Langsung ke konten utama

Mengejar Nilayya

 "Kalau sudah, saya masih ada pekerjaan. Jangan macam-macam kamu sama Ayya!"


Keluar dari ruangan Pak YY gue memberi hak tubuh di kafe. Gue anggap yang tadi lampu kuning dari Pak YY. Ya ... walaupun abis itu dapat ancaman, sih. No problem-lah.


"Bang Sat!"


Tepukkan yang sedikit keras di bahu, menunda suapan terakhir gue. Bukan karena siapa yang menyapa, tapi gue neg dipanggil gitu. Setelah gue lihat siapa pelakunya, nafsu makan gue amblas.


"Keren kamu, ya. Memanfaatkan tenaga dalam biar lulus. Lagak sih, cowok alim, ternyata munafik juga."


Trang!!


Bunyi sendok beradu keras dengan piring mengalihkan perhatian pengunjung kafe. Baik gue ataupun Ria, tidak ambil peduli dengan tatapan-tatapan kepo.


Senyum culas diberikan cewek resek itu saat gue menatapnya setajam Fany Rose, eh silet.


"Sayangnya, usaha kamu cuma sampai di nilai lulus. Gak sampai di nilayy-a," lanjutnya sambil menunjuk ke arah taman fakultas yang tidak jauh dari kafe.


Masih dengan mata yang sarat ancaman, gue mengikuti arah tunjuk Ria. Sepasang insan manusia duduk dengan jarak satu orang, sedang saling senyum malu-malu tanpa saling pandang, tapi tetap menyulut api di dalam dada. 'Tenang Ibam, jangan terpancing setan betina'.


"Lo mau apa?" tanya gue setelah menenangkan diri. Walaupun disebagian hati gue merasa panas. Hah!


"Jadi pacar aku, dong. Tawaran lama masih berlaku, apapun yang kamu mau,"


"Aku sih, no. Gak tau kalau yang lain."


Setelah memberi jawaban dengan gaya orang terkenal, gue berlalu ke arah taman. Ke arah jodoh yang hampir tersesat.


Semena-mena gue duduk di antara ke duanya. Ucapan istighfar terdengar lirih dari kiri dan kanan gue, juga sedikit lompatan menjauh dari Ayya. "Assalammualaikum ya akhi, ya ukhti," sapa gue dengan lantunan karya Opik.


Suara lirih kembali terdengar sebagai jawaban salam gue. Gue gak suka! "Ada yang merasa terganggu?"


Pertanyaan gue dicuekin gaes. Mereka gak tau apa, kalau lagi ada yang membara di dada Ibrahim? Ah, ya, 'kan gue kagak ngomong. Mesti gitu gue bilang? Okeh!


"Ayya, kamu gak ingat kalau udah aku khitbah?" Gue bertanya sedikit berbisik, sambil menatap dalam sosok pencuri hati yang sedang menatap rumput. Yang kemudian kaget dan menatap gue dengan dahi berkerut.


Ya Rabb ... tatapan matanya saja membuat hati gue yang tadi panas, jadi sejuk lagi.


"Kapan?" Kali ini gue yang terlonjak kaget. Suaranya lebih tegas dari biasanya.


"I ... itu," Astaga, kok, gue jadi gugup gini dipandang lama sama Ayya. Mata itu semakin menuntut jawaban, semakin hilang rasa percaya diri gue.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

.sungai jambu.

apa yang terfikirkan oleh mu jika membaca judul HARAKA kali ini? kelamaan mikirnya, baca aja cerita HARAKA kali ini tentang "Desa ku yang Permai" hahaha... Sungai Jambu adalah sebuah nama nagari di Batu Sangkar. nagari ini terletak di pinggang gunung Marapi [ketinggian ±700 meter dari permukaan laut] , kecamatan Pariangan, Sumatera Barat. nagari yang sungguh menakjubkan, yakin de siapa pun yang pernah ke sana tak akan pernah bosan dengan alamnya, eksotis banget, Subhanallah sangat [terkagum-kagum]. Sungai Jambu termasuk nagari tertua di Sumatera Barat, dialiri oleh 3 batang sungai dan dilatar belakangi oleh Gunung Marapi . bagaimana zee bisa kenal dengan desa ini? jawabannya adalaaaaahh... taraaaaa... [dasar zee stres] itu kampung halaman zee, hehe... di desa ini mama tercinta dilahirkan dan dibesarkan. nah, bagi yang suka narsis, sampe capek silahkan berfutu-futu ria, tak kan pernah puas. zee aja setiap pulkam ga pernah puas berfutu-futu [ntah apa karna futu grafernya y

ku persembahkan untuk...

Alhamdulillahirabbilalamin... akhirnya zii terbebas juga dari kertas-kertas bermasalah [istilah skripsi oleh 2 sobat maya..] mau pamer halaman persembahan ni ceritanya, reading-reading aja yah :) “Dan seandainya semua pohon yang ada dibumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habislah kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.  (QS. Lukman: 27) Alhamdulillahirrabil’alamin Sebuah langkah usai sudah Satu cita telah ku gapai Namun… Itu bukan akhir dari perjalanan Melainkan awal dari satu perjuangan Setulus hatimu mama, searif arahanmu papa Doamu hadirkan keridhaan untukku, petuahmu tuntunkan jalanku Pelukmu berkahi hidupku, diantara perjuangan dan tetesan doa malam mu Dan sebait doa telah merangkul diriku, menuju hari depan yang cerah Kini diriku telah selesai dalam studi sarjana Dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhaan-Mu ya Allah,

Reuni (POV Dezia)

Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus. Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana. Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi. Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu. Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Deg