Langsung ke konten utama

Hijrah Rasa

Sebelumnya → Hijrah Rasa (5)

◆◆◆

"Jadi, lo kenal Qiara di mana?"

Begitu junior yang harusnya menjadi sandera sang Ketos ke luar dari ruangannya, Diky langsung meluapkan pertanyaan yang daritadi ditahannya.

Ari sudah menebak sebelumnya jika Diky akan mempertanyakan hal ini. Bukan maksudnya juga menutupi hubungannya dengan Qia. Salah Diky sendiri kalau selama ini selalu cuek dengan cewek.

"Kenapa? Akhirnya terjerat pesona ciwi juga?"

Diky menatap tajam Ari yang sudah berpindah duduk di seberang meja kerjanya. Bukan jawaban yang diberikan Ari, malah semakin menggoda teman dekatnya semenjak awal SMA.

"Ck! Itu mata bisa biasa aja, gak? Qia adik gue." Ari merasa terintimidasi oleh tatapan Diky. 'Jangan bilang gue takut, tidak, hanya saja ... apa, ya? Ya ... itulah.'

Bahkan Ari yang sudah paham sifat Diky, masih salah tingkah jika tatapan burung hantunya digunakan. Iya, owl, muehehehehe.

"Kandung?" Tatapan Diky sebegitu tidak percayanya dengan jawaban Ari.

"Iya. Kenapa? Tau rasa lo harus dapatin restu gue dulu."

"Buat apa? Kalau hatinya udah gue dapat, restu lo mah gampang aja."

"Percaya diri banget lo bisa menangin hati Qia? Gue kasih tau, Qia ... gak mengenal pacaran."

"Udah gue duga, sih."

Jangankan pacaran, tersentuh kulit aja doi gak mau. Tapi, bukan Diky namanya kalau gak bisa menangin hati cewek ... ukhti. Oke, mungkin memang dia beda. Gak, dia sama. Cuma beda gaya pergaulan aja.

"Yah ... malah bengong kayak celengan. Jangan mikir dia cuma beda dipergaulan. Dia bedanya udah dari sininya."

Ari menunjuk tepat di dada Diky. Bagaimanapun, dia tidak rela sang adik digoda laki-laki. Kalau sudah tiba masanya, imamnya akan datang dengan cara baik-baik. Bukan cara Diky mendekatinya saat ini.

"Gue gak akan melarang lo untuk nyoba dekatin Qia. Tapi, gue saranin, mending pelajari dulu gaya pergaulan Qia. Kalau gak, siap-siap kecewa."

"Trus, gue jadi kayak lo, gitu?"

"Maksud lo?"

"Jan tersinggung. Maksud gue ... hijrah?"

"Good idea. Gue bakal menggenggam tangan lo-"

"Gak, gak usah. Biar Qia yang genggam tangan gue."

Ari menatap jengah ke arah Diky. Namun, di hati, dia mengaminkan jika memang Diky ingin berhijrah. Hijrah karena Allah tentunya, bukan karena Qia. Kini, tanggung jawabnya bertambah satu, selalu mengingatkan dan menguatkan hati Qia. Setan, siapa yang tahu?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

.sungai jambu.

apa yang terfikirkan oleh mu jika membaca judul HARAKA kali ini? kelamaan mikirnya, baca aja cerita HARAKA kali ini tentang "Desa ku yang Permai" hahaha... Sungai Jambu adalah sebuah nama nagari di Batu Sangkar. nagari ini terletak di pinggang gunung Marapi [ketinggian ±700 meter dari permukaan laut] , kecamatan Pariangan, Sumatera Barat. nagari yang sungguh menakjubkan, yakin de siapa pun yang pernah ke sana tak akan pernah bosan dengan alamnya, eksotis banget, Subhanallah sangat [terkagum-kagum]. Sungai Jambu termasuk nagari tertua di Sumatera Barat, dialiri oleh 3 batang sungai dan dilatar belakangi oleh Gunung Marapi . bagaimana zee bisa kenal dengan desa ini? jawabannya adalaaaaahh... taraaaaa... [dasar zee stres] itu kampung halaman zee, hehe... di desa ini mama tercinta dilahirkan dan dibesarkan. nah, bagi yang suka narsis, sampe capek silahkan berfutu-futu ria, tak kan pernah puas. zee aja setiap pulkam ga pernah puas berfutu-futu [ntah apa karna futu grafernya y

ku persembahkan untuk...

Alhamdulillahirabbilalamin... akhirnya zii terbebas juga dari kertas-kertas bermasalah [istilah skripsi oleh 2 sobat maya..] mau pamer halaman persembahan ni ceritanya, reading-reading aja yah :) “Dan seandainya semua pohon yang ada dibumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habislah kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.  (QS. Lukman: 27) Alhamdulillahirrabil’alamin Sebuah langkah usai sudah Satu cita telah ku gapai Namun… Itu bukan akhir dari perjalanan Melainkan awal dari satu perjuangan Setulus hatimu mama, searif arahanmu papa Doamu hadirkan keridhaan untukku, petuahmu tuntunkan jalanku Pelukmu berkahi hidupku, diantara perjuangan dan tetesan doa malam mu Dan sebait doa telah merangkul diriku, menuju hari depan yang cerah Kini diriku telah selesai dalam studi sarjana Dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhaan-Mu ya Allah,

Reuni (POV Dezia)

Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus. Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana. Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi. Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu. Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Deg