"Ciee ... yang baru ketemu mantan." Alia yang baru saja kembali dari istirahat siangnya, disambut oleh kalimat kepo terselubung dari Tia.
Mataku beralih pada Tia yang tampak sedikit terkejut, terlihat dari terhentinya langkahnya, tapi langsung bisa mengendalikan diri.
Seperti biasa, ada saja topik bulian dari Tia untuk Alia. Dibilang mereka pernah punya masalah sebelumnya, tidak. Memang dasar Tia saja yang suka resek. Aku pun pernah jadi korbannya Tia, tapi cewek komersil itu kesal sendiri karena tak kuladeni.
"Aku speechless, lho. Mbak Tia segitu perhatiannya sama aku."
Beda denganku, Alia nagih membalas cemoohan dari Tia. Aku salut pada Alia yang selalu santai menghadapi sikap setiap teman. Bahkan, kepada seorang pembuli seperti Tia.
"Aku pernah down, kok. Tapi, kucoba untuk melawannya dengan berpikir positif. Karena sejatinya, jiwa positif kita itu lebih banyak disediakan Allah daripada aura negatif. Bersedih boleh, larut jangan."
Begitu jawab perempuan 32 tahun itu saat kutanya tentang sikap santainya.
Tampak Tia memutar bola matanya, "Geer. Gue ingatin, ya. Mending, selesaiin, tuh, perasaan lo yang belum kelar. Kasian, dong, suami tampan lo."
Tia mengangkat ke dua alisnya, lalu melihatku dari sudut matanya. Seperti bertanya, 'maksudnya apa, sih?'
Aku yang belum menangkap arti dari kata-kata Tia, hanya bisa mengangkat bahu dan menggeleng.
"Kenapa? Betul 'kan dugaan gue?" tanya Tia lagi menghentikan kode-kodean dari kami.
"Makasih udah bilang suamiku ganteng, Mbak." Senyum dan jawaban dari Alia mengisyaratkan bahwa dia merasa agak terganggu kali ini. "Iya, tadi aku ketemu mantan. Hanya saja, tidak ada yang perlu kami selesaikan."
"Yakin gak ada?" Tia memandang Alia penuh selidik. Memang kalau ember bocor itu sebegitu menyebalkan, ya. Dikasih air, malah dimubazirin. Padahal, kalau saja air itu bisa dimanfaatkannya, setidaknya dia bisa sedikit bersih.
Etapi, itu 'kan benda mati.
"By the way, emang lo lihat gimana tampangnya mantan Alia tadi?" Aku yang tiba-tiba penasaran, jadi ikutan ingin tahu. Bukan ingin tahu urusan ibu beranak dua itu, sekedar pembuktian, ini si Tia gak lagi sebar hoak 'kan?
"Nih, gue kasih lihat," Tia mengeluarkan smart phone dari saku blezer ungunya, menunjuk-menunjuk layar itu sesaat, lalu memperlihatkan dengan bangga, sebuah gambar sepasang insan duduk berhadapan saling bertaut tangan.
Kafe ini ada di seberang jalan kantor kami. Posisi duduk mereka di foto itu, memang dekat kaca arah ke jalan. Wajar, Tia bisa mendapatkan foto itu.
Aku memperhatikan dengan seksama, rasa-rasanya aku mengenali postur tubuh lelaki yang ada bersama Alia di foto itu. "Coba zoom, deh." Titahku yang langsung dilaksanakan Tia. Makin bangga merasa aku juga tertarik dengan beritanya.
Tampak jelaslah siapa mantan Alia yang dikatakan Tia. Mau menyemburkan tawa tapi kayaknya masih perlu pembuktian sekali lagi. Aku mengangguk-angguk sok tertarik. "Lo, pernah ketemu suami Alia?"
"Belum, sih. Tapi gue pernah lihat fotonya di fb Alia." jawabnya sambil menyimpan kembali hp-nya.
Aku tersenyum penuh arti ke arah Alia yang hanya membalas dengan menggeleng-geleng kecil. Aku menangkap maksudnya.
Baru saja Tia akan melanjutkan aksinya, bos dari pintu ruangannya bersorak memanggil kami bertiga.
Hal biasa, kalau beliau ingin mendiskusikan tentang pekerjaan. Setelahnya, aku, Tia dan Alia akan bergegas ke ruangannya.
"Lho, kak Doni?"
"Hei, De."
Sapaan hangat antara aku dengan tamu si Bos saat masuk ke ruangan menejer itu, menghentikan langkah Tia tepat sebelum pintu.
"Ti, surprais gak ketemu kak Doni?" bisikku saat sudah duduk di sofa ruangan menejer.
"Gak usah resek!" Sewotnya sambil berbisik pula.
"Ciee ... yang ketemu sama mantan." Kali ini aku terang-terangan meledek Tia sambil terkikik. Mumpung dua lelaki itu belum bergabung dengan kami duduk di sofa.
"CLBK ya, Mbak. Cinta Lo Buat Kecewa." Lanjut Alia puas.
Tia? Sepertinya butuh strika wajah. Nanti ditraktir saja, itu wajah akan kembali licin. Aku dan Alia saling menyenggol bahu dan menahan suara tawa.
Cerita lainnya → Romantis
Mataku beralih pada Tia yang tampak sedikit terkejut, terlihat dari terhentinya langkahnya, tapi langsung bisa mengendalikan diri.
Seperti biasa, ada saja topik bulian dari Tia untuk Alia. Dibilang mereka pernah punya masalah sebelumnya, tidak. Memang dasar Tia saja yang suka resek. Aku pun pernah jadi korbannya Tia, tapi cewek komersil itu kesal sendiri karena tak kuladeni.
"Aku speechless, lho. Mbak Tia segitu perhatiannya sama aku."
Beda denganku, Alia nagih membalas cemoohan dari Tia. Aku salut pada Alia yang selalu santai menghadapi sikap setiap teman. Bahkan, kepada seorang pembuli seperti Tia.
"Aku pernah down, kok. Tapi, kucoba untuk melawannya dengan berpikir positif. Karena sejatinya, jiwa positif kita itu lebih banyak disediakan Allah daripada aura negatif. Bersedih boleh, larut jangan."
Begitu jawab perempuan 32 tahun itu saat kutanya tentang sikap santainya.
Tampak Tia memutar bola matanya, "Geer. Gue ingatin, ya. Mending, selesaiin, tuh, perasaan lo yang belum kelar. Kasian, dong, suami tampan lo."
Tia mengangkat ke dua alisnya, lalu melihatku dari sudut matanya. Seperti bertanya, 'maksudnya apa, sih?'
Aku yang belum menangkap arti dari kata-kata Tia, hanya bisa mengangkat bahu dan menggeleng.
"Kenapa? Betul 'kan dugaan gue?" tanya Tia lagi menghentikan kode-kodean dari kami.
"Makasih udah bilang suamiku ganteng, Mbak." Senyum dan jawaban dari Alia mengisyaratkan bahwa dia merasa agak terganggu kali ini. "Iya, tadi aku ketemu mantan. Hanya saja, tidak ada yang perlu kami selesaikan."
"Yakin gak ada?" Tia memandang Alia penuh selidik. Memang kalau ember bocor itu sebegitu menyebalkan, ya. Dikasih air, malah dimubazirin. Padahal, kalau saja air itu bisa dimanfaatkannya, setidaknya dia bisa sedikit bersih.
Etapi, itu 'kan benda mati.
"By the way, emang lo lihat gimana tampangnya mantan Alia tadi?" Aku yang tiba-tiba penasaran, jadi ikutan ingin tahu. Bukan ingin tahu urusan ibu beranak dua itu, sekedar pembuktian, ini si Tia gak lagi sebar hoak 'kan?
"Nih, gue kasih lihat," Tia mengeluarkan smart phone dari saku blezer ungunya, menunjuk-menunjuk layar itu sesaat, lalu memperlihatkan dengan bangga, sebuah gambar sepasang insan duduk berhadapan saling bertaut tangan.
Kafe ini ada di seberang jalan kantor kami. Posisi duduk mereka di foto itu, memang dekat kaca arah ke jalan. Wajar, Tia bisa mendapatkan foto itu.
Aku memperhatikan dengan seksama, rasa-rasanya aku mengenali postur tubuh lelaki yang ada bersama Alia di foto itu. "Coba zoom, deh." Titahku yang langsung dilaksanakan Tia. Makin bangga merasa aku juga tertarik dengan beritanya.
Tampak jelaslah siapa mantan Alia yang dikatakan Tia. Mau menyemburkan tawa tapi kayaknya masih perlu pembuktian sekali lagi. Aku mengangguk-angguk sok tertarik. "Lo, pernah ketemu suami Alia?"
"Belum, sih. Tapi gue pernah lihat fotonya di fb Alia." jawabnya sambil menyimpan kembali hp-nya.
Aku tersenyum penuh arti ke arah Alia yang hanya membalas dengan menggeleng-geleng kecil. Aku menangkap maksudnya.
Baru saja Tia akan melanjutkan aksinya, bos dari pintu ruangannya bersorak memanggil kami bertiga.
Hal biasa, kalau beliau ingin mendiskusikan tentang pekerjaan. Setelahnya, aku, Tia dan Alia akan bergegas ke ruangannya.
"Lho, kak Doni?"
"Hei, De."
Sapaan hangat antara aku dengan tamu si Bos saat masuk ke ruangan menejer itu, menghentikan langkah Tia tepat sebelum pintu.
"Ti, surprais gak ketemu kak Doni?" bisikku saat sudah duduk di sofa ruangan menejer.
"Gak usah resek!" Sewotnya sambil berbisik pula.
"Ciee ... yang ketemu sama mantan." Kali ini aku terang-terangan meledek Tia sambil terkikik. Mumpung dua lelaki itu belum bergabung dengan kami duduk di sofa.
"CLBK ya, Mbak. Cinta Lo Buat Kecewa." Lanjut Alia puas.
Tia? Sepertinya butuh strika wajah. Nanti ditraktir saja, itu wajah akan kembali licin. Aku dan Alia saling menyenggol bahu dan menahan suara tawa.
●●●
Cerita lainnya → Romantis
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku