Langsung ke konten utama

Berdamai dengan Realita

Baca berita tentang pandemik yang tidak akan berakhir, rasanya ... nyelekit. Saya sebagai seorang yang awam dengan keadaan saat ini, bisa merasakan bagaimana perasaan para pejuang di garda terdepan dalam memerangi virus ini. Ditambah lagi dengan hastag yang lagi viral #Indonesiaterserah membuat semangat yang masih ada bisa saja down.

Ini bukan tentang penyakit yang tidak bisa menghilang, ini tentang ikhtiar kita yang (mungkin) masih kurang. Begitu banyak cara dianjurkan oleh para dokter dan pemerintah agar sama-sama melenyapkan virus ini. Namun, beberapa orang masih saja MADA, TANGKA (ngeyel) untuk sebentar saja menahan diri.

Ini di luar cerita tentang bagaimana para pencari nafkah yang harus ke luar rumah, ya. Tapi, ini tentang mereka yang menganggap enteng covid 19. Terbukti, hampir setahun virus ini ada di Indonesia, yang positif terus meningkat setiap harinya. Itu karena apa? Yang jawab takdir, sini, kita ngopi dulu.

Memang, ada yang telah berusaha agar tidak terjangkit, tapi masih terkena dampak, inilah yang dikatakan qadarullah. Sudahlah, mungkin benar, kita harus berdamai dengan realitas bahwa virus ini akan lama bertahan di negeri ini. Sementara, hidup harus terus berlanjut.

Haruskah kita berteman dengan covid 19? Rasanya ... tidak mungkin. Mengingat anti body setiap orang berbeda. Psikis yang sedang dialami jiwa berbeda.

Mungkin ini cara Allah agar kita selalu ingat, bahwa ada musuh yang harus kita hadapi setiap kali ke luar rumah. Padahal, musuh yang lebih nyata, sudah ada bahkan jauh sebelum manusia hidup.

Mungkin ini cara Allah agar kita lebih memperhatikan pola makan. Agar kita lebih memperhatikan hak tubuh. Agar kita lebih menjaga kebersihan. Bukankah kebersihan sebagian dari iman?

Mungkin ini cara Allah agar manusia mengikuti perintahNya. Bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram itu, haram. Memang sunnah memakai cadar (niqab), namun jika situasi seperti ini, mau tidak mau. Selintas seperti dipaksa, pemaksaan yang menjadikan diri jauh dari neraka.

Mau sedikit julid dengan tulisan yang menyama-ratakan covid 19 ini dengan campak yang sampai saat ini belum ditemukan vaksinnya. Campak itu tidak berdampak kematian, Bhambaaang!

Memang yang kita lihat fakta di lapangan, rata-rata kematian yang disebabkan oleh covid 19 ini adalah tubuh yang sudah mempunyai penyakit kronis. Namun, dibalik itu semua, bukankah kita harus selalu ikhtiar?

Entahlah.

Apakah nantinya, hidup kita akan berbaur lagi dengan virus ini di luar sana. Atau, tetap semuanya dari rumah.

Wallahu'alam bishawab.

Lahhaula walaquata illahillah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

.sungai jambu.

apa yang terfikirkan oleh mu jika membaca judul HARAKA kali ini? kelamaan mikirnya, baca aja cerita HARAKA kali ini tentang "Desa ku yang Permai" hahaha... Sungai Jambu adalah sebuah nama nagari di Batu Sangkar. nagari ini terletak di pinggang gunung Marapi [ketinggian ±700 meter dari permukaan laut] , kecamatan Pariangan, Sumatera Barat. nagari yang sungguh menakjubkan, yakin de siapa pun yang pernah ke sana tak akan pernah bosan dengan alamnya, eksotis banget, Subhanallah sangat [terkagum-kagum]. Sungai Jambu termasuk nagari tertua di Sumatera Barat, dialiri oleh 3 batang sungai dan dilatar belakangi oleh Gunung Marapi . bagaimana zee bisa kenal dengan desa ini? jawabannya adalaaaaahh... taraaaaa... [dasar zee stres] itu kampung halaman zee, hehe... di desa ini mama tercinta dilahirkan dan dibesarkan. nah, bagi yang suka narsis, sampe capek silahkan berfutu-futu ria, tak kan pernah puas. zee aja setiap pulkam ga pernah puas berfutu-futu [ntah apa karna futu grafernya y

ku persembahkan untuk...

Alhamdulillahirabbilalamin... akhirnya zii terbebas juga dari kertas-kertas bermasalah [istilah skripsi oleh 2 sobat maya..] mau pamer halaman persembahan ni ceritanya, reading-reading aja yah :) “Dan seandainya semua pohon yang ada dibumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habislah kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.  (QS. Lukman: 27) Alhamdulillahirrabil’alamin Sebuah langkah usai sudah Satu cita telah ku gapai Namun… Itu bukan akhir dari perjalanan Melainkan awal dari satu perjuangan Setulus hatimu mama, searif arahanmu papa Doamu hadirkan keridhaan untukku, petuahmu tuntunkan jalanku Pelukmu berkahi hidupku, diantara perjuangan dan tetesan doa malam mu Dan sebait doa telah merangkul diriku, menuju hari depan yang cerah Kini diriku telah selesai dalam studi sarjana Dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhaan-Mu ya Allah,

Reuni (POV Dezia)

Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus. Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana. Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi. Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu. Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Deg