Langsung ke konten utama

Hei

 Ini tentang kita.

Tentang persahabatan yang pernah terjalin.

Tentang aku yang (merasa) tetap di sini, dan kamu yang (merasa) tetap di sana.

Nyatanya ... kita saling menjauh.

Tentunya aku berpikir menurut rasa dan pikiranku.

Entah karena kau telah memiliki teman yang lebih baik.

Yang lebih banyak menghadirkan tawa diwaktumu saat ini.

Atau karena nasihatku tentangmu.

Atau ....

Aku tak ingin menerka-nerka.

Mungkin juga karena jarak yang memisahkan kita.

Atau kesibukkan kita masing-masing.

Aku masih saja berpikir kenapa. Sedangkan kenapa itu terjadi hanya Tuhan yang mengetahui.

Padahal kita masih bisa saling bertukar cerita.

Cerita apapun.

Padahal kita bisa saja saling bertanya kabar.

Kabar siapa dan apapun.

Seperti dulu.

Baru saja beberapa langkah saling menjauh, hp kita saling berdering.

Saat itu jua, aku dan kamu saling tersenyum. Bahkan tertawa.

Aku tak pernah melihat, tetapi bukankah memang kau tersenyum di seberang sana? Setelah mengirimiku pesan atau menerima smsku?

Karena aku demikian.

Padahal beberapa jam telah kita lewati bersama.

Seolah hati tak ingin berpisah.

Seakan ingin selalu bercerita tentang kamu, aku, mereka, semua.

Dan ... cerita itu selalu mengalir.

Kemudian tetap selalu ada.

Lihat, betapa kuat romantika kita dalam berteman.

Dulu.

Kini, cerita itu lenyap ditelan waktu.

Ah, aku tak ingin menyalahkan sang waktu.

Ingin menyalahkan diri sendiri, pun tak mau, apalagi dirimu.

Kita seakan sekadar teman. Teman ala kadarnya.

Kadang aku iri pada mereka yang hingga kini masih seperti dulu.

Tak ada yang berganti meski tubuh telah berubah.

Tak ada yang hilang meski keluarga bertambah.

Kenapa kita tidak demikian?

Kenapa cerita itu bisa habis padahal belum tamat.

Tidakkah kau merindukanku?

Aku iya.

Aku merindukanmu.

Canda tawa kita.

Ketahuilah. Aku masih seperti yang dulu.

(Jangan samakan dengan seperti yang dulunya Ungu).

Aish ... bahkan saat menulis ini, kegilaan kita yang dulu masih terasa.

Aku hanya meninggalkan yang memang harus ditinggalkan menurut agama kita.

Namun jiwaku, diriku, masih seperti sahabatmu yang dulu.

Aku tak berubah karena aku bukan power ranger.

Jadi, dapatkah kita memulainya lagi? Tidak mulai dari awal tapi dari sini.

Hingga nanti.

Komentar

  1. Ga nyangka tulisan Ezi udah nambah sebanyak ini... Aku terpaksa scrolling jauuuuuuuuuh banget buat nemu tulisan CLBK. Hahaha....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kenapa gak search aja sih? Lagian yg hasil editing udah kumasukkan k gdrive 😄

      Hapus

Posting Komentar

Komentar darimu membangun Imajinasiku

Postingan populer dari blog ini

Reuni (POV Dezia)

Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus. Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana. Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi. Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu. Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Deg

Terdiamnya Sang Ayah

Mumpung Uda di rumah, mata juga terasa berat, Hasyim pun sedang enteng bermain bersama kakak sepupu, Nasywa. Saat mata mulai melemah, terdengar rengekan Hasyim pada Ayah. Ternyata nak Bujang mau minum, tapi si Ayah malas banget terdengar untuk ambil ke belakang. "Kakak, tolong ambil minum Hasyim, ya," "Ya, Om." Terdengar Hasyim protes, "Ndak, Cim ja." "Oh, Hasyim aja, Kak. Temani ya, Kak." Terdengar lagi respon si ayah. "Ya, Om," jawab Kakak lagi. Ternyata Hasyim masih protes, "Ndak temankan Kakak, Cim ndili." "O Hasyim sendiri aja, Kak." Tidak lagi terdengar jawaban si Kakak. Mungkin bingung. "Cim yang ambil ndili. Ayah yang temankan," lanjut Hasyim dengan suara merengek pada Ayah. Setelahnya terdengar suara langkah kaki ke arah belakang. Di lain hari. Hasyim tampak bosan dengan mainannya, mendekat pada ayah yang sedang bermain hp. "Li tue kita, Yah," ucapnya lemah sambil memanjat ke pangkuan san

Aku dan KLIP

Tahun lalu aku mengenal Kelas Literasi Ibu Profesional, gabung ke grup facebook tapi tidak ikut menulis. Tidak mengerti caranya, pun kurang niat yang kuat kayaknya. Hehehe. Sekian bulan berlalu dari Januari, aku masih memantau FBG KLIP. Masih belum mengerti dan juga masih tidak mencari tahu lebih dalam. Hahaha. Akhir tahun, melihat penerimaan rapor. Lalu ada postingan pengumuman untuk KLIP tahun ini, membaca dengan semangat semua komen. Barulah tahu caranya. Jadi ingat, tahun lalu KLIP-kah namanya? Rasanya ... KLIP pernah pindah FBG, ya? Semangat menulis di Januari. Niat mendapat badge you're outstanding, tapi terhalang kesibukkan membersamai anak. Alhamdulillah masih bisa mendapat badge you're excellent. Badge tersebut bertahan hingga bulan Aprik apa Mei, ya? Jelasnya Juni aku hampir menyerah tidak mendapatkan badge. Alhamdulillah masih bisa terkejar. Puncaknya Juli, semua ide seperti menguap begitu saja. Hilang. Tidak setor sama sekali. Aku takut akan dikeluarkan dari WAG. Ak