Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2020

Sedikit Catatan Ibu

Di keheningan malam saat mata akan terpejam, terdengar percakapan dari dua suara balita di kamar sebelah. "Badan ibu kayak matahari ya uda, panas." "Iya. Ibu sakit. Ibu sering marah ya." Terdengar nada suara uda yang penuh iba. Hati ini pun terenyuh. Beberapa saat kembali hening. Suara jangkrik dari sebelah dinding kamar yang tadi bersahut-sahutan perlahan berganti dengan suara rintik yang menyegarkan. "Hujan uda." sorak si uni ceria, serempak terdengar mereka melantunkan doa hujan. "Enaknya ibu kayak hujan aja ya uda." lanjut nak gadis lagi. "Apa?" uda terdengar bingung, begitupun saya menanti jawaban si uni. "Iya, ibu enaknya kayak hujan. Sejuk, badan ibu tidak panas." "Iya ya, kalau ibu sehat, ibu ga marah-marah lagi." Ya Rabb ... seketika menetes air mata ini. Izinkan hamba menjadi seperti yang mereka inginkan, menjadi setetes hujan yang menyejukkan dalam keluarga ini. 🍁🍁🍁 Saya termasuk

Prioritas

Jika berbicara apa prioritas di dalam hidup, pastinya Allah dan Rasulullah. Itu adalah prioritas di atas prioritas. Di sini saya--sebagai seseorang yang sangat awam--mencoba sedikit mengulik tentang salah satu prioritas keseharian suami dan istri. "Sesekali, tolong dong Ayah yang didulukan." Begitu rengekan suami beberapa hari yang lalu. Ya, saya akui suami jadi yang ke dua setelah kami mempunyai bayi yang ke tiga. Bukan bermaksud tidak mendahulukannya, hanya saja kadang ingin strika baju misalnya, bayi bangun. Kadang ingin memasak cemilan untuk suami, anak-anak minta ini atau itu. Mau mengerjakan malam, lelah keburu datang. Padahal, kebutuhan suami tidak seberapa dibandingkan anak, tapi malah terkesampingkan. Makanan yang siap disantap, cemilan, baju yang siap untuk dipakai, dan bercinta. Kira-kira hanya itu (mungkin) yang sangat dibutuhkannya. Bersyukur jika suami tidak pernah menuntut, tapi tidakkah sebagai seorang istri merasa bukan menjadi istri yang sholehah? In

Suara Hatiku (Bayi)

Bu, maafkan aku Jika aku sering menangis Karna dengan suara tangis ini membuatku selalu bisa bersamamu Bu, maafkan aku Jika aku ingin selalu di dekatmu Karna hanya dengan kehadiranmu membuatku tenang Bu, maafkan aku Jika aku ingin selalu berada di tubuhmu Karna tempat ternyaman bagiku adalah di sisimu Bu, maafkan aku Jika tidak mengerti dengan lelahmu, Tidak mengerti dengan katamu, Yang ku tahu, suaramu membuatku bahagia. Entah itu karena Engkau senang, sekalipun karna emosi. Bu, hanya Engkau yang mengerti aku Hanya Ibu

Penikmat Hujan

Aku menghirup udara, pelan, tapi rakus. Seolah tidak akan pernah lagi bertemu oksigen sesegar ini. Menikmati setiap tarikannya yang beraroma khas, sejuk, menenangkan. " Petrichor ," ujarmu yang entah kapan sudah duduk santai di sampingku. Sedikit terkejut, kembali kukuasai diri. "Gak nanya," balasku sarkas. Hening. Kenikmatan akan anugerah hujan tadi sedikit terusik dengan keberadaannya. Rindu. Aku benci dengan rasa-rasa ini. Ketika hati begitu kesal, datang bersamaan yang katanya berat. Semua akan melebur, saat dia mengajak sedikit saja berbicara. Seperti sekarang. Ck! Kenapa aku selemah itu? Setidaknya sesekali aku ingin mengikuti ego, merajuk. Dibujuk, baru bicara. Namun, hati dan mulut seolah berselingkuh mengkhianati ego. "Kenapa tau, aku di sini?" Pada akhirnya aku yang mengenyahkan keheningan. Selalu. "Hm? ... Gak, kebetulan aja ke sini sama teman-teman." Aku mengikuti arah kepalanya yang memutar ke belakang, ke tempat

Kanan - Kiri, Oke!

Anak 90-an kalau baca judul di atas, auto ingat lawakan empat sekawan di tivi zaman dulu, gak, sih? Tapi, saya gak akan membahas zaman 90-an. Selain memori sudah banyak yang nyangkut di kasur, dapur, sumur ... akun-akun yang isinya mengingatkan kita kembali ke masa-masa bebas, sudah menjamur. Jadi, maksudnya apa? Maksudnya, bergerak, yuk! Olah raga, kuy! Itu ajah, muehehehe .... Kapan terakhir kali dirimu olah raga, meregangkan otot-otot yang kaku karena gaya gerak yang itu-itu saja? Pertanyaan untuk diri saya sendiri, kok. Yang rutin olah raga, saya standing applause , nih. Yang follower saya (halahh), mari kita mulai melemaskan otot dengan santuy. Sebulan ini, saya lagi rajin download gambar-gambar yoga via pinterest.  Yoga senam, ya, bukan lelakik. Unduh aja dulu, nyobanya ntar, hakz. Berat karena belum memulai. Setelah di mulai, Masyaallah ... terasa badan kembali fresh . Otot-otot yang kaku, setelah keliling-keliling di dalam rumah, terasa lentur lagi. Saya

Butuh Waras

Alkisah seorang ibu sedang menikmati waktu untuk dirinya. Bukan me time, tepatnya mencuri sedikit waktu demi memenuhi keinginan hati untuk memakan sebatang cokelat. Elah, lebay. Jangan salah, makan cokelat atau mie instan tanpa eksplorasi dari tangan-tangan kecil itu sangat berarti bagi seorang gadis berbontot. Menikmati tiap gigitannya, saat cokelat yang lumer di mulut terasa begitu mewah. Atau, setiap slrup-an mie nan panjang dengan kuah yang selalu menggugah selera itu bertemu dengan lidah. Ahh ... betapa cokelat dan mie instan benar dua yang membuat kewarasan tetap terjaga. Jiah ... jadi kemana-mana. Kembali cerita seseibu. Mumpung si bayi tidur, si Uda sekolah, dan si Uni ... mungkin di halaman. Amanlah, ntar kalau nak dis masuk, langsung sembunyikan aja di balik kain-kain yang sudah merintih minta dilipat ini. Lalu, dengan mata berbinar, mulailah si Ibu menggigit sebatang cokelat tadi. Masyaallah ... begitu nikmatnya, padahal cuma cokelat beli di warung. Hakz. Rencana

Kisah Abdullah bin Ummu Maktum

Kamu kenal dengan Bilal bin Rabah? Muadzin pada saat zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam, right? Kalau dengan Abdullah bin Ummu Maktum? Beliau juga muadzin Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam. Ya, ternyata Rasulullah memiliki dua orang muadzin pada saat itu. Dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiallahu'anha : عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا :  أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ "Sesungguhnya Bilal adzan pada waktu (sepertiga) malam. Karena itu, Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, 'Makan dan minumlah kalian sampai Abdullah bin Ummu Maktum adzan. Karena ia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq (masuk waktu subuh)'." (Tafsiir Abdullah bin Katsiir 8/321) Membaca hadist di atas dapat diketahui bahwa, Bilal bin Rabah dan Abdullah bin Ummu Makt

Meraba - Raba

Sebelum saya menjawab kuis dari Kampung Komunitas, izinkan diri ini curcol sesaat. Hakz. Sebagai anak perempuan tunggal dengan tiga orang saudara laki-laki, perhatian orang tua sedikit kolot terhadap saya. Sekolah saja, tidak usah ikut-ikut organisasi. Beliau tidak bicara langsung memang, tapi gerakan saya terbatas. Pun, saya menjadi nyaman tidak mengikuti organisasi apapun selama menjalani bangku pendidikan. Barulah terasa saat diri telah terlepas dari strata satu. Merasa tidak ada keterampilan, tidak mempunyai link yang luas, dan rasanya kegiatan berputar-putar disatu titik. Tidak berkembang. Bosan. Menerjunkan diri ke Kampung Komunitas bisa dikatakan langkah yang besar bagi jiwa kecil saya. Kagok, pasti. Sama sekali tidak berpengalaman. Jujur, saya sama sekali tidak memiliki bayangan cara terjun ke masyarakat. Sampai saat ini, hanya komunitas Ibu Profesional yang saya ikuti. Itupun, belum pernah ikut serta di dalam kegiatan offline , selalu online . Tidak pernah secara lan

I Want It Now !

Membaca buku parenting memang menjadikan kita sebagai sosok parenthink . Sebagian besar, tulisan atau seminar tentang cara mendidik anak, adalah menyadarkan sikap-sikap dan sifat-sifat kita sebagai orang tua terhadap anak. Seringkali setelah membaca atau mendengar tentang pendidikan anak kita berkomentar, "iya ya, benar banget, nih". Selanjutnya, terserah kita mau mengamalkannya atau cuek saja, tetap dengan kebiasaan, yang penting nyaman. Susah memang, di sini kembali ke diri orang tua, sanggup tidak menahan diri terhadap anak? Jawaban sebenarnya HARUS sanggup, atau akan ada rasa sesal dikemudian hari. Nah, salah satu yang membuat saya menahan diri untuk tidak mengeluh dihadapan kiddos, 3H kalau mau, harus sekarang. Now, Bu, Now! Tentunya mereka ngemeng bahasa Ibu, bahasa Minang, muehehehe .... Tidak serta merta bilang kini Bu. Gak juga. "Yo, Bu?" "Apo,Bu?" "Dek a, Bu?" "Kok, gitu, Bu?" "Pek lah, Bu ..." Kali

Muhasabah Diri (2)

Kamu ... sejauh apa pendekatanmu padaNya? Sudah rutinkah shalat malammu? Bahkan untuk bangun lebih cepat saja, tidak bisa. Bisa harusnya, niatmu saja yang tidak kuat. Bukankah hampir setiap malam, kau terjaga di waktu yang tepat untuk bermunajat padaNya? Lalu apa? Kamu memilih kembali memejamkan mata. Kalau begitu, cobalah wajibkan sunnah Dhuha. Kamu bahkan sudah tahu bagaimana dahsyatnya dampak Dhuha di dalam hidupmu. Tapi, kau mengerjakannya hanya ketika menginkan sesuatu yang kau rasa berat untuk dipenuhi orang lain. Bukankah alasanmu si kecil yang tidak bisa ditinggal? Bukannya, dia selalu tertidur di jam Dhuha? Alasan apalagi? Pekerjaan rumah? Klise. Bahkan dua rakaat itu tidak menghabiskan waktu lima menitmu. Oke. Sunnah yang paling mudah saja. Beristighfar setiap waktu? Bertasbih? Bersyukur? Bahkan mengerjakannya tidak membutuhkan waktu apalagi uangmu. Sadarkah kau jika semua itu hanya untuk dirimu sendiri? Untuk hidupmu sekarang, apalagi nanti? Ayolah ..

Coretan

"Resek!" Sebuah buku melayang ke wajah gue. Lumayan. Bukannya kesal, gue malah terkekeh kena tempeleng. Geleng-geleng sendiri gue jadinya. Gue berani bertaruh, dalam hitungan ke tiga, tuh cewek pasti nengok lagi ke gue. Satu ... dua ... tiga .... Nah, 'kan dia kagak nengok. Kepedean. Anehnya, gue masih aja senyam-senyum gak jelas. Ck! Nih hati gak lihat-lihat dulu kalau mau jatuh. Harusnya berembuk sama otak, mau gak, tuh cewek sama gue. Gue yang slengekan, kasar, penampilan seperti preman ... apalagi ya? Jauh dari pacar idamanlah. Badboy kata ciwi-ciwi. Gue gak suka sebenarnya dijuluki itu, artinya aja aneh, laki-laki jelek. Udah jelas tampang gue setara Ramon J. Tungka. Gak percaya? Bagus ... karena percaya selain Allah itu dosa besar! "Bro," Sapaan itu membuat senyum gue lenyap. "Ada apa?" balas gue jutek. Gue bukannya gak tau, kalau ramah itu salah satu akhlak mulia. Terkhusus ni makhluk, gue pilih dosa-dosa sikit. Ampuni Baim, ya

Rapi-Rapi Baju, Kuy!

Mengutip kata bunda Septi, “Berdamai dengan Setrikaan” EKSPLORASI   Saat kecil – remaja saya mencoba meng eksplore semua kegiatan domestik dengan 'terpaksa' karena ibu bekerja dan saya anak perempuan yang secara kultur menjadi 'seharusnya' mengerjakan pekerjaan domestik tersebut. Hasilnya semua pekerjaan domestik TIDAK SAYA CINTAI kecuali 'main'. Ya, semakin cepat selesai artinya waktu main makin panjang. DO WHAT YOU LOVE Saat menikah mau tidak mau saya harus berhadapan dengan aktivitas domestik lagi. Hadeeuh. Saya mulai pilah, mana aktivitas yang membuat saya bahagia dan mana yang tidak. Saya bagi waktu saya berdasar kadar bahagia. Yang bahagia saya buat lama dan yang tidak dipersempit. Ketemulah 'main' sama anak-anak membuat saya sangat bahagia. Sedangkan masak, mencuci, setrika, dll membuat saya tidak bahagia. Maka saya bagi waktu saya dari subuh hingga jam 7 pagi melakukan hal yang harus dikerjakan meski tidak suka. Seperti mencuci, s

Kesal, Akutuh ....

Lagi bergelut dengan bumbu dapur, atau sedang bermain air bersama kain-kain, lalu tiba-tiba terdengar gedoran pintu dari luar. Auto langsung lari ke depan, mengintip siapa pelaku gedor-gedoran dengan si pintu. Kalau si tamu bisa diajak dari balik pintu aja, gampang, urusan cepat selesai. Tapi, kalau yang datang mengharuskan kita--perempuan--harus bertatap muka, berarti harus balik lagi ke dalam, ambil hijab. Ya, kalau baju yang sedang dipakai 'aman', cukup pakai hijab. Kalau mood lagi pengen pakai yang fantastis--secara lagi seorang diri-- (haghaghag ...), berarti harus sorong lagi baju lain. Makin lama, dong ya, menemui tamunya. Mau sharing dikit pengalaman sendiri, ketika menemui situasi tamu datang, atau bertamu. Jika kondisi harus kembali ke dalam setelah tahu siapa tamu yang datang, jangan lupa jawab salam, lalu bilang "tunggu sebentar", pastikan si tamu mendengarnya. Kemudian, bergegaslah untuk kembali ke depan. Gak usah pake dandan, please .... Hany

Hijrah Rasa (2)

sebelumnya → Alasan ▼▲▼ Deheman yang berupa teguran dari arah belakang, membuat punggung Alisha dan Gita tegak seketika. Bibir mereka yang tadi terbuka, langsung tertutup rapat. Jantung mereka berdentum cepat. Siapa yang mau mencari kesalahan dengan senior pada saat MOS? Tidak ada. Senior selalu benar, junior harus mengikuti senior, jika senior salah, kembali ke nomor satu. Ish ... apa-apaan itu. Maka, selagi bisa menjauh, jaga jarak saja dengan mereka--yang sok berkuasa--dalam beberapa hari ini. Namun beberapa orang ada yang bilang, sih, kalau dapat masalah dari senior saat masa orientasi, bisa menjadikan keakraban tersendiri nantinya. Membuka peluang menjadi relasi, bukankah memiliki jaringan pertemanan yang banyak itu baik? Bagi Alisha dan Gita, lebih baik menghindar saja. Mereka tahu, kok, tidak semua dari mereka yang sok-sokan. Sebagian mungkin ada yang tulus menjalankan kewajiban sebagai seorang senior tanpa maksud terselubung. Maksud apa? Nanti kamu juga tahu. "

Perpustakaan Digital (curhat)

KLIP. Kelas Literasi Ibu Profesional. Salah satu wadah bagi perempuan yang suka, hobi merangkai kata. Di sini, selain menyetor tulisan setiap hari, juga diadakan reading challenge . Syarat daan ketentuannya, silahkan langsung kunjungi grupnya ( KLIP ). Alhamdulillah sebulan kemarin bisa konsisten menulis selama 23 hari, walaupun ada repost. Hingga mendapatkan you are excellent badge, dan masuk ke WAG. Nah, di sinilah saya merasa kecil, jauh tertinggal, untung tidak tenggelam, muehehehe .... Selain tulisan masih tentang kegiatan harian, palapeh sasak angok . Ternyata, tentang membaca Ibu 3H sangat kerdil (malu akutuh ...). Padahal, begitu banyak situs, aplikasi yang menyediakan bacaan online yang berbobot. Eh, si ibu malah jelong-jelong gak karuan di medsos. Enyah, Bu! Enyahkan yang tidak perlu di baca! Beli buku, bukannya di baca dibiarkan masih terbungkus dengan rapi. Ais ... kesal sendiri. Bergabung di WAG ini ternyata memotivasi banget untuk tetap menulis, apalagi membaca (ap

Perempuan

"Duhh ... baju gue udah ga ada lagi nih. Shopping yuk." "Yuk, aku juga mau beli sepatu." "Kalau saya mah, mau nyari tas." Padahal baju se almari. Padahal rak sepatu sudah penuh. Padahal tak ada lagi tempat menggantung tas. Padahal semua yang dimiliki akan dipertanggung-jawabkan kelak. *** [yang ini masih ready sist?] Beberapa menit kemudian .... 'kok ga dibalas ya? Padahal online.' Padahal si sist sedang sibuk balas pesan yang masuk dari kemarin. . [pulang jam berapa mas?] Beberapa menit kemudian .... 'lagi ngapain sih? Padahal baru on dua menit yang lalu.' Padahal si mas baru jalan lagi habis beli kue untuk kesayangan. . Janjian dengan teman, sudah lewat beberapa menit. 'kalau ditanya di mana, pasti bilang otw. Pasti nih dandannya lama.' Padahal si teman sedang menolong korban kecelakaan. *** Pedoman hidup jangan dihilangkan Raih keberkahan disetiap tindakan Antara kebaikan dan keburukan Hanya niat ya

Angka Satu

Dia, aku panggil Papa. Lelaki tegas, pekerja keras, jarang tersenyum, apalagi tertawa. Pernah, Papa pernah begitu sering tertawa. Saat dua orang adikku masih dikatakan 'bawah lima tahun', dan aku di bangku sekolah dasar. Masih kuingat tawa lebar Papa ketika bermain bersama kami di halaman belakang. Saat itu, Papa membelikan kami pistol air. Setelahnya, aku tidak ingat kapan Papa tertawa lagi. Tidakkah dia tahu, senyumnya bisa menghangatkan rumah ini? Tawanya mencairkan segala kepenatan yang ada? Aku bukan ingin menceritakan tentang tawa Papa. Walaupun aku rindu gelak darinya. Aku ingin sedikit bercerita, bagaimana tertekannya aku oleh tuntutan Papa akan nilai di sekolah. Bagaimana terkekangnya aku karena keinginan Papa. Jika ditanya pendapatku tentang nilai sekolah untuk masa depan, aku tidak sepakat. Nilai sekolah tidak menjamin seseorang sukses dikemudian hari. Selain usaha dan doa, nasib bisa menjadi salah satu faktor keberuntungan dalam pekerjaan. Namun, tidak bagi

Sepucuk Surat

"Di, ada titipan nih," Hana menyodorkan secarik kertas berwarna biru saat Dia duduk di taman tidak jauh dari kelas yang akan dihadirinya. "Surat? Dari siapa?" "Anak rohis," jawab Hana sambil mengedipkan mata. "Baca dulu aja, mana tau ngajak taaruf." Dengan dada penuh penasaran ditambah deg-degan, Dia membuka lipatan kertas biru langit itu. Memang ada ikhwan yang membuat hati Dia cenat-cenut, tapi pikiran sepucuk surat ini dari laki-laki itu segera dihilangkannya. Untuk ukhti Dia, 'Wanita selalu lupa dengan tiga perkara, yaitu : 1. Tangan adalah aurat, batasannya hingga pergelangan tangan 2. Kaki, seluruhnya adalah aurat 3. Dada adalah aurat, wajib menjulurkan jilbab hingga menutupi dada. Jika sudah mengetahuinya, jangan menjadi wanita yang pura-pura amnesia ya ^^ Sekian, 0811*** 'Ah, kirain ... ternyata note to myself aja.' Sedikit kecewa di hati, Dia kembali melipat kertas tersebut. "Ada yang kecewa nih.&q

Gadget

Rumah bisa selalu bersih dan rapi tanpa mainan anak-anak karena aku. Rumah juga bisa selalu tenang dan hening dari suara kegembiraan atau tangisan anak-anak karena aku. Aku bisa membuat orang tidak bisa jauh dariku. Kemana saja aku selalu digenggam. Aku bisa membuat suasana di sekitar orang yang bersamaku menjadi nyaman, hingga lupa waktu. Namun aku tak bisa menjamin orang akan menjadi baik jika larut dalam euforia bersamaku. Akan ada lakuna di hati anak-anak bahkan orang dewasa karenaku. *lakuna : hilang/ruang kosong

Lagi Rindu

Memiliki suami yang over protective karena rasa cemas yang berlebihan membuatku sedikit terkekang, tapi gak sanggup untuk berpisah lama (eaa ...). Tujuh tahun menikah, belum ada kata long distance merriage kami jalani. Eh, pernah ding. Tujuh bulan pertama pernikahan. Saat itu Uda masih dinas di Maninjau, sementara aku baru akan menempuh pendidikan pasca sarjana di Padang. Jadwalnya berlangsung selama weekday , sementara jadwalku weekend . Hanya hari Ahad yang kami punya, dan semua anggota keluarga tentunya berkumpul di rumah (alamak ...). Alhasil calon Ibu 3H jadi sering telat datang kuliah, atau izin. Gak usah kepo alasannya, muehehehe .... Uda tidak menganut sistem mambujang . Dia lebih izin tidak datang kerja daripada mengizinkan anak istrinya jauh dari dirinya. Bisa bayangkan intensitas jam bertemu kami selama hampir delapan tahun? Ada saat beliau sibuk. Pulang saat anak istrinya sudah terlelap dan harus berangkat ketika kami belum bangun. Itu rasanya ... merindu banget (uhuk