Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2020

Ketika Harus Berpisah

Waktu cepat terasa berlalu itu salah satunya adalah dalam membersamai anak. Benar gak, sih? Tiba-tiba mereka tidak ingin lagi dibantu. Tidak ingin lagi dimandiin, disuapi. Ingin menyetrika baju sendiri, bahkan ingin cuci baju atau piring sendiri. Mungkin kegiatan di atas bisa langsung sebagai latihan kemandiriannya, ya ... walaupun hasilnya belum sempurna tapi okelah bisa jadi menolong ibu. Lain cerita ketika (terutama si Uda) harus menjauh sejenak dari diri. Contohnya pergi sekolah. Saya adalah seorang ibu yang baperan. Hari pertama doi bersekolah, saya menciuminya bertubi-tubi, memeluknya erat. Hingga dia berkata, "Udah, ih Bu," ucapnya dengan dahi yang berkerut. Pertanda Uda 'cape dweh'. Begitupun saat dia pulang sekolah. Pelukan rindu pun ku hadiahkan, balasannya ya ... seperti saat berangkat. Hehehe ... maafkan ibumu ini, Nak. "Kebayang deh, besok anak pergi sekolah jauh gimana reaksi Ibu," ujar sang ayah saat melihatnya. Saat itulah aku merasa waktu be
 Vinda, gadis kota yang berperawakkan tinggi dengan tubuh melebihi langsing. Jangan bilang kurus, dia tidak menyukainya. Sederhana, tidak cantik tapi manis, begitu orang banyak bilang. Terlahir di kota besar tidak mempengaruhi sikapnya yang polos. Selain karena mempunyai tampang yang pas-pasan, Vinda memang sedikit pemilih terhadap laki-laki. Jangan salahkan Vinda, hatinya yang menginginkan demikian. Gadis berambut ikal ini cenderung menyukai lelaki yang memang memiliki paras rupawan. Sayangnya semasa sekolah berseragam, laki-laki impiannya tidak sekalipun melirik pada Vinda. Sebaliknya, yang banyak menggoda gadis pemalu itu malahan mereka yang ingin dijauhinya. Sombong? Tidak. Vinda hanya menginginkan yang enak dipandang. Pada akhirnya dia menang banyak saat duduk di bangku perkuliahan. Seiring berjalannya waktu, wajah yang dulu pas-pasan, kini terlihat matang. Betapa mekarnya hati gadis berusia akhir belasan itu. Beberapa laki-laki berwajah tampan sekaligus mendekatinya. Semua ajakka

Kubegitu Sempurna

"Kamu ... Melsy?" Sepasang mata itu terlihat terkejut juga kecewa, pun dengan suara yang terdengar ragu. Sekalipun tampak ditutup-tutupi. Bukan pertama kali Melsy mendapati ekspresi semacam itu saat diajak bertemu tatap muka dengan teman dunia mayanya. Tetap saja ada sepercik rasa insecure yang akan dibalas dengan senyum kecilnya yang kaku. Sudah bisa ditebak, setelah ini Melsy tak akan lagi dihubungi. Bahkan interaksi di dunia maya mereka akan berkurang. Sepicik itu memang hati manusia, hanya memandang wajah. Walaupun tidak semua. ▲▼▲ Kubegitu sempurna Di matamu kubegitu indah Kumembuat dirimu, akan s'lalu memujaku Disetiap langkahmu, kau 'kan s'lalu memikirkan diriku ... Melsy tersenyum samar, merasa puas mendapat sekian ribu emoticon tawa dan jempol di status facebooknya. Kolom komentarnya pun banjir oleh kata-kata canda dan pujian, tanpa cacian. "Bolehlah liriknya diganti gitu, orang cantik mah bebas." Satu komentar membuat Melsy tertegun. "Ja

Noni

 Suasana Idul Adha masih terasa walau 11 Dzulhijah telah berlalu. Setelah tadi pagi dilakukan kurban di lapangan bola, malam ini kami sekeluarga memasak sate di halaman belakang rumah. Aku mengajak Noni dan Ismail, mengingat mereka hanya bertiga ada di kampung ini. "Fi, tolong minta tempurung kelapa ke warung Buled, ya. Tidak cukup sepertinya ini," pinta Ibu saat aku dan Noni memasukkan daging ke tangkai sate. Warung Buled berada di depan kediaman Noni yang hanya berjarak satu rumah dari rumahku. Saat langkah mengarah ke warung itu, tampak Pak Ibrahim—ayahnya Noni—keluar rumah membawa golok yang sedikit besar.  "Papa mau ke mana? Kenapa bawa golok?" tanya Noni heran. "Hmm ... Papa dapat sedikit kerjaan, mungkin akan pulang larut," jawab Pak Ibrahim sedikit ragu, lalu beliau menatapku. Mata itu tampak sedikit kalut. Bola matanya melihat ke segala arah sekalipun beliau mencoba menutup dengan topi yang dikenakannya. "Nak Sofi, jika boleh, Noni dan Ismail

Mengosongkan Lemari

Sudah lama aku mendengar tentang Marie Kondo. Pencetus berbenah simpel pakaian, benar 'kan? Atau juga berbenah rumah? Ah, aku tidak terlalu perhatian dengan ajarannya, juga tidak hobi beres-beres. Namun, kemarin aku membaca artikel pendek yang menggerakkan hati untuk mengeliminasi barang-barang di rumah ini. Istilahnya decluttering , itu aku nyontek mengetiknya. Kata Marie Kondo dalam artikel itu, decluttering ini bisa membuat kita lebih bahagia dengan menghargai benda-benda yang ada di rumah. Kurang yakin, sih. Tetapi penasaran ingin mencoba, secara rumah ini kok, terasa semakin sempit, ya? Maka, hari ini, aku bertekad ingin mengosongkan rumah. Ya ... gak kosong-kosong amat. Katanya, mulai dari lemari pakaian. Di kamar cuma ada satu lemari, tapi mempunyai empat pintu yang cukup lebar. Perlahan, kubuka pintu pertama. Kok, deg-degan, ya? Saat pintu satu terbuka, tampaklah tumpukkan pakaian berwarna-warni. Sesuai petunjuk artikel, pandangilah. Padat, tidak rapi tapi tidak berantakka

Memang Jodoh

 "Buk, ini saya gak bisa ganti dengan tim lain?" Aku segera menemui Bu Yani--ketua jurusan--setelah menerima surat tugas penelitian dari dekanat. Bukan keberatan karena tugas penelitiannya, tapi karena aku setim--lagi--dengan makhluk yang harus kuhindari. Bukan karena belum move on, tapi ... ah, nantilah aku ceritakan. "Sebentar," Bu Yani mengangkat tangannya menegaskan aku perlu bersabar jika ingin tahu jawaban beliau. Tidak lama setelahnya, terdengar bunyi ketukkan pintu. Tanpa menunggu jawaban dipersilahkan masuk, si tamu langsung saja membuka pintu dan duduk di sebelahku. Aku melepas nafas, 'cape deh!' "Ini memang rencana saya. Menyatukan kalian kembali dalam satu tim penelitian. Selain karena potensi kalian, juga saya ingin kalian tetap akur. Sudah berapa tahun kalian tidak saling sapa?" "Saya sih, nyapa, Buk. Dianya aja yang jual mahal." Jawaban dari Arya membuatku memutar mata. "Bagaimana, Shi?" Bu Yani menautkan jemariny

Belum Tau Judul

 "Buk, ini saya gak bisa ganti dengan tim lain?" Aku segera menemui Bu Yani--ketua jurusan--setelah menerima surat tugas penelitian dari dekanat. Bukan keberatan karena tugas penelitiannya, tapi karena aku setim--lagi--dengan makhluk yang harus kuhindari. Bukan karena belum move on, tapi ... ah, nantilah aku ceritakan. "Sebentar," Bu Yani mengangkat tangannya menegaskan aku perlu bersabar jika ingin tahu jawaban beliau. Tidak lama setelahnya, terdengar bunyi ketukkan pintu. Tanpa menunggu jawaban dipersilahkan masuk, si tamu langsung saja membuka pintu dan duduk di sebelahku. Aku melepas nafas, 'cape deh!' "Ini memang rencana saya. Menyatukan kalian kembali dalam satu tim penelitian. Selain karena potensi kalian, juga saya ingin kalian tetap akur. Sudah berapa tahun kalian tidak saling sapa?" "Saya sih, nyapa, Buk. Dianya aja yang jual mahal." Jawaban dari Arya membuatku memutar mata. "Bagaimana, Shi?" Bu Yani menautkan jemariny

Sahabat

Kamu punya sahabat seperti apa, sih? Aku punya teman dekat, yang tidak mau dibilang sahabat, tapi dia tahu semua tentangku, keluargaku, bahkan perasaanku. Pun sebaliknya. Bedanya, dia mengingat setiap rinci silsilah keluargaku, juga teman-temanku dari masa putih merah. Mungkin juga taman kanak-kanak. Sedangkan aku, hanya mengingat keluarga intinya saja. Jangankan teman-teman lamanya, pacar barunya saja, aku sering lupa wajahnya. "Eh, Cheng. Rasa-rasanya, aku pernah ketemu sama dia, deh," ujarku sesaat sampai di kosannya. Tadi, di jalan menuju kosannya, kami bertemu cowok pakai motor. Dianya baru akan berangkat ke kampus, sedangkan kami baru selesai dua sks perkuliahan. "Astoge Chiiing, dia itu 'kan cowok aku yang baru! Baru juga seminggu yang lalu aku kenalin, masak lupa, sih? Ish!" gemasnya. "Awas kalau lupa lagi. Parahnya ntar, kamu naksir lagi," lanjutnya masih sewot. Muehehehe. Aku memang sepelupa itu pada wajah orang. "Tenang, tipe kita beda.