Geng putih mengkilap tadi tampak begitu terkejut, tampang yang tadi jutek, sombong, seketika ciut melihat kedatangan Diky, cowok yang baru saja mereka bicarakan. Sedangkan Qia, tidak ada yang berubah dari wajahnya, tetap polos.
"Eh, Ky," cengirnya. "Gak ada apa-apa, kok. Cuma kenalan sama junior aja, ya gak Gaes?" jawab Berlian meminta dukungan pada teman-temannya.
Serempak mereka mengangguk-angguk centil yang membuat Qia dan Gita merotasi bola matanya.
"Permisi ya, Kakak-kakak. Kami harus masuk kelas."
Tanpa menunggu jawaban dari para senior itu, Qia menarik tangan Gita. Memang, bel masuk menandakan jam istirahat telah selesai sudah berbunyi.
"Gak sopan," oceh Berlian sesaat setelah Qia pergi. Namun, saat akan beralih ke Diky, cowok itu memilih mengikuti Qia. "Eh, Ky, mau ke mana?" Jari lentiknya menahan langkah Diky.
"Bukan mahram!" hentak Diky dingin ke Berlian.
"Sok alim. Tapi masih pengen dekat-dekat cewek," ujar salah satu teman geng Berlian yang mendapat balasan mata melotot Ketua gengnya.
◆◆◆
"Kalau gak ikut MOS, gimana Kak?" Pagi ini, Qiara tampak lesu, tak bersemangat untuk ke sekolah.
"Ya ... palingan dapat tambahan hukuman. Apalagi, kamu yang udah dicap oleh Ketos." Suaranya dibuat-buat horor oleh Ari.
"Emang, kenapa?" tanya Ira, si Sulung.
"Ada yang naksir dia, tuh Kak."
"Ketos, bukannya Diky?"
"Iyap."
"Lha, kenapa baru sekarang?"
"Maksud Kakak?"
"Dia gak kenal Qia gitu?"
"Mana pernah dia ketemu Qia, Kak. Kalaupun Qia ada di rumah, ya aku suruh masuk kamar kalau ada bawa teman."
"Oh iya, ya. Trus?"
Qia hanya mendengar tanya jawab diantara dua kakaknya. Cerita Ari begitu lengkap membuat bibit Qia makin mengerucut, berbalik dengan bibir Ira yang melengkung.
"Siap mempraktikkan dakwah langsung ke lapangan, Sayang?" tanya Ira mengakhirkan kegiatan sarapan.
◆◆◆
"Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah ...,"
Walau hanya gumaman yang terdengar, tetapi Diky tau, gadis yang sedang mengikuti langkahnya sedang beristighfar. Entah karena apa. Namun, tetap saja dia merasa terganggu, bukan karena kata suci itu tapi ... dia tersinggung, sedikit.
"Lo ngapain istighfar terus?" Diky menghentikan langkahnya tiba-tiba dan langsung menghadap ke belakang.
Qia yang sedang menahan emosi semenjak kakinya memijak tanah sekolah ini, menabrak dada bidang itu, berteriak melengking.
Diky mengusap kasar wajahnya, Qia jongkok menahan tangis. Tidak usah dibayangkan apa yang terjadi selanjutnya. Sudah jelas, semua mata menuduh cowok yang kini mengacak-acak rambutnya sendiri.
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku