Sebelumnya → Hijrah Rasa (5)
"Jadi, lo kenal Qiara di mana?"
Begitu junior yang harusnya menjadi sandera sang Ketos ke luar dari ruangannya, Diky langsung meluapkan pertanyaan yang daritadi ditahannya.
Ari sudah menebak sebelumnya jika Diky akan mempertanyakan hal ini. Bukan maksudnya juga menutupi hubungannya dengan Qia. Salah Diky sendiri kalau selama ini selalu cuek dengan cewek.
"Kenapa? Akhirnya terjerat pesona ciwi juga?"
Diky menatap tajam Ari yang sudah berpindah duduk di seberang meja kerjanya. Bukan jawaban yang diberikan Ari, malah semakin menggoda teman dekatnya semenjak awal SMA.
"Ck! Itu mata bisa biasa aja, gak? Qia adik gue." Ari merasa terintimidasi oleh tatapan Diky. 'Jangan bilang gue takut, tidak, hanya saja ... apa, ya? Ya ... itulah.'
Bahkan Ari yang sudah paham sifat Diky, masih salah tingkah jika tatapan burung hantunya digunakan. Iya, owl, muehehehehe.
"Kandung?" Tatapan Diky sebegitu tidak percayanya dengan jawaban Ari.
"Iya. Kenapa? Tau rasa lo harus dapatin restu gue dulu."
"Buat apa? Kalau hatinya udah gue dapat, restu lo mah gampang aja."
"Percaya diri banget lo bisa menangin hati Qia? Gue kasih tau, Qia ... gak mengenal pacaran."
"Udah gue duga, sih."
Jangankan pacaran, tersentuh kulit aja doi gak mau. Tapi, bukan Diky namanya kalau gak bisa menangin hati cewek ... ukhti. Oke, mungkin memang dia beda. Gak, dia sama. Cuma beda gaya pergaulan aja.
"Yah ... malah bengong kayak celengan. Jangan mikir dia cuma beda dipergaulan. Dia bedanya udah dari sininya."
Ari menunjuk tepat di dada Diky. Bagaimanapun, dia tidak rela sang adik digoda laki-laki. Kalau sudah tiba masanya, imamnya akan datang dengan cara baik-baik. Bukan cara Diky mendekatinya saat ini.
"Gue gak akan melarang lo untuk nyoba dekatin Qia. Tapi, gue saranin, mending pelajari dulu gaya pergaulan Qia. Kalau gak, siap-siap kecewa."
"Trus, gue jadi kayak lo, gitu?"
"Maksud lo?"
"Jan tersinggung. Maksud gue ... hijrah?"
"Good idea. Gue bakal menggenggam tangan lo-"
"Gak, gak usah. Biar Qia yang genggam tangan gue."
Ari menatap jengah ke arah Diky. Namun, di hati, dia mengaminkan jika memang Diky ingin berhijrah. Hijrah karena Allah tentunya, bukan karena Qia. Kini, tanggung jawabnya bertambah satu, selalu mengingatkan dan menguatkan hati Qia. Setan, siapa yang tahu?
◆◆◆
"Jadi, lo kenal Qiara di mana?"
Begitu junior yang harusnya menjadi sandera sang Ketos ke luar dari ruangannya, Diky langsung meluapkan pertanyaan yang daritadi ditahannya.
Ari sudah menebak sebelumnya jika Diky akan mempertanyakan hal ini. Bukan maksudnya juga menutupi hubungannya dengan Qia. Salah Diky sendiri kalau selama ini selalu cuek dengan cewek.
"Kenapa? Akhirnya terjerat pesona ciwi juga?"
Diky menatap tajam Ari yang sudah berpindah duduk di seberang meja kerjanya. Bukan jawaban yang diberikan Ari, malah semakin menggoda teman dekatnya semenjak awal SMA.
"Ck! Itu mata bisa biasa aja, gak? Qia adik gue." Ari merasa terintimidasi oleh tatapan Diky. 'Jangan bilang gue takut, tidak, hanya saja ... apa, ya? Ya ... itulah.'
Bahkan Ari yang sudah paham sifat Diky, masih salah tingkah jika tatapan burung hantunya digunakan. Iya, owl, muehehehehe.
"Kandung?" Tatapan Diky sebegitu tidak percayanya dengan jawaban Ari.
"Iya. Kenapa? Tau rasa lo harus dapatin restu gue dulu."
"Buat apa? Kalau hatinya udah gue dapat, restu lo mah gampang aja."
"Percaya diri banget lo bisa menangin hati Qia? Gue kasih tau, Qia ... gak mengenal pacaran."
"Udah gue duga, sih."
Jangankan pacaran, tersentuh kulit aja doi gak mau. Tapi, bukan Diky namanya kalau gak bisa menangin hati cewek ... ukhti. Oke, mungkin memang dia beda. Gak, dia sama. Cuma beda gaya pergaulan aja.
"Yah ... malah bengong kayak celengan. Jangan mikir dia cuma beda dipergaulan. Dia bedanya udah dari sininya."
Ari menunjuk tepat di dada Diky. Bagaimanapun, dia tidak rela sang adik digoda laki-laki. Kalau sudah tiba masanya, imamnya akan datang dengan cara baik-baik. Bukan cara Diky mendekatinya saat ini.
"Gue gak akan melarang lo untuk nyoba dekatin Qia. Tapi, gue saranin, mending pelajari dulu gaya pergaulan Qia. Kalau gak, siap-siap kecewa."
"Trus, gue jadi kayak lo, gitu?"
"Maksud lo?"
"Jan tersinggung. Maksud gue ... hijrah?"
"Good idea. Gue bakal menggenggam tangan lo-"
"Gak, gak usah. Biar Qia yang genggam tangan gue."
Ari menatap jengah ke arah Diky. Namun, di hati, dia mengaminkan jika memang Diky ingin berhijrah. Hijrah karena Allah tentunya, bukan karena Qia. Kini, tanggung jawabnya bertambah satu, selalu mengingatkan dan menguatkan hati Qia. Setan, siapa yang tahu?
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku