Langsung ke konten utama

Ingin Seperti Siti Hajar

Langkahku yang terasa sangat berat sepulang dari kuliah, terhenti saat melihat Noni sedang berlari-lari kecil di lapangan bola, dari gawang selatan ke arah gawang utara, kemudian kembali ke gawang selatan, begitu seterusnya. Sementara, adiknya Ismail yang berusia sekitar lima tahun melompat-lompat di sudut lapangan. Ke duanya tampak kelelahan, tapi Noni masih saja berlari dan Ismail terus melompat. Mereka kenapa?

Kuarahkan langkah ke lapangan bola. Sekalipun payung menaungiku dari panas terik siang ini, namun hawa panas kentara sekali. Keringat terasa mengalir di kulit, apalagi sepasang adik-kakak itu, dengan baju panjang yang mereka kenakan, tanpa pelindung panas, tentu saja peluh lebih membanjiri badan ke duanya.

"Non, ngapain?" sorakku berdiri di sebelah Ismail. Noni mengangkat tangannya memberi isyarat, tunggu sebentar.

"Kak, udah dong ... capek, nih." Rengekan Ismail akhirnya memutar tubuh Noni ke arah kami berdiri. Nafasnya tersengal-sengal, pun dengan Ismail.

Aku menyerahkan minuman gelas yang kudapat dari seminar di kampus tadi ke pada Ismail. Tanpa sedotan, air kemasan itu habis setengahnya oleh Ismail. Lalu, sisanya diminun Noni yang sudah selunjuran di pasir.

Aku ikut duduk di sebelah Ismail yang bahkan sudah merebahkan badannya. "Olah raga kok tengah hari gini, sih, Non?" tanyaku berulang sambil memposisikan payung melindungi tiga badan.

"Aku benaran ingin jadi Siti Hajar, Fi. Bukankah bunda Hajar berlari-lari kecil dulu barulah zam zam muncul?" ujarnya dengan mata penuh harap.

Zam-zam? Dahiku berkerut mendengar jawabannya. Sejenak mencoba mencerna maksud dari gadis berdarah campuran itu. "Jadi, Ismail kamu suruh melompat-lompat biar muncul air, gitu?"

Noni mengangguk-angguk dengan wajah lugunya. Astaga, hampir saja tawaku meledak, tapi mengingat mereka sedang memperdalam keislaman, segera aku menutup mulut. "Gak gitu juga kali, Non."

Perempuan bernetra abu-abu itu memiringkan kepalanya demi mendengar penjelasan dariku yang katanya ilmu agamaku jauh lebih dalam dari padanya yang mualaf. Padahal, akupun baru hijrah belum satu tahun ini.

"Ingin menjadi bunda Hajar, cukup meneladani sikapnya, bukan melakukan apa yang pernah dikerjakannya. Lagian, ya, zam zam itu keluar bukan karena hentakan kaki nabi Ismail, tapi malaikat jibril yang menancapkan tongkatnya di dekat kaki nabi Ismail, tentunya atas izin Allah."

"Aku pikir karena hentakan kaki nabi Ismail yang menendang-nendang," ujarnya sambil terkekeh mengingat apa yang disuruhnya pada Ismail. Kami berdua melihat Ismail yang ternyata sudah tertidur, kasihan.

Noni melakukan lari-lari kecil seperti bunda Hajar bukan tanpa alasan. Sudah hampir dua bulan ini, hujan tak turun. Warga mulai kesulitan air bersih, sungai yang mengalir di ujung kampungpun mulai mengering. Kami tidak tahu, apakah musim kemarau sudah waktunya, atau ... karena kami, di sini, sudah terlalu jauh dariNya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

.sungai jambu.

apa yang terfikirkan oleh mu jika membaca judul HARAKA kali ini? kelamaan mikirnya, baca aja cerita HARAKA kali ini tentang "Desa ku yang Permai" hahaha... Sungai Jambu adalah sebuah nama nagari di Batu Sangkar. nagari ini terletak di pinggang gunung Marapi [ketinggian ±700 meter dari permukaan laut] , kecamatan Pariangan, Sumatera Barat. nagari yang sungguh menakjubkan, yakin de siapa pun yang pernah ke sana tak akan pernah bosan dengan alamnya, eksotis banget, Subhanallah sangat [terkagum-kagum]. Sungai Jambu termasuk nagari tertua di Sumatera Barat, dialiri oleh 3 batang sungai dan dilatar belakangi oleh Gunung Marapi . bagaimana zee bisa kenal dengan desa ini? jawabannya adalaaaaahh... taraaaaa... [dasar zee stres] itu kampung halaman zee, hehe... di desa ini mama tercinta dilahirkan dan dibesarkan. nah, bagi yang suka narsis, sampe capek silahkan berfutu-futu ria, tak kan pernah puas. zee aja setiap pulkam ga pernah puas berfutu-futu [ntah apa karna futu grafernya y...

Yang Penting Nulis

Kuingin menulis, tapi tidak tahu apa yang ingin ditulis. Sekadar menulis, meluapkan 2 ribu kata yang sepertinya tidak begitu tersalurkan hari ini. Penting? Penting. Biar rasa-rasa yang tak diperlukan tubuh lepas, puas, bebas. Kuingin menulis. Entah itu tentang hati, hidup, atau umumnya yang dibicarakan. Namun, saat ini hati sedang tidak ingin berpikir. Maka, kutulis saja apa yang dirasa kepala. Walaupun hanya serangkai kalimat, bukan kata-kata yang sarat makna. Kuingin menulis y ang kadang mempunyai makna yang tersirat. Namun, kali ini, aku tidak akan menyiratkan suatu makna dalam tulisan ini. Hanya ingin menulis disaat kutak tau harus berpikir apa. Kata-kataku hanyalah biasan kecil dari hati. Sebuah catatan kecil yang kutulis saat mata harus terpejam untuk menjalani hari esok bersama senyuman. Bersama tawa si Kecil. Bersama kasih darimu. Bersama doa untuk yang tercinta.

Me-review

Lama ingin belajar me-review buku. Cukup buku, kalau film mungkin nanti, saat kiddos gak nempel kayak prangko lagi. Nanti juga dicoba melihat kembali (baca : review) sebuah produk. Ini sekarang baru mau belajar. Belum pernah nulis. Jadi, mau mencatat dan menyimpan ilmu tentang me-review di sini. Me-review dalam bahasa Indonesia ; ulasan, atau komentar? Kira-kira seperti itu, ya. Hehehe. Kemarin tanya-tanya ke senior WaG KLIP, cara me-review buku : coba tulis apa bagusnya atau jeleknya apa yang bikin kita merekomendasikan film/ buku tersebut kalau boleh saran 3 poin ini : 1. yang disukai 2. yang ga disukai 3. plot cerita plot di akhir karena orang-orang toh bisa google sendiri bagaimana jalan ceritanya iya atau bahas karakternya bisa bahas penulisnya juga dan karya-karya sebelomnya, kan kemiripan cara mengakhiri ceritanya Sampai di sana, saya paham tapi belum juga mencoba untuk mereview. Hadehh. Kalau kita search di google, banyak. Namun, di sini, saya hanya ...