lanjutkan kegiatan!" teriaknya lantang.
Semua mata yang tadi memandang mereka, kembali berdengung, walapun beberapa pasang mata tetap ke arah sepasang senior-junior itu.
"Dan, kamu, ke ruang OSIS, se-ka-rang!" lanjutnya dengan tatapan yang tajam, setajam ... silet. Elah.
Sedikit gemetar Qia berdiri di depan pintu ruang OSIS, sementara sepasang mata duduk di meja khusus ketua menatap tajam siswi yang tampak resah itu. Kenapa harus takut, sih, Qi? Bukannya kamu udah siap dengan segala resikonya? Lagian dia juga seorang hamba Allah, kok. Gayanya aja yang disangar-sangarkan.
Qiara sibuk menguatkan diri. Apa gadis itu tidak tahu kalau Sang Ketua sudah geram menantinya di dalam ruangan? Lagian, kenapa di bawa ke ruangan, sih? Dengar saja apa alasan ukhti bertubuh kelewat langsing itu.
"Jangan di dalam, Kak. Di sini aja,"
"Memang kenapa kalau di dalam?"
"Nanti kena fitnah."
Jika semua siswi di SMA itu takut ditatap tajam oleh Ketua OSIS, tidak bagi Qia. Netra berbulu lentik itu begitu santai membalas tatapan mata sakura itu. Sakura apaan, Qi? Saya kurang ramah, muehehehe ....
"Ck! Lo membuang-buang waktu gue, tau!"
Qiara sedikit terkejut saat mendapati si Ketos sudah berada di hadapannya.
"Gak tau," jawab Qia dengan tatapan polos yang masih melihat si Ketos.
Jangan ditanya bagaimana ekspresi cowok itu mendengar jawaban lugu Qia. "Lo ... tau nama gue?" Niat ingin berkata kasar, malah jadi ingin menguji siswi tamatan pesantren itu.
"Diky?"
"Good. Balik ke lapangan. Tapi, ingat, urusan kita belum selesai." Diky berjalan mendahului Qia yang masih terbengong-bengong dengan sikap seniornya itu. Namun, tetap mengikuti langkah cowok berbadan tegap di depannya.
"Hah? Urusan apaan, Kak? Kita 'kan baru kenal. Eh, belum kenalan malah."
Gemes. Diky menghentikan langkahnya yang mengakibatkan Qia menabrak punggung cowok itu.
"Astaghfirullah," Qia mundur beberapa langkah, "jangan ngambil kesempatan, Kak. Ini udah yang ke dua kali kamu berusaha bersentuhan denganku. Sekali lagi, awas kamu!"
Ancaman serius dari Qia membuat Diky melongo. Mata membesar dengan mulut menganga. Iya, sebegitu herannya Diky pada siswi yang bahkan dia belum tahu siapa namanya.
"Lo ...."
"Kenapa? Manis?" Masih dengan nada kesalnya, Qia kembali melontarkan pertanyaan lugu.
"Kembali ke lapangan sekarang, atau gue gendong ...." Suara Diky terdengar menggelegar di koridor yang sepi.
Tanpa menunggu Diky menyelasaikan perkataannya, Qia langsung berlari ke arah lapangan. Bukannya Qia takut dengan ancaman Diky, hanya saja sepertinya si bulat ungu sudah mulai berdatangan di antar mereka.
'Cewek aneh. Lagian, kenapa gue bawa dia ke ruang OSIS, sih?'
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku