Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2020
Aku seseorang yang tidak terlalu peduli pada waktu. Pergantian jam, hari, bulan, bahkan tahun kuanggap sama. Semua (mungkin) karena tidak ada target dalam hidup. Lebih tepatnya target yang besar. Misalnya tahun besok akan melakukan ini, tahun yang akan datang kerjaan ini akan berhasil, dan seterusnya. Aku pernah merencanakan sesuatu yang besar, tidak terlalu besar tapi cukup besar bagiku. Aish ... ngomong apalah ini. Beberapa kali dan hal itu tidak pernah berhasil. Itu rencana untuk beberapa hari saja, tidak target bulanan apalagi tahun. Mungkin karena terlalu bergantung dan berharap pada orang, rencana itu tidak berhasil. Mungkin juga kurangnya usaha kala itu. Semenjak beberapa kali tidak tercapainya rencana, akhirnya aku mencukupkan perencanaan unuk besok pada malam harinya. Lalu berdoa setelah shalat Subuh, "Jadikanlah hari ini lebih baik dari kemarin. Kurangilah kesalahanku pada hari ini. Aamiin." Ya, hanya itu. Namun bukan berarti aku tidak mempunyai keinginan yang besar

Reuni (POV Dezia)

Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus. Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana. Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi. Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu. Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Deg

Reuni

Semua mata terpana melihat kedatangan kami. Ada yang terang-terangan menatap, ada juga yang hanya melirik tapi kuyakin begitu besar keingin-tahuannya. Kepo kata anak-anak sekarang. Jauh hari semenjak kumemutuskan hadir di acara reuni akbar kampus oren kali ini, mental telah kupersiapkan. Sebenarnya aku tidak terlalu ambil pusing, aku lebih mengkhawatirkan hati yang jemarinya sedang kugenggam. Istriku. "Wuesss ... Kapten kita akhirnya hadir," Sapaan yang melengking dari arah barat menghentikan langkah kami. Kuarahkan langkah ke sekumpulan lelaki dewasa dan juga beberapa perempuan seangkatanku. Terpaksa Dezia kubawa menemui mereka. Tadinya perempuan yang kusunting delapan tahun yang lalu ini akan kuantar ke tempat berkumpulnya teman-teman dia. "Apa kabar, Bro. Sibuk banget sampai gak pernah ngumpul lagi." Tangan Rizal kusambut erat. Ada sepercik rasa rindu untuk mereka. Bagaimana tidak. Hampir empat tahun suka duka kuliah kami lewati. Saat senang, sakit, bahkan terpur

Tugas Workshop Menulis Fiksi

Bertanya tentang motivasi menulis bagiku, awalnya sebagai self healing. Lalu menulis untuk menyalurkan halu agar tidak menjadi pengandaian yang entah-entah. Halah. Kemudian baru kusadari, cintaku bertepuk sebelah tangan #eh. Motivasiku menulis tidak terlalu kuat tapi tetap ingin terus dan selalu menulis. Motivasi internal sepertinya. Sedangkan motivasi eksternal, siapa sih yang tak menginginkan income? Tetapi ini tidak mendesak bagiku. Sama seperti mbak Erna, aku bergabung di beberapa komunitas literasi agar tetap konsisten menulis. Mengikuti event-event menulis yang diadakan oleh penerbit-penerbit indie ataupun penulis-penulis yang jam terbangnya sudah tinggi. Sekalipun give away, jika hadiahnya oke menurutku, ya nulis. Namun yang membuat aku lebih konsisten menulis adalah berada di KLIP, di sana ada keinginan kuat agar tidak keluar dari grup terutama grup WA . Walaupun yang ditulis tidak melulu fiksi. ▲▼▲ Aku tipe pantser. Apa yang terlintas di kepala, tulis. Apa yang terasa di hati,

Cerita Terkejut By : Uni Hafshah

Penulis : Ibu Pulang sekolah Hafshah bercerita serius pada Uda. Uda pun mendengarkan dengan seksama. Ibu menyimak pura-pura bermain hp. Cerita Uni ini mengandung thriller dan comedy. Begini ceritanya. Seorang ibu ingin berbelanja, entah mau belanja apa tapi tidak mempunyai uang. (Ini teringat ibu ya, Nak? Hahaha). Saat itu, sang papa sedang tidak di rumah, katanya pergi ke pasar. Maka ibu itu mengambil uang si papa. (Tapi ini bukan ibu, ya!). Ternyata saat si ibu mengambil uang, si papa sudah pulang dan ibu tidak mengetahuinya. Lalu papa diam-diam mendekati ibu dan mengejutkannya. Si ibu sangat terkejut dan langsung berlari ke arah dapur. Ingin bersembunyi dari papa yang mengejarnya. Akhirnya ibu memilih bersembunyi di kulkas atas. (Maksud Uni kulkas atas adalah freezer. "Memang muat di freezer?" tanya si Uda, "freezernya besar", jawab Hafshah lagi). Semua kehilangan ibu awalnya. Setelah dicari-cari, ibu ditemukan membeku di dalam kulkas atas. Anak ibu dan papa ini

Hei

 Ini tentang kita. Tentang persahabatan yang pernah terjalin. Tentang aku yang (merasa) tetap di sini, dan kamu yang (merasa) tetap di sana. Nyatanya ... kita saling menjauh. Tentunya aku berpikir menurut rasa dan pikiranku. Entah karena kau telah memiliki teman yang lebih baik. Yang lebih banyak menghadirkan tawa diwaktumu saat ini. Atau karena nasihatku tentangmu. Atau .... Aku tak ingin menerka-nerka. Mungkin juga karena jarak yang memisahkan kita. Atau kesibukkan kita masing-masing. Aku masih saja berpikir kenapa. Sedangkan kenapa itu terjadi hanya Tuhan yang mengetahui. Padahal kita masih bisa saling bertukar cerita. Cerita apapun. Padahal kita bisa saja saling bertanya kabar. Kabar siapa dan apapun. Seperti dulu. Baru saja beberapa langkah saling menjauh, hp kita saling berdering. Saat itu jua, aku dan kamu saling tersenyum. Bahkan tertawa. Aku tak pernah melihat, tetapi bukankah memang kau tersenyum di seberang sana? Setelah mengirimiku pesan atau menerima smsku? Karena aku demi

Bapisah Bukannyo Bacarai

Itu pantun Minang punya. Saat di sekolah menengah dulu, aku punya teman dari Lampung. Berkulit eksotis, tinggi tegap, murah senyum. Bernama Tomi. Aku bukan murid yang gampang berkenalan dengan murid baru. Apalagi posisi duduk yang jauh, menjadikan kami--aku dan Tomi--jarang berinteraksi. Aku berada di kelompok meja dinding sebelah kiri, dia di kelompok meja dinding sebelah kanan. Tengah-tengah ada dinding tak kasat mata. Abaikan. Hampir sebulan setelah datangnya anak baru, aku sama sekali tidak menyapanya. Tidak ada keperluan juga. Hingga satu hari aku sedang menekuri pelajaran yang dijelaskan guru di papan tulis, dia tertangkap basah sedang menatapku saat mata beralih dari papan tulis ke buku catatan. Sepekan lamanya aku sering mendapati dia sedang melihatku. Terang-terangan bahkan setelah aku menatap balik. Aku mulai risih. Juga geer. Pada akhirnya, waktu jam istirahat, dia datang menghampiri dengan senyum kecil yang membuat jantungku bertalu-talu. Dia mau ngapain? Apa dia naksir aku

Terdiamnya Sang Ayah

Mumpung Uda di rumah, mata juga terasa berat, Hasyim pun sedang enteng bermain bersama kakak sepupu, Nasywa. Saat mata mulai melemah, terdengar rengekan Hasyim pada Ayah. Ternyata nak Bujang mau minum, tapi si Ayah malas banget terdengar untuk ambil ke belakang. "Kakak, tolong ambil minum Hasyim, ya," "Ya, Om." Terdengar Hasyim protes, "Ndak, Cim ja." "Oh, Hasyim aja, Kak. Temani ya, Kak." Terdengar lagi respon si ayah. "Ya, Om," jawab Kakak lagi. Ternyata Hasyim masih protes, "Ndak temankan Kakak, Cim ndili." "O Hasyim sendiri aja, Kak." Tidak lagi terdengar jawaban si Kakak. Mungkin bingung. "Cim yang ambil ndili. Ayah yang temankan," lanjut Hasyim dengan suara merengek pada Ayah. Setelahnya terdengar suara langkah kaki ke arah belakang. Di lain hari. Hasyim tampak bosan dengan mainannya, mendekat pada ayah yang sedang bermain hp. "Li tue kita, Yah," ucapnya lemah sambil memanjat ke pangkuan san

Bajaringan dan Baja Ringan

"Ayah berencana mau buat tempat duduk di halaman depan," ungkap ayah nak-anak suatu malam. "Bagus, tuh," responku semringah. "Mang banyak besi berlebih, Yah?" "Baja ringan aja," jawabnya lalu kembali sibuk dengan hp. Sementara diri ini mikir, 'bajaringan? Rancangannya? Au ah.' Aku tidak mengerti maksud si ayah, juga tidak ambil pusing. Perbesian sangat tidak menarik bagiku anak informatika, berbeda dengan si Uda yang memang latar belakangnya jurusan teknik mesin. Sejak mendengar kata bajaringan tempo hari dari Uda, entah mengapa aku semakin sering mendengar kata yang menjadi ajaib bagiku itu. 'Bisa ya, atap dibuat bajaringan?' Seperti sebelumnya, aku tidak ambil pusing. Hingga suatu hari, Atuk nak-anak minta tolong membuat kanopi teras rumah menggunakan bajaringan. Wuih ... keren tuh, bisa bebas internetan kalau nginap, pikirku senang. Lalu kusampaikan pesan sang Atuk pada Uda, "Papa minta tolong buat kanopi, Da. Pake jaringa

Aku dan KLIP

Tahun lalu aku mengenal Kelas Literasi Ibu Profesional, gabung ke grup facebook tapi tidak ikut menulis. Tidak mengerti caranya, pun kurang niat yang kuat kayaknya. Hehehe. Sekian bulan berlalu dari Januari, aku masih memantau FBG KLIP. Masih belum mengerti dan juga masih tidak mencari tahu lebih dalam. Hahaha. Akhir tahun, melihat penerimaan rapor. Lalu ada postingan pengumuman untuk KLIP tahun ini, membaca dengan semangat semua komen. Barulah tahu caranya. Jadi ingat, tahun lalu KLIP-kah namanya? Rasanya ... KLIP pernah pindah FBG, ya? Semangat menulis di Januari. Niat mendapat badge you're outstanding, tapi terhalang kesibukkan membersamai anak. Alhamdulillah masih bisa mendapat badge you're excellent. Badge tersebut bertahan hingga bulan Aprik apa Mei, ya? Jelasnya Juni aku hampir menyerah tidak mendapatkan badge. Alhamdulillah masih bisa terkejar. Puncaknya Juli, semua ide seperti menguap begitu saja. Hilang. Tidak setor sama sekali. Aku takut akan dikeluarkan dari WAG. Ak

Jujur

Jujur .... Aku tak kuasa Saat terakhir kugenggam tanganmu Halah jadi ingat lagu lamo . Aku bukanlah pribadi yang percaya diri untuk mengekspos karya sendiri. Padahal tulisan yang kutulis sudah cukup banyak bisa membuat iri. Apalagi yang kugantung, entah berapa dan tersimpan berserak di sana di mari. Aku kasihan pada tulisan yang tak kunjung selesai itu. Sekedar kasihan. Muehehehehe. Sekali dua kali post tulisan di akun real, dapat kunilai cukup banyak teman yang mengapresiasi. Hanya saja ... rasa percaya diri tadi tidak konsisten, juga keadaan dan waktu yang kurang mendukung. Akhirnya aku memutuskan membuat akun facebook baru khusus untuk menulis, berkomentar bebas, atau memberi react pada semua tulisan yang kusuka. Beberapa bulan di awal, aku begitu antusias. Mengikuti semua event yang menarik hati. Bergabung ke setiap grup kepenulisan dunia maya. Tetapi aku lupa satu hal, berkenalan dengan teman maya yang tidak dikenal sama sekali. Ternyata, sikap nyata tetap akan terbawa sekalip

Kebahagiaan Kecil IPers Komunitas IP Padang

 Bahagia Selama Pandemi? Sebagian besar manusia tiba-tiba merasa terkekang sejak hadirnya covid-19. Tidak bebas. Terpenjara, atau apalah namanya. Semua itu tidaklah lepas dari kuasa-Nya. Selalu ada hikmah untuk hamba yang sabar dalam menghadapi cobaan. Benar? Aku bukanlah orang yang sebijak itu dalam menghadapi cobaan. Hanya ingin selalu bersyukur di setiap keadaan. Ehm. Kali ini aku bukan ingin mengulik tentang cobaan, tapi berbagi hasil bincang IPers Komunitas Padang tentang bahagia ditengah pandemi. Nah, ternyata masih bisa menciptakan bahagia 'kan meski harus selalu di dalam rumah? Seperti buibu ini. "Pandemi ini jadi semacam pembenaran untuk sisi introvertku. Aku malah merasa nyaman." Ayo, siapa yang merasa introvert? Apa iya merasa seperti bunda tersebut? Tapi kalau anak-anak berada di rumah seharian, bukannya sisi introvert seorang ibu menghilang, ya? Haghaghag. Namun sekalipun jiwa seorang tersebut introvert, ada kala keinginannya untuk sekedar cuci mata, menghiru

Tentang Dialog (Lagi)

Sebelumnya aku pernah menulis sedikit tentang dialog untuk kelas literasi dan bahasa WAG IP Padang. Kali ini, Ruang Ibu akan mengulang sedikit penjelasan tentang dialog untuk berbagi materi di WAG KLIP (pusat punya ini). Tentunya ada sedikit tambahan dari yang sebelumnya. Selain untuk berbagi materi, tulisan ini juga sebagai pengikat ilmu, serta mengasah kembali cara menulis dialog dalam sebuah tulisan fiksi. Singkat cerita, sudah berbulan-bulan aku tuh gak nulis fiksi (nyengir). Aku anak kemarin senja di dunia literasi mengartikan dialog seperti berbicara langsung, tatap muka, terlihat bibirnya bergerak, bahkan kecipratan hujan lokal #eh. Jika ngobrol langsung itu dituang ke dalam aksara, kalimat yang diucap itu diapit oleh tanda kutip dua (" "). Lalu, apa saja yang perlu diperhatikan dalam menuliskan sebuah dialog? Utama perhatikan tanda baca . Tau dong, apa saja tanda baca? 1. Tanda petik dua (" ") ; wajib ada diawal dan diakhir kalimat dialog. 2. Titik ; digunak

Fiksi Mini

Aku ingin menjadi penulis terkenal, yang setiap tulisannya disukai para pembaca. Tidak hanya sekedar pujian pada tulisanku, aku bertekad diriku pun disanjung. Maka aku bergabung ke semua grup kepenulisan online, bahkan mencakup literasi. Setiap tulisan anggota grup kubaca, kupelajari, lalu kulatih menulis dengan tema yang sama. Bangun tidur, siang hari, senja, bahkan mata hampir terlelap kuberusaha untuk selalu merangkai aksara. Tulisan yang kupos di setiap akun media sosial mulai mendapatkan respon yang heboh dari teman-teman sesama penulis. Tidak hanya mem publish tulisan, kumenyempatkan diri untuk memberi jejak pada tulisan teman-teman. Memberi react atau komentar yang tentu tujuanku agar dikenal. Setahun kemudian. Keinginanku tercapai. Memiliki tulisan yang disukai para pembaca, pun diri yang selalu disanjung mereka. Namun hatiku masih belum merasa puas, karena setiap postinganku belum mencapai react atau komentar ribuan, seperti para penulis yang hanya curhat itu. Aku semakin s

Ketika Harus Berpisah

Waktu cepat terasa berlalu itu salah satunya adalah dalam membersamai anak. Benar gak, sih? Tiba-tiba mereka tidak ingin lagi dibantu. Tidak ingin lagi dimandiin, disuapi. Ingin menyetrika baju sendiri, bahkan ingin cuci baju atau piring sendiri. Mungkin kegiatan di atas bisa langsung sebagai latihan kemandiriannya, ya ... walaupun hasilnya belum sempurna tapi okelah bisa jadi menolong ibu. Lain cerita ketika (terutama si Uda) harus menjauh sejenak dari diri. Contohnya pergi sekolah. Saya adalah seorang ibu yang baperan. Hari pertama doi bersekolah, saya menciuminya bertubi-tubi, memeluknya erat. Hingga dia berkata, "Udah, ih Bu," ucapnya dengan dahi yang berkerut. Pertanda Uda 'cape dweh'. Begitupun saat dia pulang sekolah. Pelukan rindu pun ku hadiahkan, balasannya ya ... seperti saat berangkat. Hehehe ... maafkan ibumu ini, Nak. "Kebayang deh, besok anak pergi sekolah jauh gimana reaksi Ibu," ujar sang ayah saat melihatnya. Saat itulah aku merasa waktu be
 Vinda, gadis kota yang berperawakkan tinggi dengan tubuh melebihi langsing. Jangan bilang kurus, dia tidak menyukainya. Sederhana, tidak cantik tapi manis, begitu orang banyak bilang. Terlahir di kota besar tidak mempengaruhi sikapnya yang polos. Selain karena mempunyai tampang yang pas-pasan, Vinda memang sedikit pemilih terhadap laki-laki. Jangan salahkan Vinda, hatinya yang menginginkan demikian. Gadis berambut ikal ini cenderung menyukai lelaki yang memang memiliki paras rupawan. Sayangnya semasa sekolah berseragam, laki-laki impiannya tidak sekalipun melirik pada Vinda. Sebaliknya, yang banyak menggoda gadis pemalu itu malahan mereka yang ingin dijauhinya. Sombong? Tidak. Vinda hanya menginginkan yang enak dipandang. Pada akhirnya dia menang banyak saat duduk di bangku perkuliahan. Seiring berjalannya waktu, wajah yang dulu pas-pasan, kini terlihat matang. Betapa mekarnya hati gadis berusia akhir belasan itu. Beberapa laki-laki berwajah tampan sekaligus mendekatinya. Semua ajakka

Kubegitu Sempurna

"Kamu ... Melsy?" Sepasang mata itu terlihat terkejut juga kecewa, pun dengan suara yang terdengar ragu. Sekalipun tampak ditutup-tutupi. Bukan pertama kali Melsy mendapati ekspresi semacam itu saat diajak bertemu tatap muka dengan teman dunia mayanya. Tetap saja ada sepercik rasa insecure yang akan dibalas dengan senyum kecilnya yang kaku. Sudah bisa ditebak, setelah ini Melsy tak akan lagi dihubungi. Bahkan interaksi di dunia maya mereka akan berkurang. Sepicik itu memang hati manusia, hanya memandang wajah. Walaupun tidak semua. ▲▼▲ Kubegitu sempurna Di matamu kubegitu indah Kumembuat dirimu, akan s'lalu memujaku Disetiap langkahmu, kau 'kan s'lalu memikirkan diriku ... Melsy tersenyum samar, merasa puas mendapat sekian ribu emoticon tawa dan jempol di status facebooknya. Kolom komentarnya pun banjir oleh kata-kata canda dan pujian, tanpa cacian. "Bolehlah liriknya diganti gitu, orang cantik mah bebas." Satu komentar membuat Melsy tertegun. "Ja

Noni

 Suasana Idul Adha masih terasa walau 11 Dzulhijah telah berlalu. Setelah tadi pagi dilakukan kurban di lapangan bola, malam ini kami sekeluarga memasak sate di halaman belakang rumah. Aku mengajak Noni dan Ismail, mengingat mereka hanya bertiga ada di kampung ini. "Fi, tolong minta tempurung kelapa ke warung Buled, ya. Tidak cukup sepertinya ini," pinta Ibu saat aku dan Noni memasukkan daging ke tangkai sate. Warung Buled berada di depan kediaman Noni yang hanya berjarak satu rumah dari rumahku. Saat langkah mengarah ke warung itu, tampak Pak Ibrahim—ayahnya Noni—keluar rumah membawa golok yang sedikit besar.  "Papa mau ke mana? Kenapa bawa golok?" tanya Noni heran. "Hmm ... Papa dapat sedikit kerjaan, mungkin akan pulang larut," jawab Pak Ibrahim sedikit ragu, lalu beliau menatapku. Mata itu tampak sedikit kalut. Bola matanya melihat ke segala arah sekalipun beliau mencoba menutup dengan topi yang dikenakannya. "Nak Sofi, jika boleh, Noni dan Ismail

Mengosongkan Lemari

Sudah lama aku mendengar tentang Marie Kondo. Pencetus berbenah simpel pakaian, benar 'kan? Atau juga berbenah rumah? Ah, aku tidak terlalu perhatian dengan ajarannya, juga tidak hobi beres-beres. Namun, kemarin aku membaca artikel pendek yang menggerakkan hati untuk mengeliminasi barang-barang di rumah ini. Istilahnya decluttering , itu aku nyontek mengetiknya. Kata Marie Kondo dalam artikel itu, decluttering ini bisa membuat kita lebih bahagia dengan menghargai benda-benda yang ada di rumah. Kurang yakin, sih. Tetapi penasaran ingin mencoba, secara rumah ini kok, terasa semakin sempit, ya? Maka, hari ini, aku bertekad ingin mengosongkan rumah. Ya ... gak kosong-kosong amat. Katanya, mulai dari lemari pakaian. Di kamar cuma ada satu lemari, tapi mempunyai empat pintu yang cukup lebar. Perlahan, kubuka pintu pertama. Kok, deg-degan, ya? Saat pintu satu terbuka, tampaklah tumpukkan pakaian berwarna-warni. Sesuai petunjuk artikel, pandangilah. Padat, tidak rapi tapi tidak berantakka

Memang Jodoh

 "Buk, ini saya gak bisa ganti dengan tim lain?" Aku segera menemui Bu Yani--ketua jurusan--setelah menerima surat tugas penelitian dari dekanat. Bukan keberatan karena tugas penelitiannya, tapi karena aku setim--lagi--dengan makhluk yang harus kuhindari. Bukan karena belum move on, tapi ... ah, nantilah aku ceritakan. "Sebentar," Bu Yani mengangkat tangannya menegaskan aku perlu bersabar jika ingin tahu jawaban beliau. Tidak lama setelahnya, terdengar bunyi ketukkan pintu. Tanpa menunggu jawaban dipersilahkan masuk, si tamu langsung saja membuka pintu dan duduk di sebelahku. Aku melepas nafas, 'cape deh!' "Ini memang rencana saya. Menyatukan kalian kembali dalam satu tim penelitian. Selain karena potensi kalian, juga saya ingin kalian tetap akur. Sudah berapa tahun kalian tidak saling sapa?" "Saya sih, nyapa, Buk. Dianya aja yang jual mahal." Jawaban dari Arya membuatku memutar mata. "Bagaimana, Shi?" Bu Yani menautkan jemariny

Belum Tau Judul

 "Buk, ini saya gak bisa ganti dengan tim lain?" Aku segera menemui Bu Yani--ketua jurusan--setelah menerima surat tugas penelitian dari dekanat. Bukan keberatan karena tugas penelitiannya, tapi karena aku setim--lagi--dengan makhluk yang harus kuhindari. Bukan karena belum move on, tapi ... ah, nantilah aku ceritakan. "Sebentar," Bu Yani mengangkat tangannya menegaskan aku perlu bersabar jika ingin tahu jawaban beliau. Tidak lama setelahnya, terdengar bunyi ketukkan pintu. Tanpa menunggu jawaban dipersilahkan masuk, si tamu langsung saja membuka pintu dan duduk di sebelahku. Aku melepas nafas, 'cape deh!' "Ini memang rencana saya. Menyatukan kalian kembali dalam satu tim penelitian. Selain karena potensi kalian, juga saya ingin kalian tetap akur. Sudah berapa tahun kalian tidak saling sapa?" "Saya sih, nyapa, Buk. Dianya aja yang jual mahal." Jawaban dari Arya membuatku memutar mata. "Bagaimana, Shi?" Bu Yani menautkan jemariny

Sahabat

Kamu punya sahabat seperti apa, sih? Aku punya teman dekat, yang tidak mau dibilang sahabat, tapi dia tahu semua tentangku, keluargaku, bahkan perasaanku. Pun sebaliknya. Bedanya, dia mengingat setiap rinci silsilah keluargaku, juga teman-temanku dari masa putih merah. Mungkin juga taman kanak-kanak. Sedangkan aku, hanya mengingat keluarga intinya saja. Jangankan teman-teman lamanya, pacar barunya saja, aku sering lupa wajahnya. "Eh, Cheng. Rasa-rasanya, aku pernah ketemu sama dia, deh," ujarku sesaat sampai di kosannya. Tadi, di jalan menuju kosannya, kami bertemu cowok pakai motor. Dianya baru akan berangkat ke kampus, sedangkan kami baru selesai dua sks perkuliahan. "Astoge Chiiing, dia itu 'kan cowok aku yang baru! Baru juga seminggu yang lalu aku kenalin, masak lupa, sih? Ish!" gemasnya. "Awas kalau lupa lagi. Parahnya ntar, kamu naksir lagi," lanjutnya masih sewot. Muehehehe. Aku memang sepelupa itu pada wajah orang. "Tenang, tipe kita beda.

Catatan Saja

Sebelumnya ( klik ) Kalimat terakhir kemarin aku menulis, 'salah satunya'. Bukan salah satunya, tapi satu-satunya. Itu sudah kuedit. Jadi, dua tahun yang lalu, aku yang baru mengenal Islam lebih dalam, sedikit terkaget-kaget. 'Eh, kenapa ada kelompok-kelompok gitu di Islam?' Ada Islam liberal. Ahlus sunnah wal jamaah. Jamaah tabligh. Salafi, dan yang lain yang masih banyak yang tidak kutahui. Semua itu aku ketahui hanya dari mulut, tidak diberitahu. Sebagai umat muslim, bukankah kita diwajibkan menuntut ilmu? Mencari tahu itu sama dengan menuntut ilmu 'kan? Sedikit tentang pemikiranku tentang mencari ilmu dan dosa. Di dalam Islam, jika melakukan suatu kesalahan tanpa diri ketahui bahwa itu adalah sebuah dosa, maka diri terlepas dari hukuman dosa. Jadi, karena kutahu dalil ini dari dulu, maka kujadikanlah hal itu sebagai alasan untuk tidak mencari tahu apakah perbuatan itu dosa atau tidak. Eh, ternyata itu sebuah kesalahan besar. Karena seorang muslim itu, wajib menu

Flashfiction ; Maaf

 "Kamu ... bersedia 'kan menikah denganku?" Aku mengulang kembali pertanyaan yang sama ketika dia tidak juga menjawab. Semua mata yang ada di dalam ruangan itu tertuju padanya. Matanya kembali mengerjap pelan, dari gestur tubuhnya, semua orang pun tahu kalau dia gelisah. Kenapa dia jadi meragu kembali? Padahal, tadi pagi jelas dia sudah jawab lamaranku. Jari jemarinya saling bertaut dan meremas, kakinya pun bergerak tidak menentu. Lalu, tangannya bergerak mengusap keringat yang mengalir di pelipisnya. Dia kenapa? Sebegitu gugupkah dihadapan para orang tua kami? "De ... jawab," teguran dari Mama perempuan yang sudah mencuri perhatianku setahun belakangan ini memecah keheningan. "Maaf, aku harus ke belakang." ◀▶ Akhir-akhir ini, aku sering dapat teror dari ... katakanlah teman tapi mesra saat kuliah dulu. Namun, pertemanan kami berakhir konflik. Sedikit menurutku. Berawal dia mengirimiku dirrect message di akun instagram. Sekedar say hallo, ya kubalas de

Catatan Saja

 Aku Islam. Dan aku bangga telah menjadi muslimah yang taat. Bukankah yang wajib itu shalat, dan puasa di bulan Ramadhan? Itu sudah kulakukan. Berakhlak baik, bersedekah, dan tidak mengerjakan yang haram. Oh ya, aku juga sudah menutup kepala. Setidaknya Islamku, tidak hanya Islam di KTP saja. Sekali lagi, aku bangga tidak pernah meninggalkan shalat, berpuasa di bulan Ramadhan. Di mata teman-teman, aku alim. Walaupun hanya itu. Ternyata ... shalat, berpuasa wajib, dan berakhlak mulia, tidaklah cukup untuk memenuhi tujuan kudiciptakan. Ternyata ... semua kewajiban yang telah kulakukan belum pasti diterima. Lalu, apakah semua yang telah kukerjakan sia-sia? Dari yang kupelajari, semua yang dilakukan semata-mata hanya karena-Nya, tidak akan percuma. Insyaallah. Alhamdulillah. Syukurlah. Namun, itu masih jauh untuk memenuhi tujuan hidup yang sebenarnya. Sekali lagi, dari yang kupelajari, untuk menyempurnakan semua kewajiban kita sebagai muslim, maka kerjakanlah yang sunnah. Ternyata sunnah i