Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2020

Catatan Saja

Sebelumnya ( klik ) Kalimat terakhir kemarin aku menulis, 'salah satunya'. Bukan salah satunya, tapi satu-satunya. Itu sudah kuedit. Jadi, dua tahun yang lalu, aku yang baru mengenal Islam lebih dalam, sedikit terkaget-kaget. 'Eh, kenapa ada kelompok-kelompok gitu di Islam?' Ada Islam liberal. Ahlus sunnah wal jamaah. Jamaah tabligh. Salafi, dan yang lain yang masih banyak yang tidak kutahui. Semua itu aku ketahui hanya dari mulut, tidak diberitahu. Sebagai umat muslim, bukankah kita diwajibkan menuntut ilmu? Mencari tahu itu sama dengan menuntut ilmu 'kan? Sedikit tentang pemikiranku tentang mencari ilmu dan dosa. Di dalam Islam, jika melakukan suatu kesalahan tanpa diri ketahui bahwa itu adalah sebuah dosa, maka diri terlepas dari hukuman dosa. Jadi, karena kutahu dalil ini dari dulu, maka kujadikanlah hal itu sebagai alasan untuk tidak mencari tahu apakah perbuatan itu dosa atau tidak. Eh, ternyata itu sebuah kesalahan besar. Karena seorang muslim itu, wajib menu

Flashfiction ; Maaf

 "Kamu ... bersedia 'kan menikah denganku?" Aku mengulang kembali pertanyaan yang sama ketika dia tidak juga menjawab. Semua mata yang ada di dalam ruangan itu tertuju padanya. Matanya kembali mengerjap pelan, dari gestur tubuhnya, semua orang pun tahu kalau dia gelisah. Kenapa dia jadi meragu kembali? Padahal, tadi pagi jelas dia sudah jawab lamaranku. Jari jemarinya saling bertaut dan meremas, kakinya pun bergerak tidak menentu. Lalu, tangannya bergerak mengusap keringat yang mengalir di pelipisnya. Dia kenapa? Sebegitu gugupkah dihadapan para orang tua kami? "De ... jawab," teguran dari Mama perempuan yang sudah mencuri perhatianku setahun belakangan ini memecah keheningan. "Maaf, aku harus ke belakang." ◀▶ Akhir-akhir ini, aku sering dapat teror dari ... katakanlah teman tapi mesra saat kuliah dulu. Namun, pertemanan kami berakhir konflik. Sedikit menurutku. Berawal dia mengirimiku dirrect message di akun instagram. Sekedar say hallo, ya kubalas de

Catatan Saja

 Aku Islam. Dan aku bangga telah menjadi muslimah yang taat. Bukankah yang wajib itu shalat, dan puasa di bulan Ramadhan? Itu sudah kulakukan. Berakhlak baik, bersedekah, dan tidak mengerjakan yang haram. Oh ya, aku juga sudah menutup kepala. Setidaknya Islamku, tidak hanya Islam di KTP saja. Sekali lagi, aku bangga tidak pernah meninggalkan shalat, berpuasa di bulan Ramadhan. Di mata teman-teman, aku alim. Walaupun hanya itu. Ternyata ... shalat, berpuasa wajib, dan berakhlak mulia, tidaklah cukup untuk memenuhi tujuan kudiciptakan. Ternyata ... semua kewajiban yang telah kulakukan belum pasti diterima. Lalu, apakah semua yang telah kukerjakan sia-sia? Dari yang kupelajari, semua yang dilakukan semata-mata hanya karena-Nya, tidak akan percuma. Insyaallah. Alhamdulillah. Syukurlah. Namun, itu masih jauh untuk memenuhi tujuan hidup yang sebenarnya. Sekali lagi, dari yang kupelajari, untuk menyempurnakan semua kewajiban kita sebagai muslim, maka kerjakanlah yang sunnah. Ternyata sunnah i

Mengejar Nilayya

 "Kalau sudah, saya masih ada pekerjaan. Jangan macam-macam kamu sama Ayya!" Keluar dari ruangan Pak YY gue memberi hak tubuh di kafe. Gue anggap yang tadi lampu kuning dari Pak YY. Ya ... walaupun abis itu dapat ancaman, sih. No problem-lah. "Bang Sat!" Tepukkan yang sedikit keras di bahu, menunda suapan terakhir gue. Bukan karena siapa yang menyapa, tapi gue neg dipanggil gitu. Setelah gue lihat siapa pelakunya, nafsu makan gue amblas. "Keren kamu, ya. Memanfaatkan tenaga dalam biar lulus. Lagak sih, cowok alim, ternyata munafik juga." Trang!! Bunyi sendok beradu keras dengan piring mengalihkan perhatian pengunjung kafe. Baik gue ataupun Ria, tidak ambil peduli dengan tatapan-tatapan kepo. Senyum culas diberikan cewek resek itu saat gue menatapnya setajam Fany Rose, eh silet. "Sayangnya, usaha kamu cuma sampai di nilai lulus. Gak sampai di nilayy-a," lanjutnya sambil menunjuk ke arah taman fakultas yang tidak jauh dari kafe. Masih dengan mata y

Pantulan Warna

Komunikasi produktif itu bicara asik yang menghasilkan sebuah akhir obrolan yang ciamik. Namun, saat menjalaninya, emosi adalah tantangan pertama. Pengendalian dirilah yang utama. Menulis pantulan warna 15 hari yang lalu, tidaklah semudah membiaskan rasa haru padamu #eh Tertawa. Bahkan terbahak. Menahan amarah. Bahkan meledak. Namanya juga mengajak anak kecil berbicara, tentunya tidak bisa semauku, ataupun semaumu, sekalipun kamu anakku. Dibalik semua warna-warni cara kita berkomunukasi, ada rasa puas pada anak, terlebih pada diri sendiri,. Tidak ada rasa kecewa pada anak, tapi lebih pada diri sendiri. Ya, tantangannya lebih pada diri nan manis ini. Melambangkan diri sebagai buah saat pra bunsay dulu, selama 15 hari kemarin, buah belum menjadi makanan rutin yang kfuberikan. Karenanya, masih ada tubuh-tubuh yang terasa nyeri, tidak enak, bahkan sakit. Dan lebih terasanya pada diri sendiri (lagi). Hiks.

Aku Ibu Bahagia

 Menyelesaikan pekerjaan rumah dengan tepat waktu, tanpa eksplorasi dari tangan ke tiga, sesuai dengan waktu yang telah direncanakan, sungguh menghadirkan rasa puas tersendiri di dalam sanubari. Merasa menjadi seorang istri dan ibu yang profesional gak, sih? Seiring waktu menyerbu, fase hidup yang terus menyeru, yang kemudian seringkali peran sebagai istri dan seorang ibu tidak lagi berjalan sesuai dengan harapan. Lelah aku, tuh! Sebagai seseorang yang selalu ingin mengerjakan pekerjaan rumah dengan perfek, "Biar aku aja yang ngerjain", karena kalau suami yang menolong, hasil seringkali diluar ekspetasi. Apalagi anak-anak yang menuntaskan pekerjaan, yang ada kepala berdenyut, hati cemberut. Benar gak, sih? Ternyata, hal itu semua menjadikan diri uring-uringan sendiri. Niat ingin perfek, malah jadi eneg. Maka, yang perlu kamu lakukan adalah menurunkan standar, dari perfek menjadi cukup. Lalu? Syukuri. Rasa kesempurnaan itu tidak akan langsung hilang setelah standar diturunkan.

Sekecup

Benar kata Sheila on 7, bahwa sebuah kecupan darimu cukup menyemangatiku untuk awali hari. Hariku terasa indah, meski akan ada segunung pekerjaan yang sama dengan hari kemarin. Jiwaku terasa lapang, meski ada tangisan bergantian dari bibir-bibir imut. Ragaku terasa tangguh, meski harus mengelilingi rumah entah berapa kali putaran. Karena sebuah kecupan itu juga, tawa hangat bahagia dari kaki-kaki kecil itu lantang terdengar sepanjang hari. Adab dan ilmu terasa begitu mudah berpindah pada anak-anak. Semua karena kau memberi dopping spesial pada hatiku. Hanya karena satu kecupan tadi, makanan kecil terhidang menanti kepulanganmu. Begitupun makanan kesukaanmu yang siap untuk disantap. Tak ada rumah bak kapal pecah. Bersih, rapi dan wangi. Jangan tanya bagaimana perjuanganku mempertahankan keadaan rumah, hingga engkau bisa menikmatinya barang sejenak. Setidaknya hingga lelahmu lepas. Jangan tanya, karena kuyakin, kau takkan mendengar ceritaku. Tak masalah bagiku kau sering enggan mendengar

Berkarya Tidak Harus Terkenal

Karena Islam begitu memuliakan perempuan, maka ada banyak aturan untuk makhluk Allah yang unik ini. Namun, semua tidak akan menghambat seorang perempuan untuk tetap berkarya sesuai kebahagiaannya. *** Sudah hampir 30 menit aku duduk tertunduk di hadapan Ayah. Tanpa sepatah kata pun dari Beliau. Aku juga tidak berani menyuarakan kata hati. Hanya ujung hijab yang telah remuk, habis kupelintir. "Mau sampai kapan diam-diaman seperti itu?" Akhirnya, Ibulah yang memecah keheningan. Aku melirik Ibu yang duduk di sebelah Ayah. Sedari tadi Ayah hanya memandangku, menarik nafas panjang, lalu melepaskan cepat. "Salah Khayla dimana, Yah?" Karena Ibu sudah datang menengahi, aku pun menjadi berani bersuara. "Gak ada," jawabnya lemah. Seketika kepalaku menegak dan menatap Ayah tidak percaya, penuh tanda tanya. "Ayamu gengsi mau meluk," kelakar Ibu semakin mencairkan suasana. "Benar, Yah?" tanyaku semakin tidak percaya. Kedua tangan Ayah terbentang mem

Papila

  "Wah, nemu di mana, Dek?" Bang Faris baru saja pulang sekolah. Tampak Hamzah duduk di teras rumah sendirian. Di pangkuannya ada seekor kucing kecil berwarna kuning dan putih. "Di lapangan, Bang. Kasihan, deh," jawab Hamzah sambil mengelus-elus kucing kecil di pangkuannya. "Mengeong-ngeong terus tadi. Makanya aku bawa," lanjut Hamzah. "Udah izin Mama belum?" tanya Bang Faris lagi. Hamzah menggeleng lemah. Mama kurang menyukai ada binatang di rumah. Kata mama, nanti rumah jadi bau, karena kotorannya. Padahal, Hamzah suka sekali dengan kucing, lucu, sih. "Apa itu, Dek?" tanya Mama yang tiba-tiba keluar rumah. Hamzah langsung berdiri terkejut. Lalu, menyembunyikan kucing di belakang punggungnya. Hamzah takut, kalau mama menyuruh membuang kucing itu. "Kucing, Ma." Yang jawab adalah Bang Faris. "Hamzah janji bersihin kotorannya, Ma. Jangan disuruh buang, ya, Ma," pinta Hamzah memelas. Mama hanya diam. Melihat janji dan k

Zonk

 Dear Ezi, Semenjak kemarin, kamu sadar ada yang salah di dirimu. Tapi kamu tetap seperti itu. Tidak berubah. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, agar salah itu pergi. Tapi kamu tetap di sana. Tidak beranjak. Kamu tahu, harusnya perbaiki dulu dirimu, baru bisa memperbaiki anak-anak. Bagaimana bisa berhasil komunikasi pada mereka? Sementara kamu hanya diam pada dirimu. Dear Ezi, Kamu tahu shalat dapat membuat hidupmu lebih baik. Tapi kamu hanya shalat lima waktu, yang sering kali tidak sempurna. Niat, tetapi sekedar niat. Tidak kuat, tidak mengerjakan niat itu. Ayolah, Bukankah kamu selalu bangun saat waktu tahajud? Bukankah ada waktu setiap dhuha? Apa harus ditampar dulu baru mengerjakan? Kamu tahu yang akan menampar siapa. Kamu tahu itu, Ezi! Tahu!! Bahkan waktumu lebih dari cukup untuk sekedar membaca Quran. Satu halaman, bahkan lebih. Pokoknya baca! Dear Ezi, Sudah banyakkah bekalmu jika tiba-tiba saja kamu harus pergi? Hm? Berapa dan apa yang telah kamu persiapkan untuk kepergia

Sejenak Jeda dari Letih Dunia

Dunia, hanya tempat persinggahan yang membutuhkan jeda   Bukankah kita harus menepi sejenak saat sedang di dalam perjalanan panjang? Bukankah kita harus berhenti sejenak saat bekerja terlalu berat? Bukankah kita harus istirahat walau sejenak saat jiwa terasa lelah? Buku kecil ini begitu menampar saya saat membacanya. Baru membaca empat sub judul, terasa menikam hati, "Ini benar, dan saya salah." Mengingatkan banyak kesalahan diri, self reminder . Banyak catatan kecil bermakna besar yang bisa dibaca berulang-ulang agar diri menepi sejenak. Note to myself .  Katanya komik dewasa, nyatanya bisa dibaca untuk remaja. Ini buku, bakal disimpan baik-baik, untuk si Uda nanti.

Uda Nan Lembut

 Tentang menulis Uda yang tidak suka menulis. Dikasih angka, untuk empat hari, selesai dalam satu hari. Dikasih huruf, untuk satu hari, selesai dalam dua pekan. Ibu yang galau, Nak. "Kita mulai seperti biasa, jam 8 tepat ya, Uda." Senin sampai Kamis, jam 7.30 suaraku seperti alarm mengingatkan Uda. Jawab doi cepat. "Siap!" Pas mulai, Wallahu Rabb. Pensil sudah dipegang, buku sudah dihadapan, tapi pikirannya ke mana-mana. Hari ini, menyelesaikan khusus tugas menulis yang sudah dari dua pekan yang lalu. "Ayolah, Nak. Dikit lagi ini," Gemes. Terus, aku lupa lagi latihan komunikasi produktif. "Capek, Bu ...." Dia ikutan gemas. Padahal baru nulis dua kata. Astaghfirullah. Aku memberi jeda untuk diri. Mendekatinya, dan bicara lembut. "Sekarang Jumat, lho. Besok Sabtu, Ahad, libur. Kalau tugas Ida gak selesai sekarang, berarti besok Uda tetap harus ngerjain tugas." "Ibu duduk dekat Hasyim." Oke. Jadilah aku duduk di dengan mata terus

Gagal Objek

Tentang hari ini. Tentang aku dan Nak Gadis. Tentang aku yang tidak suka manja-manja, versus dia yang sangat manja. Tentang emosiku yang sulit dikendalikan kalau anak menangis, tentang si gadis kecil yang gampang sekali mewek. Hari ini, kuingin bercerita tentang si Sulung. Nyatanya, Nak Gadis cari perhatian. Hari ini, kuingin fokus pada si Sulung. Realitanya, 3H harus diberi perhatian sama rata. Jika tidak, hujan petir badai akan terjadi. Setelah bicara pada diri sendiri, mengambil jeda, "Jangan emosi, ingat, hari ini tantangan bunsay dimulai. Halahh." Aku mulai membujuk si Tengah. "Jadi, Uni maunya apa, Nak?" Doi tetap mewek tanpa alasan. Cewek banget memang. Ini bukan pertama kali, jadi aku sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk membuatnya tenang. Dipangku. Nah, diamkan. Terus, akunya yang pegal. Mengajak Uda untuk memulai membuat tugasnya, mesti dibujuk. Lalu, si Bayi yang selalu iseng godain Uni, apalagi dalam kondisi dipangku Ibu. Sabar. Ambil nafas. Lepaska