Karena Islam begitu memuliakan perempuan, maka ada banyak aturan untuk makhluk Allah yang unik ini. Namun, semua tidak akan menghambat seorang perempuan untuk tetap berkarya sesuai kebahagiaannya.
***
Sudah hampir 30 menit aku duduk tertunduk di hadapan Ayah. Tanpa sepatah kata pun dari Beliau. Aku juga tidak berani menyuarakan kata hati. Hanya ujung hijab yang telah remuk, habis kupelintir.
"Mau sampai kapan diam-diaman seperti itu?"
Akhirnya, Ibulah yang memecah keheningan. Aku melirik Ibu yang duduk di sebelah Ayah. Sedari tadi Ayah hanya memandangku, menarik nafas panjang, lalu melepaskan cepat.
"Salah Khayla dimana, Yah?" Karena Ibu sudah datang menengahi, aku pun menjadi berani bersuara.
"Gak ada," jawabnya lemah.
Seketika kepalaku menegak dan menatap Ayah tidak percaya, penuh tanda tanya.
"Ayamu gengsi mau meluk," kelakar Ibu semakin mencairkan suasana.
"Benar, Yah?" tanyaku semakin tidak percaya.
Kedua tangan Ayah terbentang memintaku untuk memeluk. Wajahku yang tadi terasa begitu muram, auto glowing menyambut pelukkan dari cinta pertamaku ini.
"Terima kasih, Yah," haturku haru masih memeluknya.
"Gak, Nak. Ayah yang harus minta maaf dan berterima kasih."
"Ya udah, sih. Saling aja." Lagi, Ibu dengan kelakarnya memecah tawa kami.
Ayah, pria yang begitu protektif padaku. Wajar, karena aku anak perempuan satu-satunya. Susah sekali mendapat izin untuk sekedar pergi duduk-duduk bersama teman. Jangankan teman laki-laki, sesama perempuan, selagi di tempat bercampurnya lawan jenis, tidak boleh!
"Kalau di rumah, boleh."
Atau jika di rumah teman perempuan, sesampai di sana aku harus lapor via video call. Parah? Memang.
Aku baru bisa memahami setelah menyelesaikan sarjana. Semua ketentuan ayah, adalah aturan agama. Semua itu, tidak bisa dibantah jika ingin surga kelak.
Namun, aku masih terkekang ketika ayah mengetahui hobi menulisku. Ayah melarangnya. Maunya beliau, aku mendalami ilmu agama, atau yang nyata-nyata saja, seperti mempelajari lebih lanjut tentang pemograman web, sesuai jurusanku.
Awalnya aku mencoba mengikuti alur keinginan ayah, tapi semakin kesini, ada jiwa yang berontak yang ingin dikeluarkan. Maka, semenjak itu, aku menulis tanpa sepengetahuan ayah.
Singkat cerita, satu novel yang aku tulis booming. Viral. Hingga para netizen mendapatkan biodata asliku. Setelahnya, kalian bisa menebak. Ya, sampai ke telinga ayah.
Jangan ditanya bagaimana perasaanku. Sama sekali tidak merasa bahagia, yang ada rasa takut luar biasa saat ayah mengetahuinya.
Sebenarnya, aku sudah memperkirakan jauh-jauh hari akan datang hari ini. Berbagai alasan pembelaan diri pun sudah kupersiapkan. Tetapi, tetap saja gemetar saat dipanggil ayah tadi.
Jadi teringat ketika aku mengatakan alasan tadi, sedikit terisak dan mengiba. "Khay 'kan sudah mempelajari yang Ayah minta. Tidak pernah sekalipun meninggalkan kewajiban. Menulis ini sama sekali tidak melalaikan Khay, Ayah."
Ayah hanya diam. Memandangku datar. Marah tidak, sedih juga tidak.
"Hei, kenapa jadi melamun?" Ibu memijit pelan bahuku yang telah duduk menyandar di sebelahnya, "masih ada yang mau kamu sampaikan ke Ayah?" tanya Ibu yang memang sangat mengerti anaknya ini.
"Iya. Izinkan Khay bebas berkarya, maksudnya, melakukan hobi ini." aturku hati-hati.
Ibu memandang Ayah penuh harap, lalu meremas pelan jari-jari Ayah. "Bebaskan juga anakmu menyuarakan kata hatinya, Yah."
Ayah tersenyum menjawab, "Insyaallah."
"Tapi ...."
Tubuh yang tadi hampir merosot karena lega, kembali tegak. Tapi Ayah itu terasa lebih menegangkan.
"Kamu ta'aruf dulu sama anak ustadz Afdhal."
"Hah? Ayah kenal sama ustadz itu?" tanyaku tidak percaya. Ayah memang banyak kenalan ustadz, tapi rasanya kenal sama ustadz sekondang itu tidak mungkin.
"Gak,"
"Trus, kok bisa?"
"Katanya sih, anak beliau mencari tau tentangmu sendiri. Kemungkinan saat novel kamu booming itu." Penjelasan ayah benar-benar terasa tidak masuk akal. Memang banyak yang menitip salam, juga proposal ta'aruf padaku, tapi untuk orang besar begitu ... mustahil.
"Khay, tujuan Ayah memanggilmu tadi, ya ini. Sekalipun kamu memakai niqab, kalau sudah terkenal begini, tetap saja semakin banyak laki-laki yang melirik. Untungnya, usia kamu memang sudah memasuki masanya. Ya sudah, Ayah terima proposal satu itu."
"Khay cuma minta tolong sama Ayah, bilangin ke mereka, jangan mengekang hobiku," ujarku mengajukan syarat.
"Oke, insyaallah," jawab Ayah mengacak rambutku.
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku