Sudah lama aku mendengar tentang Marie Kondo. Pencetus berbenah simpel pakaian, benar 'kan? Atau juga berbenah rumah? Ah, aku tidak terlalu perhatian dengan ajarannya, juga tidak hobi beres-beres.
Namun, kemarin aku membaca artikel pendek yang menggerakkan hati untuk mengeliminasi barang-barang di rumah ini. Istilahnya decluttering, itu aku nyontek mengetiknya.
Kata Marie Kondo dalam artikel itu, decluttering ini bisa membuat kita lebih bahagia dengan menghargai benda-benda yang ada di rumah. Kurang yakin, sih. Tetapi penasaran ingin mencoba, secara rumah ini kok, terasa semakin sempit, ya?
Maka, hari ini, aku bertekad ingin mengosongkan rumah. Ya ... gak kosong-kosong amat. Katanya, mulai dari lemari pakaian. Di kamar cuma ada satu lemari, tapi mempunyai empat pintu yang cukup lebar. Perlahan, kubuka pintu pertama. Kok, deg-degan, ya? Saat pintu satu terbuka, tampaklah tumpukkan pakaian berwarna-warni.
Sesuai petunjuk artikel, pandangilah. Padat, tidak rapi tapi tidak berantakkan juga. Lalu beri pertanyaan pada hati. Pakaian mana yang sering dipakai? Mana yang membuat hati bahagia saat memakainya?
Sedikit demi sedikit kuturunkan baju yang sebenarnya banyak yang tak terlalu terpakai. Ditambah situasi yang tidak memungkinkan untuk sering keluar rumah, makin menganggurlah baju-baju itu.
Satu jam kemudian.
Dari banyaknya baju-baju itu, hanya seperempat yang hendak kueliminasi. Rasanya, masih kurang puas. Kembali kupilih sesuai kebahagiaan hati saat memakainya. Setengah jam kemudian, tersisih seperempat lagi.
Sepertinya cukup. Namun saat pandanganku beralih ke tumpukkan yang akan dieliminasi, kok, jadi sayang, ya?
Oke, jangan lagi dilihat.
Setelah menyusun kembali baju yang masih akan dipakai, aku menuju pintu lemari ke dua. Ruang baju suami. Setelah kupandang-pandangi, dominan baju kaos oblong dan kemeja. Tetapi yang dipakai, itu melulu. Sedikit ragu, aku mulai memilah. Ya ampun, masih bagus-bagus. Sepertinya harus ada dia di sini, deh.
Saat merapikan kembali, tampak krah baju kaos oblong yang sudah koyak, seperti dimakan kecoa. Warnanya pun sudah pudar. Kuingat dulu doi suka memakainya saat bepergian santai.
"Jangan baju itulah, Yah. Krahnya udah sobek-sobek kecil."
Namun ucapanku diabaikan. Aku tau, yang penting pakaian itu terasa nyaman, maka dia akan memakainya. Tapi gak yang lusuh juga kalee.
Akhirnya baju itu kujadikan lap kaki dan beberapa baju kaos rumahnya. Untuk sementara segini dulu.
Tidak terasa waktu jam makan siang sudah masuk. Dua pintu lemari bisa memakan waktu sebegitu lama, ya? Sebenarnya bisa sebentar, kalau aku mempunyai hati tega terhadap pakaian-pakaian itu.
Kemudian terdengar pintu rumah berderit. Biasa abang makan siang dulu, baru shalat. Selesai makan, saat aku sedang merapikan meja makan, panggilan abang menggema ke setiap sudut rumah.
Mendengar cara dia memanggil, berarti ada yang salah. Hati ini jadi khawatir. Berlari-lari kecil aku menuju kamar mandi.
"Aku senang kamu akhirnya beberes. Tapi gak baju mahal kujuga dijadiin alas kaki," geramnya tapi dengan wajah memelas.
Tadi saat makan, aku memang cerita apa yang kulakukan sedari pagi, tapi tidak bilang ada bajunya yang dijadikan lap kaki. Walaupun mahal tapi kalau sudah lusuh dan layak pakai, untuk apa lagi disimpan?
Hanya saja aku berani bicara begitu cuma di dalam hati. Doi ngambek gaes. Sampai dia kembali lagi ke kantor, juga pulang sore harinya. Bahkan sudah saatnya tidur.
Kok, rasanya berlebihan ya, ngambeknya? Aku duduk di sebelahnya yang sibuk surfing media sosial.
"Masih ngambek, Bang? Maaf. Aku gak tau kalau itu baju mahal. Lagian, udah lusuh, juga gak pernah Abang pakai lagi 'kan?" Aku mulai bicara dengan nada yang iba bangetlah.
"Kalau barang Abang, ya tanya-tanya dulu. Ini bukan udah lusuh atau gimana, tapi sejarah yang ada di baju itu ...."
"Sejarah?" Aku memotong pembicaraannya. Kalian tau apa yang ada di kelapa perempuan saat mendengar sejarah? "Jadi itu baju kenanganmu? Sama siapa? Berharga banget kalau gitu."
"Bukan ... bukan sama siapa-siapa," Abang meletakkan hpnya dan memegang tanganku. Salah tingkah gaes. "Kamu tau 'kan itu baju kudapat waktu kuliah,"
"Iya, waktu kuliah cowok yang banyak dikagumi para cewek. Ya udahlah, ngerti ngerti. Besok kubakar sekalian itu baju." Aku beranjak ke kamar meninggalkan Abang yang kalang kabut.
"Dek, kok jadi kamu yang marah, sih? Benaran, gak ada kenang-kenangan sama perempuan manapun itu baju. Cuma suka aja," ucapnya masih mencoba menjelaskan.
Aku menutup semua tubuh dengan selimut. Bukan balas ngambek, benar, kesal iya.
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku