Langsung ke konten utama

Belum Ada Judul

Tanpa Tuan Mahmed jawabpun, Jian bisa menebak apa yang akan atau mungkin sedang terjadi di bangunan berbatu banyak di sana. Batin Jian bergejolak, segera saja lelaki berbadan tegap itu meminta izin pada tuannya dengan alasan, ada sedikit keperluan.

Langkah Jian begitu tergesa menuju istana. Hanya satu tujuannya, ingin mengetahui apakah sang raja, penyelamat hidupnya baik-baik saja?
Tidak susah bagi Jian untuk memasuki istana megah tersebut. Lelaki santun itu sudah menjadi tangan kanan raja sekalipun tidak menetap di dalam istana.

"Hamba ... hanya ingin hidup menjadi rakyat biasa, Baginda. Walaupun hamba tinggal di luar sana, hidup ini siap hamba pertaruhkan kepada engkau." Begitulah jawaban jumawa dari Jian, saat raja memintanya untuk menetap di dalam istana.

Pikiran yang sedang berkelana, membuyarkan sedikit fokus Jian saat masih berlari-lari kecil menuju ruangan raja. Hampir saja pemuda itu menubruk seseorang yang juga hendak memasuki ruangan raja.

Sigap, tangan kekar itu meraih apa saja sebagai pegangan agar tidak menimpa yang ternyata Sang Putri Raja. Tangan kekar itu akhirnya bertumpu pada tiang di sisi pintu ruangan yang hendak mereka masuki.

Netra keduanya sama-sama membesar. Jian yang terkejut menatap wajah yang tepat di samping lengan besarnya, dan sang Putri yang syok melihat tanda lahir di tangan kanan tersebut.

Langsung saja, tatapan Sofija beralih ke wajah yang tidak jauh dari hadapannya, "siapa namamu?" tanyanya tanpa basa-basi.

Jian segera memperbaiki posisinya dan sedikit menunduk menjawab. Kemudian, Sofija berlalu begitu saja saat mulut itu melontarkan nama yang berbeda dari harapannya.

Wajah Jian tampak sangat heran melihat tingkah Sang Putri, tapi dia sadar diri, memilih mengikuti Sofija dari pada memenuhi rasa penasaran.

"Anakku, duduklah di sini." Sambut ayah Sofija menepuk-nepuk bangku di sebelahnya. "Wah, kebetulan sekali. Jian, silahkan-silahkan." lanjut Sang Raja dengan ekspresi yang sulit diartikan.

"Sebelumnya, perkenalkan, hamba Kim Xander." Pemuda tersebut berdiri dari tempat duduknya, dengan tangan di dada, membungkuk memperkenalkan diri.

Tidak hanya mata lentik sang Putri yang membola, sepasang mata di balik pintu ruangan raja pun membesar seolah lepas dari kelopaknya.

***

Cerita di atas adalah salah satu cuplikan cerita pendek estafet dari kelas literasi dan bahasa IP Padang.

Penasaran lanjutannya? Nantikan di

MAJALAH DIGITAL IP Padang -EKSPRESIANA-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

.sungai jambu.

apa yang terfikirkan oleh mu jika membaca judul HARAKA kali ini? kelamaan mikirnya, baca aja cerita HARAKA kali ini tentang "Desa ku yang Permai" hahaha... Sungai Jambu adalah sebuah nama nagari di Batu Sangkar. nagari ini terletak di pinggang gunung Marapi [ketinggian ±700 meter dari permukaan laut] , kecamatan Pariangan, Sumatera Barat. nagari yang sungguh menakjubkan, yakin de siapa pun yang pernah ke sana tak akan pernah bosan dengan alamnya, eksotis banget, Subhanallah sangat [terkagum-kagum]. Sungai Jambu termasuk nagari tertua di Sumatera Barat, dialiri oleh 3 batang sungai dan dilatar belakangi oleh Gunung Marapi . bagaimana zee bisa kenal dengan desa ini? jawabannya adalaaaaahh... taraaaaa... [dasar zee stres] itu kampung halaman zee, hehe... di desa ini mama tercinta dilahirkan dan dibesarkan. nah, bagi yang suka narsis, sampe capek silahkan berfutu-futu ria, tak kan pernah puas. zee aja setiap pulkam ga pernah puas berfutu-futu [ntah apa karna futu grafernya y

ku persembahkan untuk...

Alhamdulillahirabbilalamin... akhirnya zii terbebas juga dari kertas-kertas bermasalah [istilah skripsi oleh 2 sobat maya..] mau pamer halaman persembahan ni ceritanya, reading-reading aja yah :) “Dan seandainya semua pohon yang ada dibumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habislah kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.  (QS. Lukman: 27) Alhamdulillahirrabil’alamin Sebuah langkah usai sudah Satu cita telah ku gapai Namun… Itu bukan akhir dari perjalanan Melainkan awal dari satu perjuangan Setulus hatimu mama, searif arahanmu papa Doamu hadirkan keridhaan untukku, petuahmu tuntunkan jalanku Pelukmu berkahi hidupku, diantara perjuangan dan tetesan doa malam mu Dan sebait doa telah merangkul diriku, menuju hari depan yang cerah Kini diriku telah selesai dalam studi sarjana Dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhaan-Mu ya Allah,

Reuni (POV Dezia)

Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus. Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana. Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi. Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu. Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Deg