Langsung ke konten utama

Belum Tau Judul

 "Buk, ini saya gak bisa ganti dengan tim lain?"


Aku segera menemui Bu Yani--ketua jurusan--setelah menerima surat tugas penelitian dari dekanat.


Bukan keberatan karena tugas penelitiannya, tapi karena aku setim--lagi--dengan makhluk yang harus kuhindari. Bukan karena belum move on, tapi ... ah, nantilah aku ceritakan.


"Sebentar,"


Bu Yani mengangkat tangannya menegaskan aku perlu bersabar jika ingin tahu jawaban beliau. Tidak lama setelahnya, terdengar bunyi ketukkan pintu. Tanpa menunggu jawaban dipersilahkan masuk, si tamu langsung saja membuka pintu dan duduk di sebelahku.


Aku melepas nafas, 'cape deh!'


"Ini memang rencana saya. Menyatukan kalian kembali dalam satu tim penelitian. Selain karena potensi kalian, juga saya ingin kalian tetap akur. Sudah berapa tahun kalian tidak saling sapa?"


"Saya sih, nyapa, Buk. Dianya aja yang jual mahal." Jawaban dari Arya membuatku memutar mata.


"Bagaimana, Shi?" Bu Yani menautkan jemarinya, lalu memandangku dengan serius.


Jika tatapan beliau sudah tajam begitu, mana bisa dijawab tidak. "Seperti biasa, Buk. Selagi bekerja secara profesional, saya akan berusaha profesional juga."


"Baiklah. Sepertinya tidak ada lagi masalah, ya? Silahkan mengumpulkan anggota, jika telah oke, temui saya seperti biasa."


>.<


"Bersama lagi 'kan kita?" tanya Arya dengan senyum smirk-nya.


Aku hanya memberi tatapan datar sebentar ke arahnya, lalu sok sibuk dengan hp.


'Ish. Kenapa bisa terjebak berdua gini, sih?' Gerutuan hati untuk menutupi sentruman kecil yang terasa menggelitik di sebongkah daging itu. Ck!


Mereka bilang kami itu jodoh. Gengsi yang menutup kemungkinan itu. Tidak menurutku. Ini hanya kebetulan. Putus baik-baik saat akan wisuda sarjana. Bahkan masih sering cerita setelahnya. Makin lama, komunikasi itu hilang. Tak lagi kudengar kabar Arya.


Setahun menjadi honorer, aku mencoba rezeki beasiswa S2. Lulus di universitas yang sama dengan Arya, tempat dia melanjutkan pasca sarjana. Berawal kuliah pasca inilah hubungan kami menjadi buruk. Semua karena yang katanya teman dekat.


Sehari setelah ujian tesis, siapa sangka aku diminta menjadi dosen di sini, universitas saat kusarjana. Tanpa berpikir dua kali, aku mengiyakan permintaan itu. Setelahnya, aku sedikit menyesal karena Arya ternyata lebih dulu menjadi dosen di jurusan yang sama.


Terasa capek memandang hp, dengan ingatan yang berkelana, kuregangkan otot bahu. Kuangkat kepala yang seketika tatapan kami bertemu. 'Dia dari tadi lihatin aku terus?'


Arya sama sekali tidak mengalihkan tatapannya. Bahkan, dia tersenyum. Astaga, kalau begini aku yang jadi salah tingkah. Yang tadinya menyentrum, kini hampir korslet! Eh, jangan.


"Kenapa jadi salah tingkah?" tanyanya masih dengan gaya yang sama, tatapan yang sama, dan senyum yang sama.


"Gak, biasa aja," jawabku kembali menatap hp.


"Mereka gak akan datang," ujarnya lagi yang membuatku kembali menatapnya.


"Maksudnya?" 


"Aku gak bilang ngumpul dengan tim sekarang. Aku bilang, kita ...," telunjuk Arya mengarah padaku, lalu ke arahnya, "yang ngumpul."


Tadi setelah dari ruangan Bu Yani, dia bilang siang ini bersama anggota peneliti lain akan berkumpul. Aku memerlukan beberapa detik untuk memahami maksudnya. Oh, ini rencananya agar bisa bicara denganku.


"Kamu mau apa?" tanyaku mencoba tenang.


"Aku mau kamu nerima lamaranku," jawabnya pasti. Tetapi tidak kumengerti.


"Kamu ... kapan melamarku?" tanyaku bingung.


"Astaga, Elshi, kamu ... benar-benar udah lupain aku?" Arya melepas nafasnya keras, menyandarkan punggungnya, lalu mengusap wajahnya yang berkharisma. "Jangan paksa aku untuk melakukannya Shi," lanjutnya sangat gusar.


"Maksa apa? Lakuin apa? Kamu buat aku bingung,"


Arya menatapku lekat. Rahangnya tampak sedikit mengeras. Sungguh, aku tidak menangkap maksudnya ini.


"Aku ingin kamu jadi istriku. Nanti malam, aku akan datang menemui papamu."


Aku cukup terkejut mendengar pernyataannya. Hampir lima tahun hubungan kami tidak baik, tak sekalipun dia mencoba memperbaiki hubungan pertemanan kami. Sekalipun, selalu dalam satu tim setiap kali ada pekerjaan di kampus.


Satu hal yang selalu kusadari, Arya selalu memilih teman-temannya itu. Maka jawabanku masih sama, "Aku gak ...,"


"Aku gak butuh jawabanmu," sambarnya otoriter.


"Aku gak mau berurusan dengan perempuan-perempuan gila yang ada di sekelilingmu itu!"


Aku memilih sedikit berteriak karena tidak diberi kesempatan bersuara oleh Arya. Bahkan aku memajukan tubuh dan memukul meja karena menahan emosi.


>.<


Aku pacaran dengan Arya semenjak tahun satu kuliah, waktu masih menjadi mahasiswa culun. Berakhir tahun ke tiga waktu sibuk menyusun skripsi. Tidak ada masalah yang serius, kami sama-sama jujur. Bosan. Dari pada saling menyakiti, maka saat itu kami memilih mengakhiri. Ya ... walaupun ada rasa kehilangan tapi tidak perih.


Aku bertemu lagi dengan Arya saat melanjutkan pasca sarjana. Saat pertama kali bertemu, kami seperti teman lama yang saling rindu. Bahkan, sebulan pertama dia yang mengantarkanku ke semua tempat yang kubutuhkan.


Hingga, aku dihadang oleh perempuan-perempuan yang kukenal teman nongkrong Arya di sebuah kafe. Mereka mengancam akan menyakitiku jika tidak menjauh dari Arya.


"Jika aku tidak bisa memiliki Arya, semua perempuan akan bernasib yang sama denganku."


Ck, sinetron!


Setelah mereka berlalu dari hadapanku, aku langsung menghubungi Arya dan menceritakan semuanya. Apa setelahnya berakhir? Tidak.


Arya memilih mereka. Walaupun setiap kali aku menceritakan teror teman-temannya Arya tidak membela mereka. Tetapi, jika mereka memanggil Arya saat bersamaku, cowok berperawakan tegap itu akan meninggalkanku.


Perlahan mereka berhasil menjauhkan kami. Aku tau, saat itu kami tidak memiliki hubungan apa-apa. Aku tak punya hak mengaturnya. Namun itu cukup menyadarkanku bagaimana posisi seorang Elshi dihati Arya.


Palung hati sedikit senang mengingat netra tidak pernah melihat, atau pun mendengar Arya berjalan serius dengan seorang perempuan. Padahal aku sendiri pernah membuka hati tiga kali, tapi berakhir runyam dihajar Arya.


Pertama, gigi cowok itu sampai rontok ditinju Arya, karena dia memaksa menciumku. Ke dua, bahkan sampai masuk rumah sakit, sebabnya berani melamarku, ternyata dia telah berkeluarga. Istrinya bahkan sempat melabrakku. Terakhir, hilang begitu saja, padahal laki-laki itu begitu baik.


Ah, sudahlah. Saat ini, aku tidak ingin mempunyai hubungan yang serius dulu. Tapi, kenapa jadi kangen Arya, ya?


Iseng, aku kepoin facebooknya. Menelusuri postingannya yang sangat jarang update, hingga sampai pada postingannya yang cukup membuatku surprais. Tidak satu pun postingannya tentangku yang dihapus. Wow! Aku yang dulu sering update, semua postingan tentang kami dulu, saat ini kuatur 'only me'.


Boleh aku gede rasa? Muehehehe.


"El?"


"Ya, Ma?" Aku yang tadi rebahan, langsung bangun sedikit terkejut saat membuka pintu kamar.


"Ada tamu penting. Ganti bajumu, gih,"


Baru saja akan protes, mama lebih dulu mengacungkan telunjuk dan sedikit melototkan matanya. "Tidak menerima penolakkan." 


Ish.


Tidak kaget saat melihat Arya dan kedua orang tuanya datang bertamu. Yang namanya Arya, selalu menepati omongannya.


Tidak banyak basa-basi, Arya langsung mengutarakan maksud kedatangan mereka. Yang kemudian tanpa bertanya pendapatku, papa dan mama menyetujui lamaran tersebut.


Menyebalkan tapi ....


Papa dan mama tidak akan berpikir berkali-kali jika laki-laki yang melamar anak perempuan satu-satunya adala Arya. Sejak kali pertama bertemu, para tetua itu sudah jatuh hati pada sikap dan tampang laki-laki yang sedang tersenyum puas menatapku itu.


Waktu kami putus, yang menangis adalah mama. Setiap kali membahas cowok, yang disebut mama adalah Arya. Bahkan, saat aku mencoba membuka hati, tetap Arya yang disinggung.


>.<


Tiga bulan kemudian.


"Kamu benar mau cuekin aku terus?" tanya Arya saat aku dan dia sedang menikmati sarapan di sebuah villa.


Semenjak lamaran itu, aku hemat bicara pada papa dan mama. Apalagi pada Arya, aku diam seribu bahasa. Percuma menolak apalagi protes, yang ada semua fasilitasku akan ditahan papa dan mama.


Hingga, dengan keputusan sepihak dari Arya, dia membawaku ke villa ini. Villa dengan servis honeymoon.


Aku suka tempatnya! Sorakku dalam hati kemarin saat sampai di sini. Arya masih mengingat semua kesukaanku.


Boleh jatuh cinta lagi 'kan?


Ya ampuuun, aku malu. Memilih tidak bicara saat ini sebenarnya bukan lagi karena sebal, tapi malu. 'Duh, pipiku merona gak, ya?'


"Elshi!"


Arya memanggilku dengan sedikit hentakkan. Kepalaku terangkat begitu saja, dan langsung membalas panggilannya, "Ya?" dengan senyum.


Ah, otak kalah oleh hati.


"Kenapa senyum?" tanyanya bingung.


"Capek diam terus," jawabku ingin terus jaim, malah jadi malu-maluin.


Arya tersenyum, berdiri dari duduknya, lalu menarikku untuk berdiri. Serta merta dia memelukku erat.


"Terima kasih," lirihnya.


Aku tersenyum lebar dalam pelukkannya. Tentu saja, membalas pelukkan itu. Rinduuu sekali.


Detik berikutnya, aku sudah berada digendongan Arya. Langkahnya terasa tergesa hingga bunyi pintu kamar berdebam.


O ow, aku tidak pernah terpikir pada bagian ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

.sungai jambu.

apa yang terfikirkan oleh mu jika membaca judul HARAKA kali ini? kelamaan mikirnya, baca aja cerita HARAKA kali ini tentang "Desa ku yang Permai" hahaha... Sungai Jambu adalah sebuah nama nagari di Batu Sangkar. nagari ini terletak di pinggang gunung Marapi [ketinggian ±700 meter dari permukaan laut] , kecamatan Pariangan, Sumatera Barat. nagari yang sungguh menakjubkan, yakin de siapa pun yang pernah ke sana tak akan pernah bosan dengan alamnya, eksotis banget, Subhanallah sangat [terkagum-kagum]. Sungai Jambu termasuk nagari tertua di Sumatera Barat, dialiri oleh 3 batang sungai dan dilatar belakangi oleh Gunung Marapi . bagaimana zee bisa kenal dengan desa ini? jawabannya adalaaaaahh... taraaaaa... [dasar zee stres] itu kampung halaman zee, hehe... di desa ini mama tercinta dilahirkan dan dibesarkan. nah, bagi yang suka narsis, sampe capek silahkan berfutu-futu ria, tak kan pernah puas. zee aja setiap pulkam ga pernah puas berfutu-futu [ntah apa karna futu grafernya y

ku persembahkan untuk...

Alhamdulillahirabbilalamin... akhirnya zii terbebas juga dari kertas-kertas bermasalah [istilah skripsi oleh 2 sobat maya..] mau pamer halaman persembahan ni ceritanya, reading-reading aja yah :) “Dan seandainya semua pohon yang ada dibumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habislah kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.  (QS. Lukman: 27) Alhamdulillahirrabil’alamin Sebuah langkah usai sudah Satu cita telah ku gapai Namun… Itu bukan akhir dari perjalanan Melainkan awal dari satu perjuangan Setulus hatimu mama, searif arahanmu papa Doamu hadirkan keridhaan untukku, petuahmu tuntunkan jalanku Pelukmu berkahi hidupku, diantara perjuangan dan tetesan doa malam mu Dan sebait doa telah merangkul diriku, menuju hari depan yang cerah Kini diriku telah selesai dalam studi sarjana Dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhaan-Mu ya Allah,

Reuni (POV Dezia)

Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus. Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana. Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi. Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu. Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Deg