Sebenarnya ini ide gila. Bekerja sebagai asisten rumah tangga saat libur semester. Demi sebuah gadget. Smartphone yang proposalnya ditolak mentah-mentah oleh bokap. Lalu diikuti kultum yang sudah kuhafal intinya.
Buat apa? Kalau cuma mau eksis di media sosial, yang ada dosa buat kamu. Perempuan itu aurat. Setan akan membuatmu lebih cantik jika dilihat sama yang bukan mahrammu. Lagian, nanti ada lagi proposal minta jajan naik. Aku, no!
Kira-kira gitu isi kultum bokap. Kenapa gue share? Biar kamu-kamu perempuan juga kena kultum relay. Muehehehe ... tapi, yang disampaikan bokap gue, benar 'kan?
Gue agak tersentil sama kata-kata terakhir beliau. Gadget itu cuma membuat dompet menipis. Duit keluar, tapi gak ada yang bisa masuk. Benar juga, gue mikir gimana bisa beli kuota tanpa uang?
Maka, tatkala duduk sendirian di tepi pantai, heleh ... gue bertemu sepasang insan berusia senja yang tampak jelas di wajah mereka guratan kesedihan.
Singkat cerita, gue akhirnya kenalan sama mereka. Lalu, entah apa yang ada di kepala ini, gue menawarkan diri sebagai periang rumah, merangkap pembokat.
Periang rumah. Seseorang yang pekerjaanya membuat rumah nan sunyi menjadi riang. Abaikanlah istilah gue.
Jadi, Pren, sepasang kekasih ini ternyata baru ditinggal pergi oleh anak menantunya. Pergi jauh tak 'kan pernah kembali, gitu. Mereka meninggalkan seorang anak bujang yang frustasi akan hidupnya. Rumah yang dulu terasa begitu berwarna, kini seolah dicat warna hitam semua. Kelam.
Setelah mendapat SIM--surat izin membokat--dari Ayah, gue mendatangi alamat yang sudah diberikan mereka saat sore itu. Setelah mencocokkan nomor rumah dengan catatan di tangan, aku yakin seyakin-yakinnya, ini rumah yang kelam katanya itu.
"Assalammualaikum, Oma," sapaku dari balik pagar minimalis. Jangan kaget baca panggilan gue ke beliau. Itu atas izin Oma.
"Waalaikumsalam," jawab perempuan senja itu, meninggalkan sejenak selang air yang sedang dipegangnya. "Wah, Oma pikir, kamu sorean datangnya," ujarnya lagi sambil membukakan pintu jeruji besi itu.
"Pagi itu lebih menakjubkan kata Sheila on Seven, Oma," jawab gue asal. 'Kan kata slogan rang-orang, lebih cepat lebih baik. Lebih cepat dapat duit, perut lebih baik. Hakz.
Oma merespon jawaban gue hanya dengan senyum dan gelengan, lalu mengajak masuk ke rumah. Rumah beliau gak besar-besar amat, tapi nyaman.
Selagi Oma ke belakang--mengambil minum, mungkin--gue mengamati foto-foto yang terpajang. Keluarga harmonis. Gitu, sih, yang gue tangkap dari beberapa foto.
"Berkeluarga itu ... yang terpenting, rasa nyaman dalam berkomunikasi antara suami dan istri. Dengan demikian, segalanya bisa terkendali. Sekalipun, kadang harus ada rasa pahit yang ditelan."
Pandangan gue beralih ke Oma yang datang dari arah dalam rumah, membawa nampan dengan dua cangkir dan satu toples di atasnya, lalu menyusunnya di atas meja tamu. Mata gue mengikuti semua gerak-geriknya.
Kata-kata Oma ini, tersirat.
"Yang penting, dia selalu bersama kita, kan?"
Kalimat itu bukan kalimat tanya, gue tau, tapi penegasan dan penguat hati. "Tapi, kalau dilengkapi dengan cinta, semua lebih terasa indah, Oma."
Oma menatap gue sesaat setelah mendengar argumen gue. Ada pendar kecewa yang gue tangkap dari sorot mata sayu itu. Gue mengikuti Oma yang duduk di sofa, tepat di sebelah beliau.
"Benar. Cinta memang menjadikan segalanya indah. Namun, cinta juga kerap menjadi alasan untuk memupuskan suatu hubungan. Klise."
Gue bingung gimana menanggapinya. Sesaat, terdengar hembusan nafas. Gue pandangi Oma, mencoba merasakan apa yang di hatinya.
"Kita jadi bicara kemana-mana, nih. Yuk, kita keliling dulu."
Oma mengajak keliling rumahnya yang ternyata ... luas ke belakang, Pren. Dari depan terlihat bersahaja. Eh, kalau terus ditelusuri ... wow, deh. Seketika gue jadi panas dingin, seluas ini gimana clear and clean sendiri? Bisa rontok tulang belulang gue.
"Mukanya gak usah pucat gitu, rumah ini udah ada pekerja yang bersihinnya. Tugas kamu, cukup di rumah utama, temanin kami." Penjelasan Oma membuat gue melepas nafas. Iya, tadi tercekat, untung sebentar.
"Ah, Oma tau aja," jawab gue salah tingkah, tangan kanan mengelus-elus lengan kiri.
Cerita kami berlanjut hingga saat jam makan siang. Oma banyak bertanya tentang gue, sih. Wajar, orang baru masuk ke rumah kita memang harus di introgasi biar gak ketipu.
Bahkan, Oma udah tahu gue seorang mahasiswi tingkat akhir dan alasan gue mau menjadi ART. Dan Oma kembali tersenyum sambil geleng-geleng. Hihihii ....
Kalau seperti ini kerjanya, mah, gue mau terus bareng si Oma Opa. Mau tau kerjaan gue? Tolongin Oma masak. Temanin Opa Oma makan, juga nonton tivi. Hingga menjelang malam, kalau gak salah itu-itu aja yang gue kerjain. Terpenting, mulut gue ngoceh terus. Jadilah, Oma gak merasa kesepian.
Kini, posisi gue udah di kasur empuk. Di kamar layak kamar hotel, wangi. Udah hampir tiga puluh menit gue hadap kanan dan kiri, tapi mata maunya melek terus. Mewah, sih ... tapi, gue ingatnya kasur di rumah. Ngangenin ternyata. Entah itu kasurnya, atau suasananya.
Gue jadi ingat curcol Oma tadi sore. Tentang cinta, berat memang, seperti badan emak-emak. Kabooor ....
Opa dan Oma ini kenal hanya sekitar lima bulan. Alasan Opa berani langsung lamar Oma, karena dia memang cari istri, bukan pacar. Belum ada rasa di antara mereka, Oma tau itu. Semakin hari berjalan, ke duanya dianugerahi sepasang putra dan putri. Namun, kata sakral itu tak pernah sekalipun terucap dari mulut mereka.
Yang namanya perempuan, kebiasaan bersama lambat laun, akan menumbuhkan rasa yang tak biasa di hatinya. Entah lelaki. Oma menunggu Opa mengucapkannya, tapi itu hanya harapan yang dikubur Oma pada akhirnya.
Saat Oma iseng bertanya, "kamu ... cinta aku 'kan, Mas?"
Jawaban Opa tidaklah memuaskan hati Oma, "apa masih perlu kata cinta disaat aku selalu di sisimu dan menuaikan semua nafkah padamu?"
Sejak saat itu, Oma hanya berharap pada Sang Penguasa Hati
Buat apa? Kalau cuma mau eksis di media sosial, yang ada dosa buat kamu. Perempuan itu aurat. Setan akan membuatmu lebih cantik jika dilihat sama yang bukan mahrammu. Lagian, nanti ada lagi proposal minta jajan naik. Aku, no!
Kira-kira gitu isi kultum bokap. Kenapa gue share? Biar kamu-kamu perempuan juga kena kultum relay. Muehehehe ... tapi, yang disampaikan bokap gue, benar 'kan?
Gue agak tersentil sama kata-kata terakhir beliau. Gadget itu cuma membuat dompet menipis. Duit keluar, tapi gak ada yang bisa masuk. Benar juga, gue mikir gimana bisa beli kuota tanpa uang?
Maka, tatkala duduk sendirian di tepi pantai, heleh ... gue bertemu sepasang insan berusia senja yang tampak jelas di wajah mereka guratan kesedihan.
Singkat cerita, gue akhirnya kenalan sama mereka. Lalu, entah apa yang ada di kepala ini, gue menawarkan diri sebagai periang rumah, merangkap pembokat.
Periang rumah. Seseorang yang pekerjaanya membuat rumah nan sunyi menjadi riang. Abaikanlah istilah gue.
Jadi, Pren, sepasang kekasih ini ternyata baru ditinggal pergi oleh anak menantunya. Pergi jauh tak 'kan pernah kembali, gitu. Mereka meninggalkan seorang anak bujang yang frustasi akan hidupnya. Rumah yang dulu terasa begitu berwarna, kini seolah dicat warna hitam semua. Kelam.
Setelah mendapat SIM--surat izin membokat--dari Ayah, gue mendatangi alamat yang sudah diberikan mereka saat sore itu. Setelah mencocokkan nomor rumah dengan catatan di tangan, aku yakin seyakin-yakinnya, ini rumah yang kelam katanya itu.
"Assalammualaikum, Oma," sapaku dari balik pagar minimalis. Jangan kaget baca panggilan gue ke beliau. Itu atas izin Oma.
"Waalaikumsalam," jawab perempuan senja itu, meninggalkan sejenak selang air yang sedang dipegangnya. "Wah, Oma pikir, kamu sorean datangnya," ujarnya lagi sambil membukakan pintu jeruji besi itu.
"Pagi itu lebih menakjubkan kata Sheila on Seven, Oma," jawab gue asal. 'Kan kata slogan rang-orang, lebih cepat lebih baik. Lebih cepat dapat duit, perut lebih baik. Hakz.
Oma merespon jawaban gue hanya dengan senyum dan gelengan, lalu mengajak masuk ke rumah. Rumah beliau gak besar-besar amat, tapi nyaman.
Selagi Oma ke belakang--mengambil minum, mungkin--gue mengamati foto-foto yang terpajang. Keluarga harmonis. Gitu, sih, yang gue tangkap dari beberapa foto.
"Berkeluarga itu ... yang terpenting, rasa nyaman dalam berkomunikasi antara suami dan istri. Dengan demikian, segalanya bisa terkendali. Sekalipun, kadang harus ada rasa pahit yang ditelan."
Pandangan gue beralih ke Oma yang datang dari arah dalam rumah, membawa nampan dengan dua cangkir dan satu toples di atasnya, lalu menyusunnya di atas meja tamu. Mata gue mengikuti semua gerak-geriknya.
Kata-kata Oma ini, tersirat.
"Yang penting, dia selalu bersama kita, kan?"
Kalimat itu bukan kalimat tanya, gue tau, tapi penegasan dan penguat hati. "Tapi, kalau dilengkapi dengan cinta, semua lebih terasa indah, Oma."
Oma menatap gue sesaat setelah mendengar argumen gue. Ada pendar kecewa yang gue tangkap dari sorot mata sayu itu. Gue mengikuti Oma yang duduk di sofa, tepat di sebelah beliau.
"Benar. Cinta memang menjadikan segalanya indah. Namun, cinta juga kerap menjadi alasan untuk memupuskan suatu hubungan. Klise."
Gue bingung gimana menanggapinya. Sesaat, terdengar hembusan nafas. Gue pandangi Oma, mencoba merasakan apa yang di hatinya.
"Kita jadi bicara kemana-mana, nih. Yuk, kita keliling dulu."
Oma mengajak keliling rumahnya yang ternyata ... luas ke belakang, Pren. Dari depan terlihat bersahaja. Eh, kalau terus ditelusuri ... wow, deh. Seketika gue jadi panas dingin, seluas ini gimana clear and clean sendiri? Bisa rontok tulang belulang gue.
"Mukanya gak usah pucat gitu, rumah ini udah ada pekerja yang bersihinnya. Tugas kamu, cukup di rumah utama, temanin kami." Penjelasan Oma membuat gue melepas nafas. Iya, tadi tercekat, untung sebentar.
"Ah, Oma tau aja," jawab gue salah tingkah, tangan kanan mengelus-elus lengan kiri.
Cerita kami berlanjut hingga saat jam makan siang. Oma banyak bertanya tentang gue, sih. Wajar, orang baru masuk ke rumah kita memang harus di introgasi biar gak ketipu.
Bahkan, Oma udah tahu gue seorang mahasiswi tingkat akhir dan alasan gue mau menjadi ART. Dan Oma kembali tersenyum sambil geleng-geleng. Hihihii ....
Kalau seperti ini kerjanya, mah, gue mau terus bareng si Oma Opa. Mau tau kerjaan gue? Tolongin Oma masak. Temanin Opa Oma makan, juga nonton tivi. Hingga menjelang malam, kalau gak salah itu-itu aja yang gue kerjain. Terpenting, mulut gue ngoceh terus. Jadilah, Oma gak merasa kesepian.
Kini, posisi gue udah di kasur empuk. Di kamar layak kamar hotel, wangi. Udah hampir tiga puluh menit gue hadap kanan dan kiri, tapi mata maunya melek terus. Mewah, sih ... tapi, gue ingatnya kasur di rumah. Ngangenin ternyata. Entah itu kasurnya, atau suasananya.
Gue jadi ingat curcol Oma tadi sore. Tentang cinta, berat memang, seperti badan emak-emak. Kabooor ....
Opa dan Oma ini kenal hanya sekitar lima bulan. Alasan Opa berani langsung lamar Oma, karena dia memang cari istri, bukan pacar. Belum ada rasa di antara mereka, Oma tau itu. Semakin hari berjalan, ke duanya dianugerahi sepasang putra dan putri. Namun, kata sakral itu tak pernah sekalipun terucap dari mulut mereka.
Yang namanya perempuan, kebiasaan bersama lambat laun, akan menumbuhkan rasa yang tak biasa di hatinya. Entah lelaki. Oma menunggu Opa mengucapkannya, tapi itu hanya harapan yang dikubur Oma pada akhirnya.
Saat Oma iseng bertanya, "kamu ... cinta aku 'kan, Mas?"
Jawaban Opa tidaklah memuaskan hati Oma, "apa masih perlu kata cinta disaat aku selalu di sisimu dan menuaikan semua nafkah padamu?"
Sejak saat itu, Oma hanya berharap pada Sang Penguasa Hati
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku