Silahkan baca ini dulu → Kembali ke Jakarta oleh Mbak Dewi Indah Sari
π«π«π«
Mata yang tadi masih terasa mengantuk, seketika membola menyadari Keysha, teman duduk di sebelah, tidak lagi di tempatnya. Jantung terasa berdetak semakin cepat seperti laju kereta api yang semakin kencang. Benar saja, saat aku melihat ke kabin atas, ransel itu lenyap.
Sial. Kenapa aku jadi begitu mudah percaya pada orang baru dikenal? Terbayang wajah cantik berbingkai senyum menawan itu. Sedikitpun tidak ada rupa yang menggoda apalagi menipu.
Aku menghubungi Dika, sekretaris yang serba bisa. Menceritakan yang baru saja terjadi. Lalu, meminta tolong untuk meng-handle kantor untuk hari ini.
"Udah gue bilang, kan. Sok-sokan segala mau naik transportasi umum. Merakyat, sih merakyat, tapi gak bawa uang banyak juga kale. Nambahin kerjaan gue 'kan lo sekarang?"
Aku sudah menebak jawabannya, penuh nyinyiran dan nasihat yang sebenarnya sudah kuhafal. Memang, sekarang bisa apa? Selain menunggu kereta sampai ke tujuan terakhir. Tentu hal ini akan sampai ke pihak berwajib, mengingat kertas-kertas penting yang akan diserahkan ke pihak hotel.
Hmm ... sepertinya aku bisa menangani ini sendiri. Kubuka dompet berwarna pastel yang tidak begitu tebal. Dua lembar berwarna merah, satu lembar berwarna biru, kartu ATM, kartu mahasiswa, KTP, kartu-kartu bonus belanja, dan selembar foto close up dengan gaya yang menggoda.
Tidak ada maksud untuk mengambil dompet Keysha. Saat dia melewatiku hendak ke kamar kecil, tas kecilnya terbuka dan dompet itu menyembul sedikit. Lalu terjatuh setelah dia melewatiku. Setelahnya, aku lupa mengembalikan dompet itu. Sejak awal, aku selalu merasa hilang akal berada di dekatnya.
Begitu sampai di stasiun Tugu, aku langsung memesan tiket kembali ke Jakarta. Tunggu aku. Aku akan menemukanmu.
Jika semalam waktu terasa begitu cepat berlalu, kali ini terasa amat lambat.
Begitu sampai di Jakarta, aku sedikit bingung harus memulai dari mana. Aku memperhatikan keadaan sekeliling, lalu menghampiri salah seorang petugas KAI yang sedang menjawab pertanyaan dari calon penumpang. Memperlihatkan foto Keysha, dan bertanya apa dia pernah melihat perempuan di foto itu.
"Kena copet, ya Mas?"
Aku mengangkat kedua alis pertanda tidak mengerti maksud Bapak tersebut. Sekilas melihat ke arah name tag di bajunya.
"Hampir semua petugas di sini tahu bagaimana lihai tangannya," lanjut petugas yang bernama Deny tersebut.
"Bapak tahu, di mana saya bisa menemuinya?" tanyaku lagi.
"Coba tanya ke kumpulan preman di luar, Mas. Mereka mengenal Keke."
Aku berlari kecil ke arah luar stasiun setelah mengucap terima kasih pada Pak Deny. Terlihat segerombolan preman di arah selatan stasiun. Sedikit ragu menghampiri mereka, karena dipastikan pertanyaanku tidak akan dijawab lancar oleh mereka.
"Mau ngapain sama Keke?"
Benar 'kan? Satu yang balik nanya, semua kepala menatapku garang.
Butuh waktu lebih kurang 30 menit membujuk mereka. Semua selesai dengan sekian rupiah, kudapati tempat persembunyian perempuan licik itu.
Kudatangi sebuah rumah yang berbeda dengan alamat di KTP. Rumah petak kecil tanpa pekarangan, di sebuah gang tidak jauh dari stasiun.
Tepat saat mataku menangkap ciri-ciri rumah yang diberikan salah satu preman tadi, keluar sosok yang kucari. Dia begitu terkejut melihatku berdiri tidak jauh dari tempat persembunyiannya.
Rumah tanpa pembatas apapun itu memudahkannya untuk melarikan diri. Sekalipun aku berteriak agar mendengar penjelasanku terlebih dulu, tapi tubuh langsing dengan ransel besar di punggung itu tetap berlari.
Hingga tidak jauh dari tempat berkumpul preman tadi, Keysha jatuh terjerembap, tapi masih bisa mengendalikan tubuhnya untuk langsung berdiri. Sepertinya dia kewalahan membawa ransel itu. Tampak dari nafasnya yang tersengal-sengal, juga peluh yang membanjiri wajah hingga leher jenjangnya. Aku baru sadar, kalau dia masih memakai hoodie yang sama dengan semalam.
"Jangan mendekat! Atau gue teriak!"
Bukannya dia bicara seperti itu sudah dinamakan berteriak? Aksinya mulai memancing perhatian orang-orang, demikian juga dengan para preman tadi. Mereka mulai mendatangi kami.
"Bang, tolongin gue. Dia mau bawa gue ke kantor polisi," tukas Keysha mengiba ketika dihampiri salah seorang preman. Dia kepala preman di stasiun, biasa dipanggil Kacak.
"Ck! Keke ... Keke. Lo kalau udah punya tunangan kaya, ganteng kayak Aldy, jangan pake ngambek-ngambek segala. Yang rugi itu elo! Masih untung dia mau ngejar lo sampe Jakarta. Udah, sana!"
Bang Kacak menarik lengan Keysha, dan langsung menyerahkan ke tanganku. "Pegang! Jangan sampai lepas lagi. Kalau kawin jangan lupa undang gue, juga pajak kawinnya."
Sepeninggal Bang Kacak juga teman-temannya, wajah Keysha masih tampak begitu kebingungan. Menggemaskan bagiku.
"Mau diselesaikan di kantor polisi--"
"Apanya yang mau diselesaikan di kantor polisi? Yang ada lo nipu gue, trus copet dompet gue!" ucapnya penuh emosi.
Aku tersenyum kecil. "Itu kertas-kertas di dalam ransel, kalau diserahkan ke pihak hotel Yogyakarta akan jadi uang. Yang benar saja saya harus jujur bilang bawa uang sekian ratus juta ke orang yang baru dikenal," jawabku santai tanpa melepas genggaman tangannya.
"Trus, dompet gue mana? Gaya aja pemilik hotel, ternyata bisa nyopet juga," gerutunya semakin kesal.
Aku memperlihatkan dompet pastel itu tepat di wajahnya, tetapi cepat menarik kembali saat tangannya yang bebas ingin merebut. "Isinya masih utuh. Dompet Mbak jatuh pas Mbak Keke mau ke kamar kecil, tapi lupa saya kembalikan," jelasku.
"Modus!" sewotnya lagi. "Itu apaan lagi, bilang-bilang tunangan."
Senyumku mekar tanpa bisa ditahan. "Ya sudah. Sekarang Mbak Keke mau diselesaikan dengan pihak berwajib atau di kantor urusan agams?"
Dan mata dengan bulu lentik itu membola menatapku. ali ke Jakarta oleh Mbak Dewi Indah Sari
π«π«π«
Mata yang tadi masih terasa mengantuk, seketika membola menyadari Keysha, teman duduk di sebelah, tidak lagi di tempatnya. Jantung terasa berdetak semakin cepat seperti laju kereta api yang semakin kencang. Benar saja, saat aku melihat ke kabin atas, ransel itu lenyap.
Sial. Kenapa aku jadi begitu mudah percaya pada orang baru dikenal? Terbayang wajah cantik berbingkai senyum menawan itu. Sedikitpun tidak ada rupa yang menggoda apalagi menipu.
Aku menghubungi Dika, sekretaris yang serba bisa. Menceritakan yang baru saja terjadi. Lalu, meminta tolong untuk meng-handle kantor untuk hari ini.
"Udah gue bilang, kan. Sok-sokan segala mau naik transportasi umum. Merakyat, sih merakyat, tapi gak bawa uang banyak juga kale. Nambahin kerjaan gue 'kan lo sekarang?"
Aku sudah menebak jawabannya, penuh nyinyiran dan nasihat yang sebenarnya sudah kuhafal. Memang, sekarang bisa apa? Selain menunggu kereta sampai ke tujuan terakhir. Tentu hal ini akan sampai ke pihak berwajib, mengingat kertas-kertas penting yang akan diserahkan ke pihak hotel.
Hmm ... sepertinya aku bisa menangani ini sendiri. Kubuka dompet berwarna pastel yang tidak begitu tebal. Dua lembar berwarna merah, satu lembar berwarna biru, kartu ATM, kartu mahasiswa, KTP, kartu-kartu bonus belanja, dan selembar foto close up dengan gaya yang menggoda.
Tidak ada maksud untuk mengambil dompet Keysha. Saat dia melewatiku hendak ke kamar kecil, tas kecilnya terbuka dan dompet itu menyembul sedikit. Lalu terjatuh setelah dia melewatiku. Setelahnya, aku lupa mengembalikan dompet itu. Sejak awal, aku selalu merasa hilang akal berada di dekatnya.
Begitu sampai di stasiun Tugu, aku langsung memesan tiket kembali ke Jakarta. Tunggu aku. Aku akan menemukanmu.
Jika semalam waktu terasa begitu cepat berlalu, kali ini terasa amat lambat.
Begitu sampai di Jakarta, aku sedikit bingung harus memulai dari mana. Aku memperhatikan keadaan sekeliling, lalu menghampiri salah seorang petugas KAI yang sedang menjawab pertanyaan dari calon penumpang. Memperlihatkan foto Keysha, dan bertanya apa dia pernah melihat perempuan di foto itu.
"Kena copet, ya Mas?"
Aku mengangkat kedua alis pertanda tidak mengerti maksud Bapak tersebut. Sekilas melihat ke arah name tag di bajunya.
"Hampir semua petugas di sini tahu bagaimana lihai tangannya," lanjut petugas yang bernama Deny tersebut.
"Bapak tahu, di mana saya bisa menemuinya?" tanyaku lagi.
"Coba tanya ke kumpulan preman di luar, Mas. Mereka mengenal Keke."
Aku berlari kecil ke arah luar stasiun setelah mengucap terima kasih pada Pak Deny. Terlihat segerombolan preman di arah selatan stasiun. Sedikit ragu menghampiri mereka, karena dipastikan pertanyaanku tidak akan dijawab lancar oleh mereka.
"Mau ngapain sama Keke?"
Benar 'kan? Satu yang balik nanya, semua kepala menatapku garang.
Butuh waktu lebih kurang 30 menit membujuk mereka. Semua selesai dengan sekian rupiah, kudapati tempat persembunyian perempuan licik itu.
Kudatangi sebuah rumah yang berbeda dengan alamat di KTP. Rumah petak kecil tanpa pekarangan, di sebuah gang tidak jauh dari stasiun.
Tepat saat mataku menangkap ciri-ciri rumah yang diberikan salah satu preman tadi, keluar sosok yang kucari. Dia begitu terkejut melihatku berdiri tidak jauh dari tempat persembunyiannya.
Rumah tanpa pembatas apapun itu memudahkannya untuk melarikan diri. Sekalipun aku berteriak agar mendengar penjelasanku terlebih dulu, tapi tubuh langsing dengan ransel besar di punggung itu tetap berlari.
Hingga tidak jauh dari tempat berkumpul preman tadi, Keysha jatuh terjerembap, tapi masih bisa mengendalikan tubuhnya untuk langsung berdiri. Sepertinya dia kewalahan membawa ransel itu. Tampak dari nafasnya yang tersengal-sengal, juga peluh yang membanjiri wajah hingga leher jenjangnya. Aku baru sadar, kalau dia masih memakai hoodie yang sama dengan semalam.
"Jangan mendekat! Atau gue teriak!"
Bukannya dia bicara seperti itu sudah dinamakan berteriak? Aksinya mulai memancing perhatian orang-orang, demikian juga dengan para preman tadi. Mereka mulai mendatangi kami.
"Bang, tolongin gue. Dia mau bawa gue ke kantor polisi," tukas Keysha mengiba ketika dihampiri salah seorang preman. Dia kepala preman di stasiun, biasa dipanggil Kacak.
"Ck! Keke ... Keke. Lo kalau udah punya tunangan kaya, ganteng kayak Aldy, jangan pake ngambek-ngambek segala. Yang rugi itu elo! Masih untung dia mau ngejar lo sampe Jakarta. Udah, sana!"
Bang Kacak menarik lengan Keysha, dan langsung menyerahkan ke tanganku. "Pegang! Jangan sampai lepas lagi. Kalau kawin jangan lupa undang gue, juga pajak kawinnya."
Sepeninggal Bang Kacak juga teman-temannya, wajah Keysha masih tampak begitu kebingungan. Menggemaskan bagiku.
"Mau diselesaikan di kantor polisi--"
"Apanya yang mau diselesaikan di kantor polisi? Yang ada lo nipu gue, trus copet dompet gue!" ucapnya penuh emosi.
Aku tersenyum kecil. "Itu kertas-kertas di dalam ransel, kalau diserahkan ke pihak hotel Yogyakarta akan jadi uang. Yang benar saja saya harus jujur bilang bawa uang sekian ratus juta ke orang yang baru dikenal," jawabku santai tanpa melepas genggaman tangannya.
"Trus, dompet gue mana? Gaya aja pemilik hotel, ternyata bisa nyopet juga," gerutunya semakin kesal.
Aku memperlihatkan dompet pastel itu tepat di wajahnya, tetapi cepat menarik kembali saat tangannya yang bebas ingin merebut. "Isinya masih utuh. Dompet Mbak jatuh pas Mbak Keke mau ke kamar kecil, tapi lupa saya kembalikan," jelasku.
"Modus!" sewotnya lagi. "Itu apaan lagi, bilang-bilang tunangan."
Senyumku mekar tanpa bisa ditahan. "Ya sudah. Sekarang Mbak Keke mau diselesaikan dengan pihak berwajib atau di kantor urusan agams?"
Dan mata dengan bulu lentik itu membola menatapku.
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku