Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus.
Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana.
Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya.
"Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi.
Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu.
Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Degupannya semenjak berangkat dari rumah hingga detik ini, aku seperti lupa itu jantung atau genderang.
Istighfar dan zikirlah kuperbanyak untuk menenangkan hati. Harusnya tidak seperti ini, toh yang akan kutemui jugalah ciptaan-Nya, sama denganku. Tatapan mata kucoba acuhkan. Ucapan bibir kusenyumi saja.
Tidak sekalipun Bang Gema melepas tautan tangannya. Saat aku bertemu teman sejurusan dan dia harus kembali ke tempat teman-temannya, barulah tanganku dilepas.
"Sepuluh menit lagi kita pulang," tegasnya. Kujawab hanya dengan anggukan dan senyum yang mengartikan bahwa semua akan baik-baik saja. Aku yakin Abang menangkap maksud senyumku meski hanya mataku yang terlihat melengkung.
Qadarullah, baru saja beberapa menit Abang meninggalkanku, sebuah tangan yang cukup kekar menarik niqabku. Beruntung ikatannya cukup erat, hingga hanya hidungku yang tampak.
Beberapa teman perempuan mencoba melindungiku. Sedangkan pelaku tadi dipegangi beberapa teman laki-laki. Mereka masih peduli meski tampilanku bukan lagi seperti dulu. Terima kasih. Ternyata kita masih seperti dulu.
Aku mendekati laki-laki yang tampak sedikit teler itu. Mabuk kurasa. Hatiku yang diliputi rasa amarah membuatku hilang kendali. Satu tinju sekuat tenaga kuhadiahkan padanya. Setelahnya aku ditarik dan dipeluk oleh Bang Gema.
Tanpa pamit kami meninggalkan perkumpulan tersebut. Benar kata para ustadz, berkumpullah bersama orang-orang sholeh. Jauhi yang tidak bermanfaat untuk akhirat.
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku