Berada di bawah atap yang sama dengan seseorang yang baru dikenal, atau pastinya seseorang yang baru masuk ke dalam hidup kita adalah suatu perkara yang sangat besar. Namun, bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan dengan tindakan-tindakan kecil yang kamu lakukan untuk dia. Tentunya, harus saling.
Aku menutup majalah edisi terbaru yang datang hari ini. Menghembuskan nafas dan sedikit termenung. Menikah itu berat memang, terutama untuk perempuan yang biasa menyimpan segala rasa di hatinya sendiri.
Ingin bercerita, takutnya jatuh ghibah, atau paling seram membokar aib pasangan, lalu terjadi fitnah. Namun, jika ditahan sendiri, rasanya nyesek banget. Harusnya pasangan bisa menjadi tempat ternyaman untuk bercerita. Apapun.
"Hei, Mbak. Ngelamun aja." Tepukkan Alisha di pundak cukup membuatku terlonjak, dan sedikit cemberut. "Maaf, maaf, gak maksud membuat Mbak kaget," lanjutnya memudarkan manyun di bibir.
"Al, menurut kamu, bercerita tentang pasangan ke orang lain, baik atau gak?"
Alisha mengerutkan keningnya, seperti memang berpikir jawabnya atau ingin menebak sesuatu dibalik pertanyaanku. "Baik. Demi menjaga kewarasan. Tapi, lebih baik langsung diomongin sama suami, Mbak."
Lagi, aku melepas nafas lelah. Gimana cara ngomongnya, kalau dia saja selalu enggan mendengarku bicara. Jangankan keluhanku tentang sikapnya, bercerita yang senang-senang aja, sering dicuekkin.
"Jangan lupa, doa juga, Mbak. Yakinlah, Allah gak pernah sia-sia memasangkan kita dengan dia. Jangan mikir yang macam-macam dulu sebelum bicara sama dia, yang ada nanti ciut duluan."
Alisha ini bijak banget kadang. Tapi, dimana-mana, semua nasehat memang menganjurkan komunikasikan dulu dengan pasangan, jika ada yang membebani pikiran dan hatimu. Memang, sih, sekalipun curhat ke teman tapi tidak dibicarakan dengan pasangan, sama saja gak selesai-selesai, tu problema.
"Kalau gak mau cerita, coba tulis aja, Mbak. Menulis bisa menjadi terapi jiwa, meluap juga, kok, emosi kita. Tulis semua yang dirasa."
"Oke, deh. Tingkyu, ya."
Saran terakhir dari Alisha, sepertinya bagus. Selain duduk berlama-lama di sajadah setelah shalat malam.
Aku menutup majalah edisi terbaru yang datang hari ini. Menghembuskan nafas dan sedikit termenung. Menikah itu berat memang, terutama untuk perempuan yang biasa menyimpan segala rasa di hatinya sendiri.
Ingin bercerita, takutnya jatuh ghibah, atau paling seram membokar aib pasangan, lalu terjadi fitnah. Namun, jika ditahan sendiri, rasanya nyesek banget. Harusnya pasangan bisa menjadi tempat ternyaman untuk bercerita. Apapun.
"Hei, Mbak. Ngelamun aja." Tepukkan Alisha di pundak cukup membuatku terlonjak, dan sedikit cemberut. "Maaf, maaf, gak maksud membuat Mbak kaget," lanjutnya memudarkan manyun di bibir.
"Al, menurut kamu, bercerita tentang pasangan ke orang lain, baik atau gak?"
Alisha mengerutkan keningnya, seperti memang berpikir jawabnya atau ingin menebak sesuatu dibalik pertanyaanku. "Baik. Demi menjaga kewarasan. Tapi, lebih baik langsung diomongin sama suami, Mbak."
Lagi, aku melepas nafas lelah. Gimana cara ngomongnya, kalau dia saja selalu enggan mendengarku bicara. Jangankan keluhanku tentang sikapnya, bercerita yang senang-senang aja, sering dicuekkin.
"Jangan lupa, doa juga, Mbak. Yakinlah, Allah gak pernah sia-sia memasangkan kita dengan dia. Jangan mikir yang macam-macam dulu sebelum bicara sama dia, yang ada nanti ciut duluan."
Alisha ini bijak banget kadang. Tapi, dimana-mana, semua nasehat memang menganjurkan komunikasikan dulu dengan pasangan, jika ada yang membebani pikiran dan hatimu. Memang, sih, sekalipun curhat ke teman tapi tidak dibicarakan dengan pasangan, sama saja gak selesai-selesai, tu problema.
"Kalau gak mau cerita, coba tulis aja, Mbak. Menulis bisa menjadi terapi jiwa, meluap juga, kok, emosi kita. Tulis semua yang dirasa."
"Oke, deh. Tingkyu, ya."
Saran terakhir dari Alisha, sepertinya bagus. Selain duduk berlama-lama di sajadah setelah shalat malam.
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku