Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2020
Aku seseorang yang tidak terlalu peduli pada waktu. Pergantian jam, hari, bulan, bahkan tahun kuanggap sama. Semua (mungkin) karena tidak ada target dalam hidup. Lebih tepatnya target yang besar. Misalnya tahun besok akan melakukan ini, tahun yang akan datang kerjaan ini akan berhasil, dan seterusnya. Aku pernah merencanakan sesuatu yang besar, tidak terlalu besar tapi cukup besar bagiku. Aish ... ngomong apalah ini. Beberapa kali dan hal itu tidak pernah berhasil. Itu rencana untuk beberapa hari saja, tidak target bulanan apalagi tahun. Mungkin karena terlalu bergantung dan berharap pada orang, rencana itu tidak berhasil. Mungkin juga kurangnya usaha kala itu. Semenjak beberapa kali tidak tercapainya rencana, akhirnya aku mencukupkan perencanaan unuk besok pada malam harinya. Lalu berdoa setelah shalat Subuh, "Jadikanlah hari ini lebih baik dari kemarin. Kurangilah kesalahanku pada hari ini. Aamiin." Ya, hanya itu. Namun bukan berarti aku tidak mempunyai keinginan yang besar

Reuni (POV Dezia)

Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus. Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana. Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi. Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu. Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Deg

Reuni

Semua mata terpana melihat kedatangan kami. Ada yang terang-terangan menatap, ada juga yang hanya melirik tapi kuyakin begitu besar keingin-tahuannya. Kepo kata anak-anak sekarang. Jauh hari semenjak kumemutuskan hadir di acara reuni akbar kampus oren kali ini, mental telah kupersiapkan. Sebenarnya aku tidak terlalu ambil pusing, aku lebih mengkhawatirkan hati yang jemarinya sedang kugenggam. Istriku. "Wuesss ... Kapten kita akhirnya hadir," Sapaan yang melengking dari arah barat menghentikan langkah kami. Kuarahkan langkah ke sekumpulan lelaki dewasa dan juga beberapa perempuan seangkatanku. Terpaksa Dezia kubawa menemui mereka. Tadinya perempuan yang kusunting delapan tahun yang lalu ini akan kuantar ke tempat berkumpulnya teman-teman dia. "Apa kabar, Bro. Sibuk banget sampai gak pernah ngumpul lagi." Tangan Rizal kusambut erat. Ada sepercik rasa rindu untuk mereka. Bagaimana tidak. Hampir empat tahun suka duka kuliah kami lewati. Saat senang, sakit, bahkan terpur

Tugas Workshop Menulis Fiksi

Bertanya tentang motivasi menulis bagiku, awalnya sebagai self healing. Lalu menulis untuk menyalurkan halu agar tidak menjadi pengandaian yang entah-entah. Halah. Kemudian baru kusadari, cintaku bertepuk sebelah tangan #eh. Motivasiku menulis tidak terlalu kuat tapi tetap ingin terus dan selalu menulis. Motivasi internal sepertinya. Sedangkan motivasi eksternal, siapa sih yang tak menginginkan income? Tetapi ini tidak mendesak bagiku. Sama seperti mbak Erna, aku bergabung di beberapa komunitas literasi agar tetap konsisten menulis. Mengikuti event-event menulis yang diadakan oleh penerbit-penerbit indie ataupun penulis-penulis yang jam terbangnya sudah tinggi. Sekalipun give away, jika hadiahnya oke menurutku, ya nulis. Namun yang membuat aku lebih konsisten menulis adalah berada di KLIP, di sana ada keinginan kuat agar tidak keluar dari grup terutama grup WA . Walaupun yang ditulis tidak melulu fiksi. ▲▼▲ Aku tipe pantser. Apa yang terlintas di kepala, tulis. Apa yang terasa di hati,

Cerita Terkejut By : Uni Hafshah

Penulis : Ibu Pulang sekolah Hafshah bercerita serius pada Uda. Uda pun mendengarkan dengan seksama. Ibu menyimak pura-pura bermain hp. Cerita Uni ini mengandung thriller dan comedy. Begini ceritanya. Seorang ibu ingin berbelanja, entah mau belanja apa tapi tidak mempunyai uang. (Ini teringat ibu ya, Nak? Hahaha). Saat itu, sang papa sedang tidak di rumah, katanya pergi ke pasar. Maka ibu itu mengambil uang si papa. (Tapi ini bukan ibu, ya!). Ternyata saat si ibu mengambil uang, si papa sudah pulang dan ibu tidak mengetahuinya. Lalu papa diam-diam mendekati ibu dan mengejutkannya. Si ibu sangat terkejut dan langsung berlari ke arah dapur. Ingin bersembunyi dari papa yang mengejarnya. Akhirnya ibu memilih bersembunyi di kulkas atas. (Maksud Uni kulkas atas adalah freezer. "Memang muat di freezer?" tanya si Uda, "freezernya besar", jawab Hafshah lagi). Semua kehilangan ibu awalnya. Setelah dicari-cari, ibu ditemukan membeku di dalam kulkas atas. Anak ibu dan papa ini

Hei

 Ini tentang kita. Tentang persahabatan yang pernah terjalin. Tentang aku yang (merasa) tetap di sini, dan kamu yang (merasa) tetap di sana. Nyatanya ... kita saling menjauh. Tentunya aku berpikir menurut rasa dan pikiranku. Entah karena kau telah memiliki teman yang lebih baik. Yang lebih banyak menghadirkan tawa diwaktumu saat ini. Atau karena nasihatku tentangmu. Atau .... Aku tak ingin menerka-nerka. Mungkin juga karena jarak yang memisahkan kita. Atau kesibukkan kita masing-masing. Aku masih saja berpikir kenapa. Sedangkan kenapa itu terjadi hanya Tuhan yang mengetahui. Padahal kita masih bisa saling bertukar cerita. Cerita apapun. Padahal kita bisa saja saling bertanya kabar. Kabar siapa dan apapun. Seperti dulu. Baru saja beberapa langkah saling menjauh, hp kita saling berdering. Saat itu jua, aku dan kamu saling tersenyum. Bahkan tertawa. Aku tak pernah melihat, tetapi bukankah memang kau tersenyum di seberang sana? Setelah mengirimiku pesan atau menerima smsku? Karena aku demi

Bapisah Bukannyo Bacarai

Itu pantun Minang punya. Saat di sekolah menengah dulu, aku punya teman dari Lampung. Berkulit eksotis, tinggi tegap, murah senyum. Bernama Tomi. Aku bukan murid yang gampang berkenalan dengan murid baru. Apalagi posisi duduk yang jauh, menjadikan kami--aku dan Tomi--jarang berinteraksi. Aku berada di kelompok meja dinding sebelah kiri, dia di kelompok meja dinding sebelah kanan. Tengah-tengah ada dinding tak kasat mata. Abaikan. Hampir sebulan setelah datangnya anak baru, aku sama sekali tidak menyapanya. Tidak ada keperluan juga. Hingga satu hari aku sedang menekuri pelajaran yang dijelaskan guru di papan tulis, dia tertangkap basah sedang menatapku saat mata beralih dari papan tulis ke buku catatan. Sepekan lamanya aku sering mendapati dia sedang melihatku. Terang-terangan bahkan setelah aku menatap balik. Aku mulai risih. Juga geer. Pada akhirnya, waktu jam istirahat, dia datang menghampiri dengan senyum kecil yang membuat jantungku bertalu-talu. Dia mau ngapain? Apa dia naksir aku

Terdiamnya Sang Ayah

Mumpung Uda di rumah, mata juga terasa berat, Hasyim pun sedang enteng bermain bersama kakak sepupu, Nasywa. Saat mata mulai melemah, terdengar rengekan Hasyim pada Ayah. Ternyata nak Bujang mau minum, tapi si Ayah malas banget terdengar untuk ambil ke belakang. "Kakak, tolong ambil minum Hasyim, ya," "Ya, Om." Terdengar Hasyim protes, "Ndak, Cim ja." "Oh, Hasyim aja, Kak. Temani ya, Kak." Terdengar lagi respon si ayah. "Ya, Om," jawab Kakak lagi. Ternyata Hasyim masih protes, "Ndak temankan Kakak, Cim ndili." "O Hasyim sendiri aja, Kak." Tidak lagi terdengar jawaban si Kakak. Mungkin bingung. "Cim yang ambil ndili. Ayah yang temankan," lanjut Hasyim dengan suara merengek pada Ayah. Setelahnya terdengar suara langkah kaki ke arah belakang. Di lain hari. Hasyim tampak bosan dengan mainannya, mendekat pada ayah yang sedang bermain hp. "Li tue kita, Yah," ucapnya lemah sambil memanjat ke pangkuan san

Bajaringan dan Baja Ringan

"Ayah berencana mau buat tempat duduk di halaman depan," ungkap ayah nak-anak suatu malam. "Bagus, tuh," responku semringah. "Mang banyak besi berlebih, Yah?" "Baja ringan aja," jawabnya lalu kembali sibuk dengan hp. Sementara diri ini mikir, 'bajaringan? Rancangannya? Au ah.' Aku tidak mengerti maksud si ayah, juga tidak ambil pusing. Perbesian sangat tidak menarik bagiku anak informatika, berbeda dengan si Uda yang memang latar belakangnya jurusan teknik mesin. Sejak mendengar kata bajaringan tempo hari dari Uda, entah mengapa aku semakin sering mendengar kata yang menjadi ajaib bagiku itu. 'Bisa ya, atap dibuat bajaringan?' Seperti sebelumnya, aku tidak ambil pusing. Hingga suatu hari, Atuk nak-anak minta tolong membuat kanopi teras rumah menggunakan bajaringan. Wuih ... keren tuh, bisa bebas internetan kalau nginap, pikirku senang. Lalu kusampaikan pesan sang Atuk pada Uda, "Papa minta tolong buat kanopi, Da. Pake jaringa

Aku dan KLIP

Tahun lalu aku mengenal Kelas Literasi Ibu Profesional, gabung ke grup facebook tapi tidak ikut menulis. Tidak mengerti caranya, pun kurang niat yang kuat kayaknya. Hehehe. Sekian bulan berlalu dari Januari, aku masih memantau FBG KLIP. Masih belum mengerti dan juga masih tidak mencari tahu lebih dalam. Hahaha. Akhir tahun, melihat penerimaan rapor. Lalu ada postingan pengumuman untuk KLIP tahun ini, membaca dengan semangat semua komen. Barulah tahu caranya. Jadi ingat, tahun lalu KLIP-kah namanya? Rasanya ... KLIP pernah pindah FBG, ya? Semangat menulis di Januari. Niat mendapat badge you're outstanding, tapi terhalang kesibukkan membersamai anak. Alhamdulillah masih bisa mendapat badge you're excellent. Badge tersebut bertahan hingga bulan Aprik apa Mei, ya? Jelasnya Juni aku hampir menyerah tidak mendapatkan badge. Alhamdulillah masih bisa terkejar. Puncaknya Juli, semua ide seperti menguap begitu saja. Hilang. Tidak setor sama sekali. Aku takut akan dikeluarkan dari WAG. Ak