Langsung ke konten utama

Angka Satu

Dia, aku panggil Papa. Lelaki tegas, pekerja keras, jarang tersenyum, apalagi tertawa. Pernah, Papa pernah begitu sering tertawa. Saat dua orang adikku masih dikatakan 'bawah lima tahun', dan aku di bangku sekolah dasar.

Masih kuingat tawa lebar Papa ketika bermain bersama kami di halaman belakang. Saat itu, Papa membelikan kami pistol air. Setelahnya, aku tidak ingat kapan Papa tertawa lagi. Tidakkah dia tahu, senyumnya bisa menghangatkan rumah ini? Tawanya mencairkan segala kepenatan yang ada?

Aku bukan ingin menceritakan tentang tawa Papa. Walaupun aku rindu gelak darinya. Aku ingin sedikit bercerita, bagaimana tertekannya aku oleh tuntutan Papa akan nilai di sekolah. Bagaimana terkekangnya aku karena keinginan Papa.

Jika ditanya pendapatku tentang nilai sekolah untuk masa depan, aku tidak sepakat. Nilai sekolah tidak menjamin seseorang sukses dikemudian hari. Selain usaha dan doa, nasib bisa menjadi salah satu faktor keberuntungan dalam pekerjaan.

Namun, tidak bagi Papa, nilai adalah nomor satu yang menentukan kesuksesan aku nanti. Kalau hanya soal nilai tinggi, tidak masalah. Tapi, Papa juga menuntut aku selalu nomor satu di kelas.

Aku tidak terlalu ingat semenjak kapan Papa begitu mengharuskanku rangking satu di kelas. Masih jelas dalam ingatan, ketika seragam putih biruku berganti dengan putih abu-abu. Begitu menerima buku rapor semester pertama, terlontar dari mulut Papa, bodoh.

Kata dengan lima huruf itu begitu dalam tertancap di dada. Begitu tajam terasa ucapannya. Satu kata yang membuatku terlecut untuk terus berusaha mendapatkan rangking satu.

Aku tidak mengerti, kenapa Beliau begitu menginginkan aku selalu juara kelas. Padahal, nilai-nilaiku mendekati kata sempurna. Namun, bagi Papa, rangkinglah yang terpenting.

Tiap kali penerimaan buku rapor, jantungku berdegup kencang, keringat membasahi telapak tanganku. Raut wajah ini selalu cemas, pucat. Aku terlalu takut dengan kemarahan Papa nanti. Jika angka satu itu tidak tertera di kolom rangking di buku yang berjudul rapor.

Ingin rasanya mengumpat atau sekalian saja -kalau bisa- mengutuk orang yang mengusung ide adanya per-rangkingan setelah ujian sekolah. Tentu saja itu tidak aku lakukan, karena bagiku lebih penting belajar untuk terus mempertahankan angka satu itu. Demi Papa.

Semua berjalan lancar. Angka satu di kolom rangking di buku rapor, bisa aku pertahankan. Namun, itu semua tidak membuat Papa kembali seperti dulu. Ekspresi Papa hanya mengangguk tanpa senyum, lalu membubuhkan tanda tangan tanpa pelukkan sebagai apresiasi keberhasilanku.

Ya, aku masih rindu pelukkan darinya. Biarlah, yang terpenting Papa masih mau memandangku. Walaupun aku terus membohongi diri, kalau aku tak butuh hadiah dari Papa. Kalau aku tidak perlu pelukkan dari panutanku itu. Kalau aku ... ternyata membutuhkan itu semua sebagai penyemangat diri.

Lalu, di saat aku kelas dua belas, dia datang. Siswa pindahan yang langsung merampas angka satu itu dari buku raporku, membuatku mendapatkan angka dua setelah tiga semester mati-matian memegangnya.

Selanjutnya, kalian pasti tahu apa yang akan aku dapatkan dari Papa. Kata-kata tajam yang menyayat hati. Lebih sakit dari pada dikhianati pacar. Entah, aku juga tidak tahu seberapa sakit dikhianati kekasih. Tidak ada waktuku untuk hal semacam itu.

Aku lebih tertantang untuk memenangkan hati laki-laki paruh baya itu dari pada perempuan yang baru saja aku temui. Namun, ternyata lebih sulit. Sudah hampir tiga tahun, aku belum berhasil menang, malah semakin jauh.

"Kalau diakhir semester kamu tidak mendapatkan kembali angka satu itu, lepas SMA lebih baik kamu ke kota tempat pamanmu saja. Jangan harap kita bisa bertemu."

Begitu ancaman Papa setelah menanda-tangani buku rapor sialan itu. Tidak ada kesempatan bagiku untuk membela diri, atau memberikan pendapat atas keputusan Beliau. Padahal, jika Papa memberiku kesempatan untuk bersuara, ingin aku jelaskan bahwa perbedaan nilaiku dengan murid baru itu cuma satu angka.

Bukannya aku takut pada Paman. Tidak. Ketakutanku jauh dari Papa. Katakan saja aku manja, tidak apa. Karena aku memang butuh Beliau di sampingku. Walau hanya ada diam di antara kami, setidaknya aku dan dia tidak berjauhan.

Aku nyaris menyerah. Terlintas di benak untuk kabur saja dari rumah, toh, tabunganku banyak. Paling tidak, melawan dan masa bodoh dengan tuntutan-tuntutan Papa. Beliau bisa apa kalau aku tidak memenuhi permintaannya, ini hidupku.

Hanya saja, itu bukan aku. Aku dididik menjadi pribadi yang kuat, pantang menyerah. Maka, setelah mendapat ancaman, aku semakin giat belajar keras untuk kembali merebut angka satu -yang menurutku tidak berarti- itu.

Sepekan libur pertukaran semester yang biasa digunakan anak sekolah untuk berlibur bersama keluarga, aku gunakan untuk mempelajari pelajaran yang akan dipelajari di semester baru nanti.

Masa bodoh dengan refreshing, karena bagiku mendapatkan angka satu melebihi penyegaran otak. Mendapatkan angka satu, sama dengan kembalinya senyuman Papa. Mungkin.

Pernah suatu malam, kami bersirobok di ruang keluarga. Suatu hal yang tidak pernah terjadi beberapa tahun terakhir. Aku yang baru keluar dari kamar hendak mengambil air mineral, cukup terkesan Papa berada di rumah pada jam yang tak biasa.

Aku urungkan langkah ke dapur, perlahan aku mendekatinya. Memilih duduk di sofa yang sama dengan Papa, berharap ada sedikit suara saling tukar pikiran, misalnya.

"Kenapa?" Tanpa menoleh, suara dingin Papa sedikit mengagetkanku.

"Cuma mau cerita-cerita, sudah lama tidak 'kan, Pa?"

Mungkin harapan itu terlalu tinggi.

"Kalau tidak ada yang penting, Papa mau istirahat di kamar dulu."

Sehingga, mendapat penolakan seperti ini ... rasanya perih, sangat. Aku cuma ingin Papa tahu, kalau berbincang dengannya, hati ini lega. Kalau bicara dengannya, panas di kepala ini seketika sejuk. Kalau mendengar suaranya, rasa yang mengganjal di dalam sini, bisa pecah seketika.

Tidak hanya anak perempuan butuh tempat bersandar. Aku, anak laki-laki, merasa hampa memiliki ayah berhati dingin. Tidak ada tempat mengadu, bertukar pikiran, apalagi bicara hati ke hati.

Beruntunglah kalian yang bisa bicara lepas pada orang tua. Bebas. Tidak akan ada rasa-rasa membatu di dada. Rasa-rasa yang akan membuatmu galau berkepanjangan. Berbagi kepada teman, rasanya tidak akan senyaman dan sebahagia itu.

Itu sebagian kecil dari pada begitu banyak penolakan dari Papa setiap kali aku berusaha untuk bicara dengannya. Sekedar bicara ringan. Tidak untuk memprotes keputusan-keputusan yang ditentukannya dalam hidupku. Semua, tidak pernah aku dapatkan.

Hingga kejadian -yang membuat aku terkurung di sini- itu terjadi. Sesuatu yang tidak aku sesali.

Hari itu, aku begitu ketakutan untuk pulang ke rumah. Setelah mencari tahu nilai-nilai semester sekarang. Hasilnya, masih si Anak baru yang di atas. Sementara, ujian nasional semakin dekat, berarti buku rapor akan kembali diterima.

"Padahal, saya sudah belajar terus tanpa bermain seperti teman lainnya. Kenapa nilai saya masih di bawah dia?" Sedikit curhatku pada guru konseling siangnya.

"Kamu tahu? Tidak semua nilai bisa di dapat dari belajar terus menerus. Interaksi bersama teman itu juga diperlukan untuk mendapatkan nilai yang baik. Belajar terus tidak akan membuatmu pintar, malah akan membuat kamu terlempar. Bisa jadi, nilai kamu rendah dari dia karena kamu stres. Sementara dia, belajarnya diimbangi dengan melakukan sesuatu yang membuat jiwa lapang. Sehingga saat mengerjakan tugas atau ujian, semua terasa santai, tidak grasa-grusu."

"Masih ada waktu, cobalah untuk menyenangkan hatimu. Lakukan yang membuat jiwa bahagia. Lepas dari itu semua, nilaimu sudah sangat baik."

Nasehat dari guru konseling itu hanya singgah sebentar di telinga tanpa mau masuk ke kepala. Kepala ini seperti sudah di doktrin, apapun dan bagaimanapun, aku harus juara kelas.

Aku terduduk lesu di kursi panjang depan ruang tata usaha. Memikirkan bagaimana nasibku jika angka satu itu tidak aku dapatkan. Tidak bertemu Papa, rasanya ... tak terbayangkan.

Aku edarkan pandangan ke semua sudut sekolah, sudah tampak lengang, hanya segelintir siswa yang masih berkeliaran. Apa yang harus aku lakukan?

"Ini soal ujian sekolah. Tolong di back up."

Itu suara Bapak Kepala Sekolah. Soal ujian katanya? Sedikit mengintip di balik kaca, aku melihat flash disc kecil itu masuk ke dalam laci meja ketua tata usaha.

Pikiran yang tadi buntu, tiba-tiba melihat sedikit celah. Tidak, aku tidak akan mencurinya. Aku masih punya rasa cemas, akan lebih menakutkan jika Papa tidak melihat angka satu di buku raporku nanti. Aku hanya ingin mengintip. Sedikit.

Maka hari itu, aku menyelinap masuk ke ruang tata usaha. Menunggu hari mulai gelap, dan ruangan terkunci. Mencongkel sedikit laci meja, lalu ku dapatkan sumber angka satuku. Tak peduli ujian nasional nanti, yang penting nilai yang di buku rapor.

Mengandalkan net book yang selalu kubawa, aku berhasil melihat soal-soal itu. Tidak, aku tidak akan meng-copy paste-nya, aku hanya mempelajarinya. Malam itu, rasa cemas bahkan takut pergi entah kemana, yang ada rasa ... senang? Entah.

Tanpa khawatir diketahui siapapun, aku menjalani hari-hari sekolah seperti biasa hingga hari ujian datang. Rasa besar hati pun menguasai saat menjawab soal-soal yang sudah aku ketahui jawabannya.

Senyum Papa akan ada lagi. Pelukkan itu, akan aku dapatkan. Kalimat itu menari indah dalam kepala, membuat hati terasa menghangat. Sangat. Membuatku lupa, ada Yang Maha Melihat dan cctv.

Selesai mengikuti rangkaian ujian, aku digiring ke ruang kepala sekolah. Hanya senyum yang kuberikan ke semua orang di dalam ruangan itu, lalu setelahnya gelap. Saat tersadar, aku sudah berada di sini, di ruangan serba putih. Tidak ada siapa-siapa. Hanya suara teriakan, tangisan, suara tawa, dan suara-suara aneh lainnya dari luar ruangan.

Sekarang, yang ingin aku tanyakan, yang jiwanya terganggu, aku, atau Papa?

Selesai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

.sungai jambu.

apa yang terfikirkan oleh mu jika membaca judul HARAKA kali ini? kelamaan mikirnya, baca aja cerita HARAKA kali ini tentang "Desa ku yang Permai" hahaha... Sungai Jambu adalah sebuah nama nagari di Batu Sangkar. nagari ini terletak di pinggang gunung Marapi [ketinggian ±700 meter dari permukaan laut] , kecamatan Pariangan, Sumatera Barat. nagari yang sungguh menakjubkan, yakin de siapa pun yang pernah ke sana tak akan pernah bosan dengan alamnya, eksotis banget, Subhanallah sangat [terkagum-kagum]. Sungai Jambu termasuk nagari tertua di Sumatera Barat, dialiri oleh 3 batang sungai dan dilatar belakangi oleh Gunung Marapi . bagaimana zee bisa kenal dengan desa ini? jawabannya adalaaaaahh... taraaaaa... [dasar zee stres] itu kampung halaman zee, hehe... di desa ini mama tercinta dilahirkan dan dibesarkan. nah, bagi yang suka narsis, sampe capek silahkan berfutu-futu ria, tak kan pernah puas. zee aja setiap pulkam ga pernah puas berfutu-futu [ntah apa karna futu grafernya y

ku persembahkan untuk...

Alhamdulillahirabbilalamin... akhirnya zii terbebas juga dari kertas-kertas bermasalah [istilah skripsi oleh 2 sobat maya..] mau pamer halaman persembahan ni ceritanya, reading-reading aja yah :) “Dan seandainya semua pohon yang ada dibumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habislah kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.  (QS. Lukman: 27) Alhamdulillahirrabil’alamin Sebuah langkah usai sudah Satu cita telah ku gapai Namun… Itu bukan akhir dari perjalanan Melainkan awal dari satu perjuangan Setulus hatimu mama, searif arahanmu papa Doamu hadirkan keridhaan untukku, petuahmu tuntunkan jalanku Pelukmu berkahi hidupku, diantara perjuangan dan tetesan doa malam mu Dan sebait doa telah merangkul diriku, menuju hari depan yang cerah Kini diriku telah selesai dalam studi sarjana Dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhaan-Mu ya Allah,

Reuni (POV Dezia)

Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus. Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana. Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi. Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu. Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Deg