Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2020

Shalat Yuk, Nak

Akhirnya Ibu berada di fase ini. Fase menyuruh anak shalat, fase buju-membujuk agar mereka mulai membiasakan shalat, fase menahan emosi karena mereka tidak mau menuruti perintah shalat, lalu aku lelah, membiarkan mereka tak shalat. Lalu, menenangkan diri, "Tak apa, Hasyim masih enam setengah". Dan hati tak henti berdoa agar dimudahkan agar mereka mau melaksanakan shalat tanpa paksaan.  Berbagai cerita dan bujukkan rasanya telah berbuih mulut menghaturkannya. Dahsyat memang bisikkan musuh manusia yang paling nyata itu. Dulunya yang tanpa kita ajak, melihat kita akan shalat mereka mengikuti. Kini saat mereka mulai harus diajarkan shalat ... menyumpahi setan gak dosa 'kan? Ajarkan anak shalat saat mereka berusia tujuh tahun. Usia sepuluh tahun, jika mereka tidak mengerjakannya, boleh dipukul. Begitu 'kan kata Nabi ï·º ? Hal ini sudah diceritakan pada si Uda. Dia diam. Oke, katanya perlu di sounding terus. "Kita itu hidup untuk shalat, Nak." "Kalau tidak shal

Kenapa Aku Menulis?

Apa alasan kamu menulis? Pertanyaan yang susah-susah gampang. Gampang karena sebenarnya jawabannya simpel, "menulis itu coretan hati, rangkaian kata pikiran", udah itu aja. Nah, susahnya harus dijabarin sebanyak tiga halaman A4 (boleh gubrakk? 😅)    Baiklah kita mulai dari mana? Mengutip beberapa quote tentang menulis, Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa—suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang. Seno Gumira Ajidarma Saya menulis bukan hanya untuk dunia, tetapi juga demi akhirat saya. Helvy Tiana Rosa Tulisan itu rekam jejak. Sekali dipublikasikan, tak akan bisa kau tarik. Tulislah hal-hal berarti yg tak akan pernah kau sesali kemudian. Helvy Tiana Rosa Bagi saya menulis novel itu memahat kenangan, menyulut inspirasi sambil melakukan pembalasan atas kepedihan dengan cara yang paling indah. Helvy Tiana Rosa Menulis itu m

Writing for Healing : Insecure

Kamu tau posisi yang paling membuat seorang perempuan mudah baper, sensi, insecure, atau sejenisnya? Bukan posisi ehm, tapi posisi sebagai peran, yaitu sebagai seorang istri. Ini salah satu kisahku. "Zi, pindah duduk sana," perintah Uda saat ada tamu sedang datang berkunjung. Saat itu, kakak ipar baru melahirkan. Aku yang baru saja bergabung dengan keluarga ini, belum begitu banyak mengenal tradisi di sini. Jadi, ada istilahnya bagian atas dan bagian bawah rumah, padahal lantai rumah datar, tidak bertingkat. Bagian atas di sini maksudnya, arah pintu depan, sedangkan bagian bawah arah pintu ke belakang. Jika ada tamu yang disegani, seperti besan, maka mereka ditempatkan duduk di bagian atas. Jadi, ketika itu aku duduk di bagian atas saat besan Ibu datang menengok cucu. Aku yang tidak mengerti, disuruh pindah duduk merasa di usir, jadi memilih masuk ke kamar. Selepas para tamu pulang, si Uda masuk. "Kenapa malah masuk kamar?" tanyanya terlihat hati-hati. Mungkin, wakt

Ulasan Cerita Anak

Ulasan atau review dalam dunia literasi berarti, menguliti hasil tulisan seseorang. Menguliti tidak hanya kesalahan-kesalahan dalam penulisan, tapi juga membahas tentang kelebihan suatu tulisan. Biasanya, sih, yang memberi ulasan pada sebuah tulisan adalah seorang penulis yang jam terbangnya sudah tinggi. Tapi, saya, penulis yang terbangnya masih bisa diterkam kucing terus tergeletak pake lama pula dan susah untuk bangkit lagi (halahh ... malah curhat), memberanikan diri memberi review pada sebuah tulisan cerita anak dalam antologi dari IP Bekasi. Sebelumnya, saya sungkem dulu sama senior-senior rumbel menulis IP Bekasi. Maafkan, jika tidak berkenan, nyatanya sudah saya kuliti. Hehehe. Antologi dari kelas Rumbel Menulis IIP Bekasi pada tahun 2016 ini, kombinasi antara puisi dan cerita anak. Jika dilihat dari cover, buku antologi ini cukup menarik, apalagi judulnya yang menarik hati yaitu, "Duduk Sini Nak". Judul buku tersebut adalah salah satu puisi yang ada di dalam antologi

Ingin Seperti Siti Hajar

Langkahku yang terasa sangat berat sepulang dari kuliah, terhenti saat melihat Noni sedang berlari-lari kecil di lapangan bola, dari gawang selatan ke arah gawang utara, kemudian kembali ke gawang selatan, begitu seterusnya. Sementara, adiknya Ismail yang berusia sekitar lima tahun melompat-lompat di sudut lapangan. Ke duanya tampak kelelahan, tapi Noni masih saja berlari dan Ismail terus melompat. Mereka kenapa? Kuarahkan langkah ke lapangan bola. Sekalipun payung menaungiku dari panas terik siang ini, namun hawa panas kentara sekali. Keringat terasa mengalir di kulit, apalagi sepasang adik-kakak itu, dengan baju panjang yang mereka kenakan, tanpa pelindung panas, tentu saja peluh lebih membanjiri badan ke duanya. "Non, ngapain?" sorakku berdiri di sebelah Ismail. Noni mengangkat tangannya memberi isyarat, tunggu sebentar. "Kak, udah dong ... capek, nih." Rengekan Ismail akhirnya memutar tubuh Noni ke arah kami berdiri. Nafasnya tersengal-sengal, pun dengan Ismail.

Dialog

Postingan sebelumnya, Ruang Ibu membahas tentang dasar-dasar menulis cerpen ala-ala. Pada tulisan tersebut, menyinggung sedikit tentang dialog tag. Kali ini, kita mengurai lebih banyak-tapi masih sedikit-tentang salah satu aturan dalam menulis sebuah cerpen atau novel tersebut. Untuk bisa membedakan bagaimana dialog tag tersebut, harus ada pembandingnya. Ternyata, jenis dialog itu ada tiga macam, aku pun baru mengetahuinya, muehehehe. Mari kita belajar bersama. Dialog itu kalau kehidupan nyata, percakapan langsung, ya. Jika ditulis namanya jadi kalimat langsung. Kalimat langsung itu ditandai dengan memakai tanda kutip dua (" ") diawal dan diakhir kalimat. Nah, untuk menghidupkan jalan cerita, sebelum atau setelah dialog diberi keterangan (frasa). Biar feel ceritanya nyampe ke pembaca, gitu. Sejauh (gak begitu jauh, sih) yang aku baca, dialog itu ada tiga : 1. Dialog Narasi Adalah percakapan yang di belakangnya diikuti narasi. Narasi itu simpelnya adalah sebuah penjelasan. Oh

Dasar-Dasar Menulis Cerita Pendek

Tersanjung lalu tersandung aku tuh diminta berbagi tentang menulis cerpen di WAG rumbel literasi IP Padang (tutup wajah). Padahal, masih anak kemarin senja dalam literasi. Aku post di sini, sebagai setoran KLIP yang sudah absen beberapa hari. Izin intro sedikit, ya, Manteman. Seperti slogan IP, semua guru, semua murid. Jadi, kali ini saya sharing materi sejauh pengetahuan saya. Untuk itu, silahkan nantinya jika ada tambahan dari teman-teman, dipersilahkan dengan bahagia. Atau, correct me if I wrong. Menulis cerita pendek atau biasa kita sebut cerpen, baru satu tahun ini saya pelajari. Otodidak. Sebelumnya, saya tidak pernah tahu bagaimana tata cara menulis cerpen. Apa yang teringat, langsung tulis. Ketika halu datang berkunjung, langsung tulis. Jika ada pertanyaan dari mana mulai menulis cerpen, jawaban dari saya, apa yang sedang terpikirkan, tulis aja dulu. Sepertinya juga berlaku untuk non fiksi, ya. Beberapa senior dalam literasi menjawab pertanyaan tersebut dengan mo

Hijrah Rasa

Hidup itu adalah kejutan. Sepertinya quotes itu sedang berlaku untuk Qiara saat ini. Setelah para petinggi OSIS saling berebut perhatiannya, kini Qia merasa menjadi peran utama dalam sinetron abegeh. Dilabrak kakak kelas karena didekati cowok. Elah. "Gue gak mau kasar. Apalagi, lo bukan cewek genit. To the point, Diky itu calon tunangan gue. Dengar, ca-lonnya Ber-lian. Jadi, kalau dia dekatin lo, cuek aja, jangan diambil hati. Oke?" "Berlian itu ... nama Kakak?" "Bukan, nama perhiasan." "Jadi, kak Diky, calonnya perhiasan? Maksudnya, gimana?" "Ish. Qia-" "Pokoknya lo jangan centil-centil deh, sama Diky kalau mau tenang sekolah di sini." Qia dan Gita menatap kepergian lima cewek berkulit putih mengkilap. Hasil skincare di rasa Gita. Gaya mereka menunjukkan bahwa mereka adalah korban negatif dari gadget. Ditambah perilaku yang jauh dari sholehah. Ya iyalah, ini bukan pesantren. "Kak ...." Berlian da

Chocolatos Drink Love Story

Aku memangku dagu dengan tangan kanan, sementara jari-jari tangan kiri menyentak-nyentak kecil di atas meja mini bar sebuah gerai makanan siap saji, menanti minuman segar yang telah kupesan tadi. Memperhatikan seorang pramusaji meracik sebuah minuman kekinian dengan lihai. Sesekali, mencuri lirikan ke arahku yang terpesona dengan gerakkannya. "Minuman ini bisa dibuat di rumah lho, Mbak. Gampang, dan rasanya gak kalah enak." "Oh ya? Mau ngasih tau caranya?" "Tergantung," Dahiku berkerut, "tergantung apa?" "Mbak, udah punya pacar, belum?" "Hah? Apa hubungannya?" Laki-laki itu hanya tersenyum sebagai jawaban, lalu mulai menunjukkan cara membuat minuman fresh drink itu, sambil terus menyiapkan pesananku. "Minuman saset chocolatos yang bungkus hitam, tau, Mbak? Untuk satu porsi, kasih 2. Larutkan dengan 10 sendok makan air panas," "Dikit amat?" "Kita butuhnya coklat kental. Kasih bat

Biarkan Saja (Tere)

"Kita ... sampai di sini saja, ya?" Kutermenung mendengar penuturannya. Aku tahu, dia memandang lekat wajahku. Seperti menanti, apakah aku akan menangis? Maaf. Air mataku terlalu berharga untuk dibuang hanya karena kau putuskan. "Kenapa?" Suaraku, tercekat. Siapa yang tidak akan sedih diputuskan saat lagi sayang-sayangnya? Begitupun aku, perempuan biasa yang bisa dikatakan jarang menjalin hubungan serius dengan laki-laki. Ini, yang kedua kalinya aku berani pacaran lagi. "Ingin serius kuliah dulu, rencana mau cari part time juga. Setelah tamat nanti, aku punya cukup tabungan, aku akan lamar kamu." Mendengar kata lamar, aku yang tadi enggan melihatnya, menatap penuh tanya pada wajah yang sedang tersenyum dengan penuh keyakinan. Yang benar saja? Aku tidak percaya. "Jadi, selama ini, hubungan ini mengganggumu?" "Bukan. Bukan gitu maksudku. Kamu baik ...." Hening. Dia tidak dapat melanjutkan apa alasan yang tepat untuk mele

Hijrah Rasa

Sebelumnya → Hijrah Rasa (5) ◆◆◆ "Jadi, lo kenal Qiara di mana?" Begitu junior yang harusnya menjadi sandera sang Ketos ke luar dari ruangannya, Diky langsung meluapkan pertanyaan yang daritadi ditahannya. Ari sudah menebak sebelumnya jika Diky akan mempertanyakan hal ini. Bukan maksudnya juga menutupi hubungannya dengan Qia. Salah Diky sendiri kalau selama ini selalu cuek dengan cewek. "Kenapa? Akhirnya terjerat pesona ciwi juga?" Diky menatap tajam Ari yang sudah berpindah duduk di seberang meja kerjanya. Bukan jawaban yang diberikan Ari, malah semakin menggoda teman dekatnya semenjak awal SMA. "Ck! Itu mata bisa biasa aja, gak? Qia adik gue." Ari merasa terintimidasi oleh tatapan Diky. 'Jangan bilang gue takut, tidak, hanya saja ... apa, ya? Ya ... itulah.' Bahkan Ari yang sudah paham sifat Diky, masih salah tingkah jika tatapan burung hantunya digunakan. Iya, owl, muehehehehe. "Kandung?" Tatapan Diky sebegitu tidak