Langsung ke konten utama

Drive (Jian dan Sofija)

Sofija ke luar dari ruang rawat Kim Xander dengan wajah yang merah padam. Tangannya terkepal kuat di sisi tubuh. Langkahnya sedikit menghentak-hentak tanpa disengaja. Ingin membanting pintu itu, namun dia masih menjaga wibawanya sebagai seorang putri raja. Kalau kata orang milenial, jaim.

Langkahnya yang terburu-buru hingga Sofija melupakan seseorang yang sedang menantinya di luar ruangan tadi, bahkan selalu setia menantikan hatinya menuju pemuda itu. Sang Putri yang sedang dilanda rasa cemburu itu menghentikan langkahnya, tanpa berniat kembali menghadap ke belakang, dia berteriak lantang, "Jian! Jian!!" soraknya tidak sabar.

"Hamba, tuan Putri, hamba." jawab Jian dengan wajah yang ... merana? Entah, yang jelas telapak tangan kanan pemuda itu berada di dada kirinya. Seperti menahan detakan yang kencang.

Kening Sofija berkerut melihat wajah Jian, "Kamu, kenapa? Masih ada yang sakit?"

Nada suara yang terdengar sedikit khawatir itu, membuat kedua ujung bibir Jian terangkat. "Tidak kenapa, Putri. Hamba hanya sedikit terkejut." jawabnya lembut.

"Terkejut ... kenapa?"

"Mendengar teriakan tuan Putri."

"Memang kamu di mana?"

"Tepat di belakang tuan Putri."

Hening.

Sofija menatap penuh ke arah Jian yang masih menunduk. Karena tidak ada lagi terdengar tanya dari sang Putri, Jian mendongak. Mereka saling menatap sekian detik, "Tuan Putri, kalau marah tampak lebih menggemaskan." Hingga suara Jian yang nyaris seperti gumaman memutuskan tatapan itu.

Mata berbulu lentik itu berkedip-kedip, rasa hangat terasa menjalar ke pipi gadis itu. Sofija memilih pura-pura tidak mendengar, "Kita pergi," ucapnya sambil kembali melangkah. Hanya saja, langkah kali ini sedikit lebih tenang.

"Ke mana, tuan Putri?"

"Ke tempat yang bisa meredakan hati panas."

"Baik, tuan Putri." Jian mendahului langkah sang Putri sebagai penunjuk jalan ke tempat yang diinginkan tuan Putri.

Sampailah mereka di tempat yang di maksud.

"Apa maksudmu mengajak aku ke sini, Jian? Jangan memancing kemarahanku lagi, Jian." Tangan itu kembali terkepal.

"Maaf, tuan Putri. Bukankah di dalam agama kita, jika marah sedang menguasai, dianjurkan untuk berwudhu?" Silahkan jika tuan Putri berkenan." jawab Jian kembali dengan kepala tertunduk.

Malu dan gemas menyerang diri Sofija. Sedikit mendengkus, sang Putri akhirnya mengikuti saran dari Jian agar amarahnya sirna.

Sayup terdengar suara sedang bersenandung dari dalam kamar mandi. Sofija yang sedang mengenakkan hijabnya selesai berwudhu, mencoba fokus mendengarkan.

Sesungguhnya dia ada di dekatmu

Tapi kau tak pernah menyadari itu
Dia s'lalu menunggumu
Untuk nyatakan cinta


"Jian, kau bernyanyi?" tanyanya saat sudah berada di luar.

"Hamba, kenapa, tuan Putri?"

Sofija menangkap keengganan Jian untuk menjawa pertanyaannya tadi. Dia memilih melangkah kembali.

"Sekarang kita akan ke mana, Putri?" tanya Jian mengikuti Sofija.

"Aku mau istirahat ke ruanganku."

"Izin hamba sedikit memberi nasihat, tuan Putri. Cobalah membaca Quran atau shalat sunnah saat hati sedang tidak menentu, tuan Putri. Insyaallah, hati akan menjadi tentram. Zikir dan doa, agar Sang Pembolak-balik Hati manusia, bisa menyentuh hati tuan Putri menuju yang terbaik."

"Terima kasih, Jian."

Jian menunduk dengan tangan ke dada sebagai jawaban ucapan sang Putri. Senyuman yang diberikannya sebelum menutup pintu, menghadirkan letup-letupan kecil di dada Jian. Kemudian, pemuda itu meloncat dan kembali bersenandung, kali ini dengan suara lantang.

Dia mungkin bukan

Manusia sempurna
Tapi dia selalu ada untukmu


"Jian, kau, kenapa?"

"Baginda Raja?" Mata Jian membola sempurna.

◆◆◆

Cerita lainnya → Dewa 19 (Jian dan Sofija)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

.sungai jambu.

apa yang terfikirkan oleh mu jika membaca judul HARAKA kali ini? kelamaan mikirnya, baca aja cerita HARAKA kali ini tentang "Desa ku yang Permai" hahaha... Sungai Jambu adalah sebuah nama nagari di Batu Sangkar. nagari ini terletak di pinggang gunung Marapi [ketinggian ±700 meter dari permukaan laut] , kecamatan Pariangan, Sumatera Barat. nagari yang sungguh menakjubkan, yakin de siapa pun yang pernah ke sana tak akan pernah bosan dengan alamnya, eksotis banget, Subhanallah sangat [terkagum-kagum]. Sungai Jambu termasuk nagari tertua di Sumatera Barat, dialiri oleh 3 batang sungai dan dilatar belakangi oleh Gunung Marapi . bagaimana zee bisa kenal dengan desa ini? jawabannya adalaaaaahh... taraaaaa... [dasar zee stres] itu kampung halaman zee, hehe... di desa ini mama tercinta dilahirkan dan dibesarkan. nah, bagi yang suka narsis, sampe capek silahkan berfutu-futu ria, tak kan pernah puas. zee aja setiap pulkam ga pernah puas berfutu-futu [ntah apa karna futu grafernya y

ku persembahkan untuk...

Alhamdulillahirabbilalamin... akhirnya zii terbebas juga dari kertas-kertas bermasalah [istilah skripsi oleh 2 sobat maya..] mau pamer halaman persembahan ni ceritanya, reading-reading aja yah :) “Dan seandainya semua pohon yang ada dibumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habislah kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.  (QS. Lukman: 27) Alhamdulillahirrabil’alamin Sebuah langkah usai sudah Satu cita telah ku gapai Namun… Itu bukan akhir dari perjalanan Melainkan awal dari satu perjuangan Setulus hatimu mama, searif arahanmu papa Doamu hadirkan keridhaan untukku, petuahmu tuntunkan jalanku Pelukmu berkahi hidupku, diantara perjuangan dan tetesan doa malam mu Dan sebait doa telah merangkul diriku, menuju hari depan yang cerah Kini diriku telah selesai dalam studi sarjana Dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhaan-Mu ya Allah,

Reuni (POV Dezia)

Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus. Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana. Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi. Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu. Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Deg