Langsung ke konten utama

Chocolatos Drink Love Story

Aku memangku dagu dengan tangan kanan, sementara jari-jari tangan kiri menyentak-nyentak kecil di atas meja mini bar sebuah gerai makanan siap saji, menanti minuman segar yang telah kupesan tadi.

Memperhatikan seorang pramusaji meracik sebuah minuman kekinian dengan lihai. Sesekali, mencuri lirikan ke arahku yang terpesona dengan gerakkannya.

"Minuman ini bisa dibuat di rumah lho, Mbak. Gampang, dan rasanya gak kalah enak."

"Oh ya? Mau ngasih tau caranya?"

"Tergantung,"

Dahiku berkerut, "tergantung apa?"

"Mbak, udah punya pacar, belum?"

"Hah? Apa hubungannya?"

Laki-laki itu hanya tersenyum sebagai jawaban, lalu mulai menunjukkan cara membuat minuman fresh drink itu, sambil terus menyiapkan pesananku.

"Minuman saset chocolatos yang bungkus hitam, tau, Mbak? Untuk satu porsi, kasih 2. Larutkan dengan 10 sendok makan air panas,"

"Dikit amat?"

"Kita butuhnya coklat kental. Kasih batu es sesuai selera, tambah susu cair 200 mili liter. Lebih lebih dikit, gak apalah."

"Gitu aja?"

"Iya. Sebagai topping, kasih pecahan chocolatos wafer roll."

"Gampang amat? Trus, dijual dengan harga yang ...?"

"Kalau ini, beda coklat dong, Mbak. Ada resep khusus juga agar rasanya lebih renyah dan krimi. Bentar, ya, Mbak."

Pemuda itu berlalu ke dapur. Mata yang tadi memandangnya, kini beralih ke mesin kopi yang sedang bekerja. Melihat ke sekeliling, tidak begitu banyak pengunjung. Wajar, waktu baru menunjukkan pukul sepuluh pagi.

Aku yang hendak mengunjungi klien di kafe dekat gerai makan ini, menyempatkan diri membeli minuman kesukaan yang biasanya hanya bisa dinikmati di akhir pekan.

Lama juga dia di belakang.

"Double chocolate drink untuk yang ..." Aku menaikkan kedua alis menanti lanjutan kalimatnya, "terdatar." lanjutnya.

Sialan!

Aku hanya menatap Atha tanpa ekspresi. Merebut minuman yang dipesan dari tangannya, lalu berlalu tanpa ucapan terima kasih.

"Datar tapi memikat," ucapnya lagi.

Ingin rasanya mengangkat jari tengah, tapi yang terangkat malah jari manis.

"Udah tau. Gak usah sok!"

Suara bass-nya yang nyaris didengar oleh semua pengunjung gerai ini, semakin membuat kesal hati. Aku terus berjalan menuju pintu ke luar. Menebak-nebak di dalam hati, Atha pasti masih memperhatikanku. Kalau benar, aku akan kembali, lalu membayar minuman ini.

Aku lupa bayar. Ish. Gara-gara, tu cowok resek 'kan. Jadi salah tingkah. Kemudian, memberanikan diri memutar kepala ke arah Atha yang ternyata sedang tersenyum lebar ke arahku, satu kedipannya meruntuhkan ego.

Melepas nafas kesal, akhirnya kaki ini memilih kembali ke arah laki-laki yang sebenarnya sudah mengambil sebagian hati ini sejak sepuluh tahun lalu. Namun, kututup rapat di palung jiwa yang terdalam.

Begitu banyak kisah yang tak mampu kuurai bagaimana memilih mencintai dia dalam diam, daripada diungkapkan. Salah satunya, karena Veka, si gadis pemalu itu, merasa rendah diri jika harus bersanding dengan pemuda yang humble, disenangi banyak orang, ramah, bahkan nyaris sempurna.

Wajahnya? Roman original orang melayu. Kulit yang eksotis, rahang seperti kebanyakan pria Indonesia, tinggi, tidak terlalu atletis. Biasa saja. Sikapnya yang memenangkannya dihadapan kaum hawa.

Berani menjatuhkan hati pada pria yang mungkin banyak menerima hati dari para perempuan, bukanlah perkara yang perlu dipikirkan berulang kali. Perempuan ... dilembutkan sedikit, diberi perhatian sedetik, diajak tertawa lepas semenit, hati mereka akan langsung tersentuh.

Itulah yang dilakukan Atha saat diri ini sedang lepas pegangan. Saat sang Cinta pertama memilih pergi dengan yang katanya memberi kenyamanan lebih, padahal baru mengenal.

"Kenapa kembali? Ada hati yang tertinggal?" recehnya dengan wajah berbinar saat aku sampai dihadapannya.

"Mau bayar," jawabku masih dengan wajah datar.

"Mau bayar pakai apa, Cinta?" Senyum menawan masih dipasang demi menggodaku.

"Apa kelakuanmu kayak gini ke setiap pembeli?"

Atha memajukan wajah fresh-nya dan berhenti beberapa senti di depan wajahku, "Khusus ke pembeli yang bernama Loveka aja, kok." Lalu meniupkan sebentuk angin kecil tepat terasa dingin di bibir, tapi memanas ke pipi.

"Mbak ... mbak,"

Pipi ini masih terasa memanas, tapi bukan dari dalam ... aku tersentak, serta merta menegakkan tubuh mencoba duduk dengan anggun. Namun, gagal. Tetap saja malu tertidur di meja mini bar gerai makanan.

'Aku tertidur sambil baca novel? Kok bisa?'

"Maaf," Kepalaku tertunduk, sambil mengasurkan kertas rupiah.

"Gak apa-apa, Mbak. Maaf juga kelamaan." ucapnya penuh sesal. Menyerahkan pesanan yang kupesan, lalu tersenyum ramah.

"Makasih,"

Masih dengan wajah tertunduk, aku berjalan menuju pintu ke luar. Seperti ingin memenuhi rasa penasaran, kepala memutar ke arah pramusaji tadi yang ternyata sedang tersenyum lebar ke arahku, dan kudapat satu kedipan darinya.

Hah? Ini nyata? Atau mimpi?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

.sungai jambu.

apa yang terfikirkan oleh mu jika membaca judul HARAKA kali ini? kelamaan mikirnya, baca aja cerita HARAKA kali ini tentang "Desa ku yang Permai" hahaha... Sungai Jambu adalah sebuah nama nagari di Batu Sangkar. nagari ini terletak di pinggang gunung Marapi [ketinggian ±700 meter dari permukaan laut] , kecamatan Pariangan, Sumatera Barat. nagari yang sungguh menakjubkan, yakin de siapa pun yang pernah ke sana tak akan pernah bosan dengan alamnya, eksotis banget, Subhanallah sangat [terkagum-kagum]. Sungai Jambu termasuk nagari tertua di Sumatera Barat, dialiri oleh 3 batang sungai dan dilatar belakangi oleh Gunung Marapi . bagaimana zee bisa kenal dengan desa ini? jawabannya adalaaaaahh... taraaaaa... [dasar zee stres] itu kampung halaman zee, hehe... di desa ini mama tercinta dilahirkan dan dibesarkan. nah, bagi yang suka narsis, sampe capek silahkan berfutu-futu ria, tak kan pernah puas. zee aja setiap pulkam ga pernah puas berfutu-futu [ntah apa karna futu grafernya y

ku persembahkan untuk...

Alhamdulillahirabbilalamin... akhirnya zii terbebas juga dari kertas-kertas bermasalah [istilah skripsi oleh 2 sobat maya..] mau pamer halaman persembahan ni ceritanya, reading-reading aja yah :) “Dan seandainya semua pohon yang ada dibumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habislah kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.  (QS. Lukman: 27) Alhamdulillahirrabil’alamin Sebuah langkah usai sudah Satu cita telah ku gapai Namun… Itu bukan akhir dari perjalanan Melainkan awal dari satu perjuangan Setulus hatimu mama, searif arahanmu papa Doamu hadirkan keridhaan untukku, petuahmu tuntunkan jalanku Pelukmu berkahi hidupku, diantara perjuangan dan tetesan doa malam mu Dan sebait doa telah merangkul diriku, menuju hari depan yang cerah Kini diriku telah selesai dalam studi sarjana Dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhaan-Mu ya Allah,

Reuni (POV Dezia)

Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus. Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana. Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi. Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu. Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Deg