Langsung ke konten utama

Bapisah Bukannyo Bacarai

Itu pantun Minang punya. Saat di sekolah menengah dulu, aku punya teman dari Lampung. Berkulit eksotis, tinggi tegap, murah senyum. Bernama Tomi.

Aku bukan murid yang gampang berkenalan dengan murid baru. Apalagi posisi duduk yang jauh, menjadikan kami--aku dan Tomi--jarang berinteraksi. Aku berada di kelompok meja dinding sebelah kiri, dia di kelompok meja dinding sebelah kanan.

Tengah-tengah ada dinding tak kasat mata. Abaikan.

Hampir sebulan setelah datangnya anak baru, aku sama sekali tidak menyapanya. Tidak ada keperluan juga. Hingga satu hari aku sedang menekuri pelajaran yang dijelaskan guru di papan tulis, dia tertangkap basah sedang menatapku saat mata beralih dari papan tulis ke buku catatan.

Sepekan lamanya aku sering mendapati dia sedang melihatku. Terang-terangan bahkan setelah aku menatap balik.

Aku mulai risih.

Juga geer.

Pada akhirnya, waktu jam istirahat, dia datang menghampiri dengan senyum kecil yang membuat jantungku bertalu-talu.

Dia mau ngapain? Apa dia naksir aku? Masa' sih?

Dasar cewek yang selalu berprasangka dan halu. Lalu dia menyapa dengan suara baritonnya saat sudah sampai di mejaku," Kamu bendahara 'kan?"

"He? Ha? Eh iya iya,"

Astaga ... sebegitu groginya aku tuh. Padahal sudak cukup sering mendengar suaranya di kelas ini. Semua karena kemarin-kemarin dia terlalu sering menatapku.

"Ini, aku mau bayar uang kas," ucapnya menyodorkan uang lima puluh ribuan.

Ada yang layu tapi bukan bunga.

"Berapa sejak aku masuk?" tanyanya lebih lanjut.

"Bentar," jawabku rada jutek sambil mengambil buku KAS di tas. Setelah menghitung berapa yang harus dia bayar, ternyata uangnya berlebih.

"Lebihnya untuk minggu depan dan minggu depannya lagi aja," ujarku tanpa ada manis-manisnya gitu.

"Tapi-"

"Gak ada kembaliannya. Emangnya aku kedai," sewotku semakin menjadi. Lalu meninggalkannya berlalu ke luar kelas.

Aku kenapa, sih?

Besoknya.

"Tomi, kemarin kenapa dorong motor?"

Pagi menjelang pelajaran dimulai aku sedang duduk di bangku taman depan kelas bersama teman-teman. Salah seorang teman langsung menodong pertanyaan pada Tomi yang baru datang.

"Oh, habis bensin," jawabnya masih diikuti senyum kecil.

"Lha, kenapa gak beli? Posisi kamu kemarin 'kan udah lewat pom bensin," lanjut si Penanya yang katanya lihat Tomi dari atas angkutan kota.

"Abis dipalak aku tuh kemarin," jawabnya masih diikuti senyuman kecil sambil melirikku.

"Hah? Sama anak kelas berapa? Parah. Semua uangmu diambil?"

"Iya. Tapi ya udahlah, gak apa-apa, aku senang dipalak," ucapnya lagi lalu melanjutkan langkah ke dalam kelas.

Ada gitu orang senang dipalakkin? Eh, bentar, jangan-jangan ....

Aku tersadar. Mataku membola. Jantungku kembali bertalu. Waduh.

Setelah beberapa lama sejak kejadian tersebut, aku dan Tomi menjadi akrab hingga hari kelulusan.

Setelahnya, kami tak pernah bertemu lagi.

***

"Wuihh ... akhirnya bendahara kita duluan yang pecah telur,"

"Diam-diam menghanyutkan,"

"Makanya, jadi cewek itu kalem kayak Zia,"

Masih banyak komentar para teman SMA saat memberi selamat padaku di atas pelaminan. Namun ada satu wajah yang menyalamiku dengan wajah ditekuk, Tomi.

Dia berdiri tepat dihadapanku. Tidak memperdulikan teman-teman yang masih di sini menunggu bahkan suamiku yang berdiri disebelah. Dia menatapku dalam dan berkata lirih tapi masih jelas terdengar, "Katanya, berpisah bukannya bercerai. Kita memang udah berpisah sejak SMA, Zi, tapi kita gak pernah bercerai."

Hah? Maksudnya?

Lidahku kelu. Hanya tatapanku yang bertanya pada Tomi apa maksudnya, itupun kalau dia menangkap maksud dari tatapanku.

Sementara suami segera menggenggam tanganku erat. Sedangkan teman-teman segera menarik Tomi turun dari pelaminan.

Kacau.

Akhir cerita boleh disambung sesuka hati pembaca.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

.sungai jambu.

apa yang terfikirkan oleh mu jika membaca judul HARAKA kali ini? kelamaan mikirnya, baca aja cerita HARAKA kali ini tentang "Desa ku yang Permai" hahaha... Sungai Jambu adalah sebuah nama nagari di Batu Sangkar. nagari ini terletak di pinggang gunung Marapi [ketinggian ±700 meter dari permukaan laut] , kecamatan Pariangan, Sumatera Barat. nagari yang sungguh menakjubkan, yakin de siapa pun yang pernah ke sana tak akan pernah bosan dengan alamnya, eksotis banget, Subhanallah sangat [terkagum-kagum]. Sungai Jambu termasuk nagari tertua di Sumatera Barat, dialiri oleh 3 batang sungai dan dilatar belakangi oleh Gunung Marapi . bagaimana zee bisa kenal dengan desa ini? jawabannya adalaaaaahh... taraaaaa... [dasar zee stres] itu kampung halaman zee, hehe... di desa ini mama tercinta dilahirkan dan dibesarkan. nah, bagi yang suka narsis, sampe capek silahkan berfutu-futu ria, tak kan pernah puas. zee aja setiap pulkam ga pernah puas berfutu-futu [ntah apa karna futu grafernya y

ku persembahkan untuk...

Alhamdulillahirabbilalamin... akhirnya zii terbebas juga dari kertas-kertas bermasalah [istilah skripsi oleh 2 sobat maya..] mau pamer halaman persembahan ni ceritanya, reading-reading aja yah :) “Dan seandainya semua pohon yang ada dibumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habislah kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.  (QS. Lukman: 27) Alhamdulillahirrabil’alamin Sebuah langkah usai sudah Satu cita telah ku gapai Namun… Itu bukan akhir dari perjalanan Melainkan awal dari satu perjuangan Setulus hatimu mama, searif arahanmu papa Doamu hadirkan keridhaan untukku, petuahmu tuntunkan jalanku Pelukmu berkahi hidupku, diantara perjuangan dan tetesan doa malam mu Dan sebait doa telah merangkul diriku, menuju hari depan yang cerah Kini diriku telah selesai dalam studi sarjana Dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhaan-Mu ya Allah,

Reuni (POV Dezia)

Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus. Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana. Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi. Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu. Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Deg