Vinda, gadis kota yang berperawakkan tinggi dengan tubuh melebihi langsing. Jangan bilang kurus, dia tidak menyukainya. Sederhana, tidak cantik tapi manis, begitu orang banyak bilang.
Terlahir di kota besar tidak mempengaruhi sikapnya yang polos. Selain karena mempunyai tampang yang pas-pasan, Vinda memang sedikit pemilih terhadap laki-laki. Jangan salahkan Vinda, hatinya yang menginginkan demikian.
Gadis berambut ikal ini cenderung menyukai lelaki yang memang memiliki paras rupawan. Sayangnya semasa sekolah berseragam, laki-laki impiannya tidak sekalipun melirik pada Vinda. Sebaliknya, yang banyak menggoda gadis pemalu itu malahan mereka yang ingin dijauhinya.
Sombong? Tidak. Vinda hanya menginginkan yang enak dipandang. Pada akhirnya dia menang banyak saat duduk di bangku perkuliahan. Seiring berjalannya waktu, wajah yang dulu pas-pasan, kini terlihat matang.
Betapa mekarnya hati gadis berusia akhir belasan itu. Beberapa laki-laki berwajah tampan sekaligus mendekatinya. Semua ajakkan diladeninya, tidak lupa Vinda mengajak teman-temannya.
Tidak ada yang berubah pada diri Vinda. Masih sederhana, polos, dan masih 'datar'. Sederhana tanpa lukisan apapun di wajah manisnya. Mau tahu salah satu sikap polos gadis ini? Ketika dia diajak jalan oleh seorang laki-laki, Vinda mengajak teman-temannya.
"Gak rame, gak seru." Begitu jawabannya saat teman lelakinya tercengang melihat kedatangan Vinda bersama teman-temannya. Semua orang pasti mengerti jika seorang laki-laki mengajak 'jalan', tapi arti jalan bagi Vinda adalah jalan-jalan.
Sikap ramah dan mudah senyumnyalah yang mengalihkan dunia sekitarnya. Cantik dengan caranya sendiri.
Setelah Vinda mendapatkan nasihat dari beberapa teman, barulah dia mengerti. Mencoba mengikuti keinginan laki-laki yang walaupun dari desa, tapi memiliki wajah menarik. Makan di kafe. Duduk di pinggir pantai. Malam mingguan. Karaokean. Nge-mall. Semuanya tidak ada yang menarik bagi Vinda.
Membosankan. Batinnya.
Ada hal yang membuat Vinda terkejut juga tercengang. Mereka yang dari desa--menurut pemikiran Vinda--itu tidak macam-macam. Nyatanya, cerita mereka selalu dibumbui dengan kontak fisik. Situasi yang semakin membuat Vinda risih. Terakhir kali saat jalan dengan salah satu laki-laki tersebut, pembicaraan mereka semakin membuat Vinda tidak mengerti.
Besoknya gadis berkulit kuning langsat itu pun bertanya pada sahabatnya, "lingeri itu apa?" tanyanya dengan wajah yang super polos.
Para sahabatnya langsung melihat ke kiri dan ke kanan, was-was ada yang mendengar. "Serius kamu gak tau?" tanya Mela salah satu dari sahabat Vinda.
Vinda menggeleng dengan alis terangkat dan mata yang sedikit membola. Teman-temannya pun menepuk jidat. Mereka memberikan jawaban dengan memperlihatkan gambar yang telah dicari di internet.
Vinda pun ber-ooh setelah mengetahuinya. "Terus, kalau ML?" tanyanya lagi masih dengan tampang polos.
Semua mata teman-temannya sontak melotot. "Ish, Vin! Kok nanya yang begituan, sih?" Nia yang menyenggol bahu Vinda.
Mereka tidak habis pikir, seorang gadis yang lahir dan besar di kota tidak mengenal hal-hal demikian. Memang sih, sesuatu hal yang harusnya belum mereka ketahui. Namun zaman sekarang rasanya aneh jika seusia mereka tidak tahu sama sekali sekalipun masih tabu.
Mela pun membisikkan kepanjangan yang ditanya Vinda. Dahi gadis penyuka bakso itu semakin berkerut pertanda dia sama sekali tidak mengerti.
"Gak tau juga?" tanya Mela.
Kembali gadis yang duduk tepat di sebelah Vinda itu berbisik. Kali ini sedikit lebih lama. Beberapa detik setelahnya Vinda merasa mual.
Satu hal yang disadari Vinda, laki-laki berparas rupawan tidak menjamin memiliki sikap yang menawan.
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku