Sebelumnya → Hijrah Rasa (3)
"Gimana temanku tercintah? Nyesel 'kan, gak lanjut di pesantren aja?"
Gita yang baru saja kembali dari koperasi siswa membeli beberapa cemilan, terkekeh sendiri melihat Qia lunglai menelungkupkan kepala di mejanya.
Bagaimana tidak? Setelah Diky memberi kalimat pengantar di kelas mereka, Qiara terikat janji dengan si cowok sakura. Perjanjian yang hanya disetujui sepihak oleh Diky. Hal itu membuat ubun-ubun Qia merasa meledak. Mau memprotes, Diky langsung ke luar tanpa salam penutup. Mau mengejar, tidak dapat izin oleh senior pendamping.
Melawan amarah itu melelahkan, pren. Wajar, Nabi bilang orang yang kuat itu orang yang bisa menahan marahnya.
"Nyesel, sih, gak. Makan hati, iya," jawabnya lemah. "Lagian, apa maunya, sih, tu si sakura? Perasaan salahku gak salah-salah amat, deh." Qiara menegakkan badannya teringat sikap Diky yang sangat menjengkelkan bagi gadis berdagu lancip itu.
"Sakura?" tanya Gita bingung.
"Saya kurang ramah."
Tawa Gita pecah mendengar jawaban Qia, "ada-ada aja, sih. Ya udah dong, Qi. Hadapi, hadapi, hadapi terus, hehehe ...."
"Gak lucu." Manyun Qia kembali merebahkan kepalanya di meja.
"Makan dulu, gih, sebelum pangeranmu datang menjemput." Gita mengeluarkan beberapa kue basah dan sebatang cokelat di hadapan Qia, lalu melanjutkan guyonannya, "pangeran sakura."
Tawa keduanya memecah kesunyian kelas. Baru saja menikmati segigit risoles, sayup terdengar langkah ringan dari arah pintu.
Wajah yang seharian ini hampir tiap jam mampir dihadapan Qia, belum lagi sikapnya yang seolah-olah teman kecilnya Gita itu mempunyai kesalahan yang tak termaafkan, membuat bibir Qia mencebik melihat sepasang sepatu melangkah ke arahnya.
Beda dengan Qia yang lanjut menikmati cemilannya, Gita malah bengong melihat seorang cowok berkulit eksotis masuk dengan senyum yang terlihat begitu memesona. Rasanya, baru kali ini lihat dia tersenyum cerah begitu.
"Segitunya lihat dia,"
"Eh, A, Abang," Gita gelagapan begitu sadar ternyata Gema masuk kemudian. "Biasa kok, Bang. Heran aja, itu senyumnya lebar amat." jelas Gita pada Gema yang sudah duduk di bangku depan meja Gita.
"Hai, Sista. Udah jadi korban, ya?"
"Hari raya korban masih lama," jawab Qia cuek, masih menikmati snack-nya.
Dua pasang mata yang tadi saling menatap, kini beralih ke arah Ari yang mulai mengacak-acak kantong kecil isi cemilan Gita dan Qia. Mengambilnya satu, dengan dua kali gigit tandaslah satu risoles.
"Kakak, mau ngapain ke sini?" tanya Qia yang akhirnya menatap wajah kakak nomor duanya dengan pandangan malas. Kebiasaan, tanpa izin langsung main makan saja. "Utangmu nambah tiga ribu, ya, Kak." lanjut Qia lagi.
Terdengar tawa tertahan dari bangku sebelah. "Dih, perhitungan amat. Ntar, Diky yang bayarin. Kuylah, doi udah nungguin lo."
"Mau aja, sih, disuruh-suruh. Lagian, maunya dia apa?"
Sekalipun Qia menggerutu, dia tetap mengikuti langkah Ari. Qia ini ... tipe anak yang tidak bisa berkata tidak, selagi itu dalam hal yang wajar. Apalagi, jika yang meminta atau menyuruh adalah dua kakaknya, dan satu teman.
"Sesuai titah sang ketua osis, hamba bawakan seseorang yang ketua inginkan."
"Lebay," Serempak Diky dan Qia merespon kalimat pembuka dari Ari saat sudah masuk ke dalam ruangan OSIS.
Diky yang tadinya sedang menulis laporan kegiatan, sedikit termangu saat mengangkat kepala mendapatkan tangan Ari yang merangkul pundak Qia. Sementara, Qia tampak begitu santai sekalipun ada tangan laki-laki bertengger di bahunya.
"Ehm, itu tangan enak banget kayaknya. Bisa dijelaskan?"
"Pprrrhh ...," tawa Ari hampir meledak jika tidak teringat bahwa di dalam ruangan ini tidak hanya ada mereka bertiga. Ari tahu betul, kalau sahabatnya ini jika sudah menyukai seorang cewek, tidak akan menutup-nutupi rasa tidak sukanya pada cowok yang berurusan dengan perempuan yang ditaksir.
"Gak ada yang perlu diperjelas, Bro. Mending, cepat selesaikan urusan kalian berdua. Gue nunggu di sini." Lanjut Ari disela tawa kecilnya, sambil mengambil posisi duduk tidak jauh dari meja Diky.
Diky mengalihkan tatapannya ke Qia yang sedari tadi menatapnya datar. Tidak ada binar-binar mata kagum yang ditunjukkan seperti siswi-siswi lain yang biasa ditunjukkan mereka pada dirinya dari jarak dekat. Dan itu, menjadikan Diky lebih tertantang membalas tatapan Qia.
"Gak usah terpesona begitu," Akhirnya Dikylah yang bersuara, tidak lain untuk menutupi kegugupan yang mulai melandanya.
"Dih, geer. Jadi, aku disuruh ngapain, nih?"
"Gak sopan. Ulangi kalimatnya."
Masih dengan tatapan datarnya, Qia mencoba mengulangi kata-katanya dengan nada suara yang diramah-ramahkan. "Aku harus ngerjain apa, Kak?"
"Nah, kalau gitu 'kan enak dengarnya. Duduk."
Qia duduk di bangku yang berhadapan dengan Diky. Mereka dibatasi sebuah meja yang penuh dengan kertas-kertas. Hingga lima menit kemudian, tidak ada perintah yang dititahkan Diky pada Qia, dan ini membuat gadis berhijab panjang ini hampir murka.
"Ini serius, aku disuruh duduk gini doang?"
Diky hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas.
"Ish, gak jelas." Tanpa izin Qia beranjak dari tempat duduknya, hendak langsung ke luar.
"Makasih, ya, udah nemanin."
"Hah?"
"Gak. Sana, mau nunggu gue berubah pikiran?"
"Aneh."
Datar, yes. Menulisnya diantara suara riuh bocah dan mata mengantuk. Ntar aja di edit.
●●●
"Gimana temanku tercintah? Nyesel 'kan, gak lanjut di pesantren aja?"
Gita yang baru saja kembali dari koperasi siswa membeli beberapa cemilan, terkekeh sendiri melihat Qia lunglai menelungkupkan kepala di mejanya.
Bagaimana tidak? Setelah Diky memberi kalimat pengantar di kelas mereka, Qiara terikat janji dengan si cowok sakura. Perjanjian yang hanya disetujui sepihak oleh Diky. Hal itu membuat ubun-ubun Qia merasa meledak. Mau memprotes, Diky langsung ke luar tanpa salam penutup. Mau mengejar, tidak dapat izin oleh senior pendamping.
Melawan amarah itu melelahkan, pren. Wajar, Nabi bilang orang yang kuat itu orang yang bisa menahan marahnya.
"Nyesel, sih, gak. Makan hati, iya," jawabnya lemah. "Lagian, apa maunya, sih, tu si sakura? Perasaan salahku gak salah-salah amat, deh." Qiara menegakkan badannya teringat sikap Diky yang sangat menjengkelkan bagi gadis berdagu lancip itu.
"Sakura?" tanya Gita bingung.
"Saya kurang ramah."
Tawa Gita pecah mendengar jawaban Qia, "ada-ada aja, sih. Ya udah dong, Qi. Hadapi, hadapi, hadapi terus, hehehe ...."
"Gak lucu." Manyun Qia kembali merebahkan kepalanya di meja.
"Makan dulu, gih, sebelum pangeranmu datang menjemput." Gita mengeluarkan beberapa kue basah dan sebatang cokelat di hadapan Qia, lalu melanjutkan guyonannya, "pangeran sakura."
Tawa keduanya memecah kesunyian kelas. Baru saja menikmati segigit risoles, sayup terdengar langkah ringan dari arah pintu.
Wajah yang seharian ini hampir tiap jam mampir dihadapan Qia, belum lagi sikapnya yang seolah-olah teman kecilnya Gita itu mempunyai kesalahan yang tak termaafkan, membuat bibir Qia mencebik melihat sepasang sepatu melangkah ke arahnya.
Beda dengan Qia yang lanjut menikmati cemilannya, Gita malah bengong melihat seorang cowok berkulit eksotis masuk dengan senyum yang terlihat begitu memesona. Rasanya, baru kali ini lihat dia tersenyum cerah begitu.
"Segitunya lihat dia,"
"Eh, A, Abang," Gita gelagapan begitu sadar ternyata Gema masuk kemudian. "Biasa kok, Bang. Heran aja, itu senyumnya lebar amat." jelas Gita pada Gema yang sudah duduk di bangku depan meja Gita.
"Hai, Sista. Udah jadi korban, ya?"
"Hari raya korban masih lama," jawab Qia cuek, masih menikmati snack-nya.
Dua pasang mata yang tadi saling menatap, kini beralih ke arah Ari yang mulai mengacak-acak kantong kecil isi cemilan Gita dan Qia. Mengambilnya satu, dengan dua kali gigit tandaslah satu risoles.
"Kakak, mau ngapain ke sini?" tanya Qia yang akhirnya menatap wajah kakak nomor duanya dengan pandangan malas. Kebiasaan, tanpa izin langsung main makan saja. "Utangmu nambah tiga ribu, ya, Kak." lanjut Qia lagi.
Terdengar tawa tertahan dari bangku sebelah. "Dih, perhitungan amat. Ntar, Diky yang bayarin. Kuylah, doi udah nungguin lo."
"Mau aja, sih, disuruh-suruh. Lagian, maunya dia apa?"
Sekalipun Qia menggerutu, dia tetap mengikuti langkah Ari. Qia ini ... tipe anak yang tidak bisa berkata tidak, selagi itu dalam hal yang wajar. Apalagi, jika yang meminta atau menyuruh adalah dua kakaknya, dan satu teman.
"Sesuai titah sang ketua osis, hamba bawakan seseorang yang ketua inginkan."
"Lebay," Serempak Diky dan Qia merespon kalimat pembuka dari Ari saat sudah masuk ke dalam ruangan OSIS.
Diky yang tadinya sedang menulis laporan kegiatan, sedikit termangu saat mengangkat kepala mendapatkan tangan Ari yang merangkul pundak Qia. Sementara, Qia tampak begitu santai sekalipun ada tangan laki-laki bertengger di bahunya.
"Ehm, itu tangan enak banget kayaknya. Bisa dijelaskan?"
"Pprrrhh ...," tawa Ari hampir meledak jika tidak teringat bahwa di dalam ruangan ini tidak hanya ada mereka bertiga. Ari tahu betul, kalau sahabatnya ini jika sudah menyukai seorang cewek, tidak akan menutup-nutupi rasa tidak sukanya pada cowok yang berurusan dengan perempuan yang ditaksir.
"Gak ada yang perlu diperjelas, Bro. Mending, cepat selesaikan urusan kalian berdua. Gue nunggu di sini." Lanjut Ari disela tawa kecilnya, sambil mengambil posisi duduk tidak jauh dari meja Diky.
Diky mengalihkan tatapannya ke Qia yang sedari tadi menatapnya datar. Tidak ada binar-binar mata kagum yang ditunjukkan seperti siswi-siswi lain yang biasa ditunjukkan mereka pada dirinya dari jarak dekat. Dan itu, menjadikan Diky lebih tertantang membalas tatapan Qia.
"Gak usah terpesona begitu," Akhirnya Dikylah yang bersuara, tidak lain untuk menutupi kegugupan yang mulai melandanya.
"Dih, geer. Jadi, aku disuruh ngapain, nih?"
"Gak sopan. Ulangi kalimatnya."
Masih dengan tatapan datarnya, Qia mencoba mengulangi kata-katanya dengan nada suara yang diramah-ramahkan. "Aku harus ngerjain apa, Kak?"
"Nah, kalau gitu 'kan enak dengarnya. Duduk."
Qia duduk di bangku yang berhadapan dengan Diky. Mereka dibatasi sebuah meja yang penuh dengan kertas-kertas. Hingga lima menit kemudian, tidak ada perintah yang dititahkan Diky pada Qia, dan ini membuat gadis berhijab panjang ini hampir murka.
"Ini serius, aku disuruh duduk gini doang?"
Diky hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas.
"Ish, gak jelas." Tanpa izin Qia beranjak dari tempat duduknya, hendak langsung ke luar.
"Makasih, ya, udah nemanin."
"Hah?"
"Gak. Sana, mau nunggu gue berubah pikiran?"
"Aneh."
●●●
Datar, yes. Menulisnya diantara suara riuh bocah dan mata mengantuk. Ntar aja di edit.
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku