Langsung ke konten utama

Ketika Harus Berpisah

Waktu cepat terasa berlalu itu salah satunya adalah dalam membersamai anak. Benar gak, sih?

Tiba-tiba mereka tidak ingin lagi dibantu. Tidak ingin lagi dimandiin, disuapi. Ingin menyetrika baju sendiri, bahkan ingin cuci baju atau piring sendiri.

Mungkin kegiatan di atas bisa langsung sebagai latihan kemandiriannya, ya ... walaupun hasilnya belum sempurna tapi okelah bisa jadi menolong ibu.

Lain cerita ketika (terutama si Uda) harus menjauh sejenak dari diri. Contohnya pergi sekolah. Saya adalah seorang ibu yang baperan. Hari pertama doi bersekolah, saya menciuminya bertubi-tubi, memeluknya erat.

Hingga dia berkata, "Udah, ih Bu," ucapnya dengan dahi yang berkerut. Pertanda Uda 'cape dweh'.

Begitupun saat dia pulang sekolah. Pelukan rindu pun ku hadiahkan, balasannya ya ... seperti saat berangkat. Hehehe ... maafkan ibumu ini, Nak.

"Kebayang deh, besok anak pergi sekolah jauh gimana reaksi Ibu," ujar sang ayah saat melihatnya.

Saat itulah aku merasa waktu begitu cepat berjalan. Rasanya, baru kemarin dia lahir, sakitnya pun masih terbayang-bayang.

Saya jadi ingat saat akan menikah dulu. Mama dan tante jadi sering cerita saat saya kecil. Segala perangai, juga kebiasaan yang lucu mereka ceritakan. Mungkin ... seperti inilah yang mereka rasakan saat itu. Sepertinya aku juga bakal baper seperti itu nanti saat mereka akan menikah.

Duh, jadi jauh pikiran.

Ternyata, persiapan mental sayalah yang sangat diperlukan saat Uda mulai berpisah dari saya. Selain ke sekolah, yang begitu terasa adalah ketika Uda harus mulai tidur sendiri.

Padahal siangnya, saya begitu semangat saat dia minta tidur malam sendiri. Eh, saat waktu datang, jadi saya yang meragu.

"Kalau nanti dia tersintak tengah malam gimana?"

"Kalau nanti dia digigit nyamuk gimana?"

"Kalau dia mimpi-mimpi gimana?"

Padahal semua itu sudah ada jawabannya. Kalau dia terbangun trus memanggil, ya datangi.

Kalau dia digigit nyamuk, 'kan dipasangkan kelambu.

Kalau dia mimpi-mimpi, tidak terbangun, ya tidak apa-apa.

Lagian, dia tidak tidur di luar. Dia tidur di kamar sebelah, cuma beda satu dinding.

Pikiran-pikiran unfaedah banget sebenarnya. Jadi memang harus mental si ibu yang harus dikuatkan. Ibu yakin, biasa anak lebih yakin dan percaya diri. Iya gak sih?

Jangankan untuk berpisah seperti ke sekolah atau sudah saatnya dia tidur sendiri. Anak beranjak besar khususnya usia sekolah pun, orang tua harus mempersiapkan mental.

"Ternyata udah besar aja, Nak. Kenapa cepat banget rasanya? Ibu 'kan belum puas main sama kamu."

Nah, itu salahnya siapa. Ketika saat usianya membutuhkan teman bermain sehari-hari, saya ngapain?

Ah, sudahlah -.-'

Komentar

Postingan populer dari blog ini

.sungai jambu.

apa yang terfikirkan oleh mu jika membaca judul HARAKA kali ini? kelamaan mikirnya, baca aja cerita HARAKA kali ini tentang "Desa ku yang Permai" hahaha... Sungai Jambu adalah sebuah nama nagari di Batu Sangkar. nagari ini terletak di pinggang gunung Marapi [ketinggian ±700 meter dari permukaan laut] , kecamatan Pariangan, Sumatera Barat. nagari yang sungguh menakjubkan, yakin de siapa pun yang pernah ke sana tak akan pernah bosan dengan alamnya, eksotis banget, Subhanallah sangat [terkagum-kagum]. Sungai Jambu termasuk nagari tertua di Sumatera Barat, dialiri oleh 3 batang sungai dan dilatar belakangi oleh Gunung Marapi . bagaimana zee bisa kenal dengan desa ini? jawabannya adalaaaaahh... taraaaaa... [dasar zee stres] itu kampung halaman zee, hehe... di desa ini mama tercinta dilahirkan dan dibesarkan. nah, bagi yang suka narsis, sampe capek silahkan berfutu-futu ria, tak kan pernah puas. zee aja setiap pulkam ga pernah puas berfutu-futu [ntah apa karna futu grafernya y

ku persembahkan untuk...

Alhamdulillahirabbilalamin... akhirnya zii terbebas juga dari kertas-kertas bermasalah [istilah skripsi oleh 2 sobat maya..] mau pamer halaman persembahan ni ceritanya, reading-reading aja yah :) “Dan seandainya semua pohon yang ada dibumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habislah kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.  (QS. Lukman: 27) Alhamdulillahirrabil’alamin Sebuah langkah usai sudah Satu cita telah ku gapai Namun… Itu bukan akhir dari perjalanan Melainkan awal dari satu perjuangan Setulus hatimu mama, searif arahanmu papa Doamu hadirkan keridhaan untukku, petuahmu tuntunkan jalanku Pelukmu berkahi hidupku, diantara perjuangan dan tetesan doa malam mu Dan sebait doa telah merangkul diriku, menuju hari depan yang cerah Kini diriku telah selesai dalam studi sarjana Dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhaan-Mu ya Allah,

Reuni (POV Dezia)

Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus. Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana. Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi. Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu. Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Deg