Semua mata terpana melihat kedatangan kami. Ada yang terang-terangan menatap, ada juga yang hanya melirik tapi kuyakin begitu besar keingin-tahuannya. Kepo kata anak-anak sekarang.
Jauh hari semenjak kumemutuskan hadir di acara reuni akbar kampus oren kali ini, mental telah kupersiapkan. Sebenarnya aku tidak terlalu ambil pusing, aku lebih mengkhawatirkan hati yang jemarinya sedang kugenggam. Istriku.
"Wuesss ... Kapten kita akhirnya hadir,"
Sapaan yang melengking dari arah barat menghentikan langkah kami. Kuarahkan langkah ke sekumpulan lelaki dewasa dan juga beberapa perempuan seangkatanku. Terpaksa Dezia kubawa menemui mereka. Tadinya perempuan yang kusunting delapan tahun yang lalu ini akan kuantar ke tempat berkumpulnya teman-teman dia.
"Apa kabar, Bro. Sibuk banget sampai gak pernah ngumpul lagi." Tangan Rizal kusambut erat. Ada sepercik rasa rindu untuk mereka.
Bagaimana tidak. Hampir empat tahun suka duka kuliah kami lewati. Saat senang, sakit, bahkan terpuruk, yang keluarga di kampung saja tidak mengetahuinya.
Satu per satu tangan mereka kusambut semringah, bahkan membenturkan dada ala anak muda. Kemudian aku hanya menungkupkan tangan di dada saat teman perempuan mengulurkan tangannya.
"Gak mahram, Sin!" sorak Anto diikuti riuhnya sorakkan yang lain. Hanya kubalas senyuman kecil. Kulirik Zia, sepertinya dia cukup tenang menghadapi situasi ini.
"Ini masih Dezia 'kan?" tanya Rizal yang masih juara vokalnya dari dulu.
Zia hanya mengangguk samar. Kueratkan genggaman. "Gue yakin queen elka makin cantik makanya ditutupi begini," ujar Rizal dengan tatapan yang jelas menelanjangi Dezia.
Hal ini yang membuat kuenggan menghadiri reuni. Mata mereka akan lebih tajam ke arah Dezia. Manusia seperti mereka akan lebih penasaran pada perempuan berniqab dari pada yang jelas-jelas terbuka. Kehadiran kami kali ini ingin menegaskan bahwa kami hadir untuk pertama dan terakhir kalinya, tapi akan tetap menjaga tali silaturrahim.
"Gue antar Dezia ke teman-temannya dulu," izinku pada mereka.
"Ke sana dulu ya, Kak, Bang," pamit wanitaku dengan suara yang cukup lantang.
"Ajiiib ... suaranya mendayu banget." Entah siapa yang bersorak tapi dadaku mulai panas.
"Kenapa pake suara pula, ngangguk aja cukup tadi." Tanpa sadar aku malah memarahi Zia. "Bertemu teman-temanmu cukup sepuluh menit. Abis itu kita pulang," tegasku. Dezia hanya diam.
Aku dan Dezia sama-sama menempuh strata satu di fakultas yang sama, tapi beda jurusan. Dulu aku dikenal sebagai kapten, tidak ada yang tidak mengenalku di fakultas oren, apalagi jurusan yang didominasi kaum hawa.
Jangan tanya perlaku seorang Gema dulu. Aku bahkan terlalu takut untuk mengingatnya. Berbeda denganku, Dezia cewek yang kalem tapi cukup terkenal di kalangan cowok berandal seperti kami.
Dia tidak cantik tapi memikat.
Bertemu Zia kami seperti menemukan sesuatu yang baru. Jika selama ini kami merasa puas dengan yang terang-terangan, ternyata rasa puas dikalahkan dengan rasa penasaran. Sebegitu culasnya makhluk yang ditangguhkan Allah untuk membawa manusia ke jalan yang sesat.
Dulu Dezia berpenampilan seperti cewek umumnya. Berjilbab mini tapi tidak mencolok. Berdandan tapi tidak menor, minimalis. Ramah, mudah tersenyum. Jika kebanyakkan mahasiswi memakai celana, dia memilih memakai rok atau gamis yang modis.
Ingatan lamaku terhenti saat sampai di tempat Rizal dan kawan-kawan tadi. Lalu cukup terkejut saat Sinta berdiri mendekat.
"Lo, gak kangen gue?" tanyanya dengan gaya yang sangat jelas menggoda. Lalu terdengar suit-suitan.
"Sinta mau tuh, jadi yang ke dua," sahut Anto diiringi tawa yang lain.
Aku tak berniat membalas. Tawa cemooh di sekitar terhenti mendengar suara gaduh dari arah kelompok jurusan Zia. Semua mata mengarahkan ke tempat aku mengantar Dezia tadi. Perasaanku semakin tidak enak.
Aku berlari ke arah keributan, disusul yang lain. Saat tiba di tempat Dezia, perempuan itu sedang melayangkan tinjunya ke seorang laki-laki yang terlihat mabuk.
Astaghfirullah.
Aku tak yakin tinju seorang Dezia bisa kuat tapi cukup membuat laki-laki itu terhuyung dan mengaduh. Segera kutarik Zia dan mendekapnya. Matanya berair, entah apa yang terjadi tadi. Aku menyesal meninggalkannya.
Tanpa pamit aku menarik Dezia keluar dari aula reuni. Benar kata para ustadz, berkumpullah dengan orang-orang sholeh. Jauhi perkumpulan yang tidak ada manfaatnya.
Cukup sekali ini saja.
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku