Suasana Idul Adha masih terasa walau 11 Dzulhijah telah berlalu. Setelah tadi pagi dilakukan kurban di lapangan bola, malam ini kami sekeluarga memasak sate di halaman belakang rumah. Aku mengajak Noni dan Ismail, mengingat mereka hanya bertiga ada di kampung ini.
"Fi, tolong minta tempurung kelapa ke warung Buled, ya. Tidak cukup sepertinya ini," pinta Ibu saat aku dan Noni memasukkan daging ke tangkai sate.
Warung Buled berada di depan kediaman Noni yang hanya berjarak satu rumah dari rumahku. Saat langkah mengarah ke warung itu, tampak Pak Ibrahim—ayahnya Noni—keluar rumah membawa golok yang sedikit besar.
"Papa mau ke mana? Kenapa bawa golok?" tanya Noni heran.
"Hmm ... Papa dapat sedikit kerjaan, mungkin akan pulang larut," jawab Pak Ibrahim sedikit ragu, lalu beliau menatapku. Mata itu tampak sedikit kalut. Bola matanya melihat ke segala arah sekalipun beliau mencoba menutup dengan topi yang dikenakannya.
"Nak Sofi, jika boleh, Noni dan Ismail malam ini menginap di sebelah, ya," pinta Pak Ibrahim.
"Dengan senang hati, Pak," sambutku semringah. Berarti bisa lebih lama kami bakar-bakar satenya.
Sebelum meninggalkan kami, Pak Ibrahim menyempatkan diri merangkul Noni. Sedikit aneh dengan sikap beliau malam ini. Pekerjaan apa yang memakai golok malam-malam? Memang, Pak Ibrahim bekerja serabutan. Apa pun kerjanya, diterima, asalkan halal.
Noni menatap papanya hingga punggung laki-laki separuh baya itu menghilang. Aku meraih tangan Noni, menarik lembut ke arah warung Buled.
Acara bakar-bakar sate yang kami lakukan akhirnya selesai lewat pukul sebelas malam. Setelah merapikan dan mencuci alat-alat masak, saatnya mengistirahatkan badan. Belum lama mata ini terpejam, terdengar teriakan.
"Noni! Noni! Rumahmu kebakaran!" Itu seperti suara Buled. Noni ternyata tidak lagi ada di sebelahku. Segera aku menyambar bergo yang tergantung di belakang pintu. Aku berlari menyusul Noni yang sudah terduduk lemas di depan warung. Tampak Buled berdiri di sampingnya.
Kobaran api sudah besar saat aku ke luar rumah. Suara api dan gumaman tasbih terdengar saling bersahut-sahutan. Beberapa warga berupaya memadamkan api dengan air yang entah dari mana mereka dapat. Rasanya, percuma. Api semakin menampakkan kekuatannya. Katanya, sudah ada yang menelpon pemadam kebakaran, tapi kenapa lama sekali?
Lalu aku teringat Pak Ibrahim. Apa beliau sudah pulang? Kalau sudah ....
"Buled, Pak Ibrahim ...?" Aku tak sanggup meneruskan kalimat.
"Iya, beliau ada di dalam," jawab Buled terisak.
"Innalillahi, subhanallah, Allahu akbar." Getir kuucap kalimat-kalimat talbiyah, lalu memeluk Noni yang masih menatap rumahnya yang sudah nyaris habis dilalap api.
◆◆◆
"Semalam, Pak Ibrahim menghancurkan sesajian di beringin kembar. Tidak ada yang melihatnya. Namun, dari sikap beliau selama ini yang begitu lantang menantang kebiasaan kampung ini, orang-orang yakin itu kerjaan Pak Ibrahim." Camat, Lurah, Pak RT, Pak RW, juga beberapa warga sedang berkumpul di rumahku membicarakan kejadian semalam.
"Sekitar pukul setengah sebelas malam, Buled melihat beberapa orang mendatangi rumah Pak Ibrahim. Tidak ada keributan," lanjut Pak RT memberi keterangan.
"Tidak ada tanda-tanda akan terjadi kebakaran juga, tiba-tiba api sudah membesar saja lewat jam dua belas," imbuhnya.
"Nak Noni, kami mewakili warga, turut berduka atas apa yang menimpa almarhum Pak Ibrahim. Kami sangat berterima kasih pada almarhum sudah sangat berani memberantas tempat syirik itu. Semoga, beliau diterima di sisi-Nya," hatur Pak Camat kemudian.
"Aamiin. Lalu, bagaimana dengan para pelaku, Pak?" tanya Ayah.
"Saat ini, pihak kepolisian sedang menyelidiki mereka, Pak. Mudah-mudah secepatnya pelaku diadili," jawab Pak RT menanggapi pertanyaan Ayah.
"Kalau begitu, kami permisi, Pak, Buk."
Sepeninggal bapak-bapak tadi, suasana rumah kembali hening. Ayah dan Ibu, hanya menyuruh Noni istirahat, sementara mereka menemani kedua adikku yang sedang mengajak Ismail bermain. Ismail hanya bertanya papanya dua kali, selanjutnya Ayah dan Ibu mengalihkan perhatian bocah lima tahun itu.
Semalam, Ismail begitu terlelap. Mungkin ia capek karena sedari pagi bermain di lapangan bola, malamnya juga bermain di sini. Sehingga, ingar bingar semalam tak masuk hingga ke pendengarannya.
Aku yakin, kelak, Ismail akan bangga pada papanya. Layaknya keberanian Nabi Ibrahim yang menghancurkan berhala-berhala pada zamannya. Almarhum Pak Ibrahim dengan hebat memberantas tempat sesajian yang sudah bertahun-tahun lamanya meresahkan kami.
Ritual itu dilakukan setiap tahun, setelah pelaksanaan kurban dilangsungkan. Setiap kepala hewan kurban, dimandikan, lalu diberi wewangingan, dan diletakkan di antara dua pohon beringin. Pohon beringin kembar itu, diberi pagar, tidak setiap orang boleh mendekat. Hanya keturunan yang menanam pohon beringin itu yang boleh masuk ke pekarangan beringin. Padahal, entah siapa yang menanam.
Katanya, di beringin ini, Allah mengirim utusan untuk menjaga kenyamanan kampung ini. Maka, untuk menjamu sang penjaga, setiap hari raya Idul Adha, kepala hewan kurban harus diserahkan di bawah beringin.
"Beruntung mereka tidak meminta nyawa warga sebagai tumbal!" Begitu jawaban yang diliputi amarah dari salah satu mereka saat Pak Ibrahim mencoba mengingatkan.
"Lagian, beringin ini tumbuh pasti izin Allah. Tentu yang menjaga juga karena diizinkan Allah. Kita cuma berterima kasih dengan memberi kepala hewan kurban, biar dia juga nyaman menjaga kita. Toh, kita tetap shalat, puasa, juga yang lain," bela yang lain sinis.
"Yang menjaga kita hanya Allah Ta'ala. Ingat, setan itu adalah senyata-nyatanya musuh kita," seru Pak Ibrahim lebih lantang. Dia membacakan penggalan surah Al-An’am syat 142, “ … Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
Dengkuran halus membuyarkan ingatanku akan kejadian sebulan yang lalu. Puncak memanasnya hubungan Pak Ibrahim dengan penduduk yang melakukan syirik di bawah pohon beringin kembar itu. Berakhir dengan terbakarnya beliau semalam.
Wajah bulat dengan pahatan yang sempurna itu tampak begitu letih. Aku baru ingat, tidak ada setetespun air mata yang jatuh dari mata Noni sejak tadi malam. Hanya istighfar yang sering bibir tipis itu lontarkan.
◆◆◆
Enam bulan berlalu setelah kejadian mencekam itu. Pelaku sudah mendekam di penjara. Sementara, Noni dan Ismail sudah kembali menghuni rumah barunya yang dibangun secara bergotong royong oleh warga.
Untuk kebutuhan sehari-hari, Noni membuat kue-kue kecil yang diletakkan di warung-warung. Kadang, dia menerima pesanan kue dari tetangga. Gadis itu begitu tegar menjalani hari berdua dengan sang adik. Namun, ada saat Ismail ingat pada papanya, seperti saat ini. Dia meraung-raung ingin bertemu papa, rindu sekali, katanya.
Noni menggendong Ismail menenangkan. Dia membujuk bermain ini dan itu, mengajak membuat donat kesukaannya. Namun, sepertinya rindu benar-benar sedang menancap di hati anak laki-laki itu. Sekian menit berlalu, pada akhirnya Ismail tertidur di gendongan Noni.
"Papa ... aku bangga menjadi anaknya." Noni memandang jauh ke angkasa seraya tersenyum kecil. Kami sedang duduk di teras rumahnya. Mata itu, hingga saat ini tidak pernah tampak menangis, sekalipun hanya sembab.
"Kamu, juga sudah seperti bunda Hajar, Non. Begitu kuat dan ikhlas melewati qadarullah ini," ucapku tersenyum haru padanya.
"Oh ya? Hmm ... belum menurutku," Noni menunjuk dengan dagunya seorang pemuda yang baru saja lewat di depan rumah.
"Sebelum aku menjadi istri ke dua Ibrahim," lanjutnya dengan mata usil yang sangat terlihat.
"Heh? Istighfar, Noni ...." Aku meraup wajah tirus itu, gemas.
"Canda, canda." Derai tawa yang dikeluarkannya sore ini sedikit melegakan hati.
Enam bulan bukan waktu yang sebentar untuk mengobati hati yang kehilangan. Mungkin, jika aku di posisi Noni, sampai saat ini akan masih mengeluarkan air mata.
Tidak pernah sekalipun Noni mengharap bantuan orang saat keadaannya begitu sulit setelah beberapa waktu meninggalnya sang papa. Tidak juga ada rasa marah di hatinya setelah musibah yang bertubi-tubi.
"Kalau aku marah, bukankah tibanya arah emosiku pada Allah? Mana berani aku."
Begitu jawaban cerdas Noni saat kutanya apa dia tidak ada merasa kesal atau marah? Pertanyaan yang lucu sebenarnya, tapi aku penasaran mengapa gadis itu tidak mau bercerita semua yang dirasakannya.
"Tempat mengadu paling nyaman itu ada di atas sajadah, kamu pasti lebih tahu."
◆◆◆
Namanya, Fatimah Noni Hajar. Nama Islam yang diperolehnya setelah bersyahadat satu setengah tahun yang lalu, satu hari setelah Idul Adha. Perbedaan agama di antara orang tuanya, menjadikan Noni dan Ismail dulunya acuh terhadap agama. Sementara Pak Ibrahim, mungkin, beliau belum tergerak hatinya untuk mengajak anak-anaknya mendalami Islam hingga sang istri mengembuskan napas terakhir.
Pak Ibrahim membawa Noni dan Ismail kembali ke kampung halamannya, menempati rumah masa kecilnya yang sudah lama ditinggal. Dulunya, Noni adalah gadis yang tidak mengenal Islam sama sekali. Setahun belajar agama, menjadikannya seorang perempuan yang tegar dan tawakal, seperti impiannya menjadi seorang Siti Hajar zaman sekarang. Tentunya, atas izin Allah Azza wa Jalla.
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku