Langsung ke konten utama

Mainan

'Tuhan ... hari ini, hamba mohon, lancarkan niat ini, izinkan hamba sedikit menantang abang. Aamiin ....'

Doaku setelah shalat Subuh. Hari ini aku harus bicara serius dengan abang, aku tidak mau dijadikan yang ke dua. Pokoknya dia harus menjadikanku yang pertama, harus! Sekalipun nanti dia akan bicara jutek, sengak dan kawan-kawannya, mentalku sudah siap. Jikapun tidak sanggup, aku punya jurus terakhir yang hanya dimiliki kaum kami, menangis.

Ku lihat abang masih bergelung dalam selimut. 'Kenapa ga pernah peka sih? udah hampir tiap malam bahkan setiap hari dikode ga merasa juga. Maaf ya bang ... kali ini aku ga mau mengalah'.

Lama kupandang sosok yang telah menemaniku hampir delapan tahun ini. Tapi setahun belakangan, semenjak dia punya mainan baru, aku dilupakan. Walaupun aku yakin, dia lebih membutuhkanku.

"Bang ... udah subuh. Tumben aku duluan yang bangun ...."

"Hmm," sejenak dia meregangkan tubuh yang hampir semalam tak bergerak. Kemudian tangannya mulai meraba-raba kasur hingga ke atas nakas.

Aku menyentuh tangannya lembut, "jangan dulu disentuh bang ...." aku menyingkap selimutnya, dan membimbing tangan kekar itu menuju kamar mandi. 'yeah ... awal yang baik'.

Segera setelah pintu kamar mandi tertutup, aku menuju dapur. Mengerjakan yang biasa dikerjakan. Saat terdengar pintu kamar mandi terbuka, aku bergegas kembali ke kamar. Tampak abang akan kembali menyentuh mainannya itu.

"Shalat dulu bang, udah lewat setengah jam itu."

Tangan yang hampir menyentuh sesuatu yang dicarinya saat bangun tadi, terhenti. Sesaat dia memandangku dengan dahi berkerut. Tanpa berkata, laki-laki berjenggot tipis itu segera menuaikan ibadah Subuh.

Aku mengambil tas dan segala perkakas yang akan dibawa ke kantornya, lalu meletakkan di ruang tamu.

"Dek, mana tas dan ...."

"Sudah aku siapkan semua di ruang tamu kok bang. Sarapan dulu yuk," aku menuntunnya menuju meja makan. Sekilas terlihat wajahnya sedikit bingung.

Abang mulai menyendok nasi goreng kesukaannya. Biasanya, tangan kanan menyuap, tangan kiri dan matanya berselancar di benda pipih itu. Kali ini, dengan sedikit paksaan, tangan kirinya yang kosong memainkan gelas.

"Bang, mulai hari ini, tangan kiri abang setiap makan aku genggam ya. Gantian dong, masak menggengam itu terus, enakan genggam tanganku, lembut." aku mulai bermain di tangannya yang lebih lebar dari tanganku.

Dia tertawa kecil, "apaan sih dek. Berangkat dulu ya."

"Oke. Jangan nelfon atau sms lagi nyetir, apalagi balesin chat. Bahaya."

"Iya, cerewet." jawabnya sambil menyubit kecil hidungku.

"Cerewet tanda sayang. Hati-hati ya bang." mencium punggung tangannya. Aku menunggu di depan pintu pagar rumah hingga mobil hilang dari tangkapan mata.

***

Dua puluh menit setelah abang berangkat, aku siap-siap di depan hp. Seperti tebakanku, benda terkenal itu berdering. Dengan tersenyum lebar, aku menjawab telfon dari nomor kantornya.

[Ya bang?]

[Kamu kasih password hp abang buat apa?]

[Biar abang ga main hp waktu nyetir.]

[Kamu tau dari mana abang main hp waktu nyetir. Kamu pasang cctv di mobil?]

[Idih ... keren amat pake cctv. Tadi pagi abang 'kan ga pegang hp, pasti di mobil elus-elus tu hp, ya 'kan?]

[Ga kok, kan kamu kasih password.]

[Kalau ga aku kasih password pasti mainin sambil nyetir 'kan?]

[Duh dek ... Abang nelfon kamu mau tanya apa passwordnya, bukan dengarin tebak-tebakan kamu. Apa passwordnya?]

[Passwordnya]

[Iya apa passwordnya?]

[Itu passwordnya bang,]

[....]

Terdengar nada putus sambungan. Hihihi ... aku tidak peduli kamu mau main hp di luar sana bang, asal tidak didekatku.

***

Sore menjelang. Aku kembali bersiap-siap dengan strategi menjauhkan abang dari benda pipih nan tegang itu. Diri ini terlanjur sebal, lebih sering dia yang dielus dari pada aku. Ternyata benda mati bisa membuat cemburu juga ya.

Tepat saat si abang masuk pintu rumah, aku menyambutnya dengan wajah sumringah dan mengambil semua tentengan di tangannya.

"Tumben,"

"Ga ah, biasa aja. Lapar ga bang?"

"Lumayan. Apa yang bisa dikunyah?" tanyanya sambil merebahkan diri di sofa ruang tengah dan mulai mengeluarkan si apel keras yang sudah digigit itu.

Aku mendengus, memutar otak bagaimana biar abang jauh dari dia. Sambil memindahkan cemilan ke toples dan segelas air mineral, sengaja sedikit batuk-batuk agar abang menoleh. Tapi nihil.

"Bang, istirahat dulu otak dan matanya. Pulang kerja pasti capek 'kan?" ujarku sambil meletakkan yang diambil dari dapur tadi.

"Hmm,"

"Hmm itu bukan jawaban kalau abang lupa."

"Main hp gini refreshing juga kali dek." jawabnya sebelum meneguk setengah gelas air.

"Ngobrol sama aku, main sama anak juga bisa refreshing kali bang." balasku tidak mau kalah.

"Iya bentar. Abis ini juga mau mandi dan maghrib." matanya tidak sedikitpun menoleh padaku. Kesal dan nyaris putus asa, aku sedikit menghentakkan kaki meninggalkan abang yang semakin asik dengan dunianya.

Aku tidak curiga sama sekali kalau dia ada wanita idaman lain, dia terlihat jarang chatting. Lagian perasaanku damai-damai saja, tingkahnya pun tidak mencurigakan. Abang lebih suka baca berita online dan nonton ceramah pengajian, hanya saja sudah keterlaluan, lebih betah bersama benda tak bernyawa dari pada aku dan anaknya.

***

Ditengah kekhusukkanku menghadap Illahi, tiba-tiba terdengar tangisan kecil dari kamar yang pintunya sengaja aku buka lebar. Aku terus melanjutkan shalat Isya yang hampir selesai, namun tangisan itu semakin mengeras hingga terisak-isak. Kekhusukkanku buyar seketika. Segera menyelesaikan shalat, aku berlari ke kamar mengambil Azki yang sudah berderai air mata.

Nafasku terasa memburu, sesak. Mata yang tadi sudah pasrah melihat abang dengan apelnya, terasa panas dan berair. Dengan menahan gemuruh di dada, aku mendekati abang.

Kepalanya mendongak, dengan wajah polos -mungkin karena lama terkena radiasi- dia membela diri sebelum aku bicara, "eh, lagi shalat dek. Abang pikir kamu tidur di sebelahnya."

"Pegangin, aku mau ke kamar mandi." sedikit ketus, aku menyerahkan Azki kepada abang.

"Tapi Azki ga mau sama abang dek," walau dengan wajah kebingungan, abang tetap menerima Azki.

Di kamar mandi aku menangis sejadi-jadinya melepaskan rasa sesak yang sudah dipendam beberapa minggu ini. Aku bukan perempuan yang bisa marah langsung saat emosi merajai, aku tidak pernah menampakkan air mata di depan siapa saja. Aku tak ingin terlihat lemah dan dikasihani.

Sekitar sepuluh menit melepas dan mengatur emosi, setelah membasuh muka dan sedikit mengompres mata, aku kembali ke abang untuk mengambil Azki. Rencana tadi pagi ingin bicara, menguap begitu saja. Tanpa berkata, aku mengambil Azki dari gendongan abang yang ternyata sudah tertidur.

"Bisa tidur juga ternyata di tangan abang," ujarnya sumringah. Namun, karena suasana hati sedang mendung, tidak aku tanggapi.

Sekitar lima menit aku merenung di kamar setelah meletakkan Azki di kasurnya. Keinginan untuk berbicara masih ada, kalau tidak dibicarakan yang ada aku galau terus. Tapi ... ah, yang penting dekati dulu. Bismillah ....

Perlahan aku duduk di sebelahnya. Tidak ada gerakan berarti dari matanya, serius membaca. Aku diam mengamatinya. Sepuluh menit .... Dua puluh menit ... Aku masih bertahan sampai abang menyapa.

Tiga puluh menit ... terdengar benda diletakkan di atas meja. Aku yang tadi menunduk, langsung mengangkat kepala.

"Kenapa dek?" tanyanya dengan wajah mengantuk.

"Tiga puluh menit aku duduk di sini, baru abang sapa."

"Kenapa ga nyapa duluan? Biasa 'kan juga gitu,"

"Nanti dijutekkin lagi karena abang lagi asik membaca." jawabku sedikit manyun.

"Ada saatnya abang ga bisa diganggu, ada saatnya bisa. Santai aja lah," abang merubah posisi duduknya menghadap padaku.

"Kata lainnya tegantung mood abang. Tapi mood baik abang itu selalu kalah kalau sudah terlena dengan dia," aku menunjuk si tersangka dengan dagu.

Abang sedikit tertawa mendengarku, "kayak orang lagi cemburu aja,"

"Iya aku lagi cemburu,"

"Ha? Cemburu? Sama hp?" setengah tidak percaya abang menunjukku dan hp-nya bergantian.

"Iya, aku cemburu sama benda yang ga bernyawa. Sejak abang punya tu apel persegi, abang ga peduli lagi sama Azki apalagi aku."

"Siapa bilang?" tanyanya memotong ucapanku.

"Dengarin dulu, ga boleh interupsi!" susah aku menahan agar nada suara tidak seperti mengadili.

"Oke oke," abang memasang tampang tidak bersalahnya.

"Biasa, sore abang akan main sama Azki sehingga aku bisa ngerjain semuanya. Sekarang, untuk shalat dan mandi aja aku harus tunggu Azki tidur dulu. Ya kalau dia tidur, kalau ga? Aku pernah ga jadi mandi sore dan shalatku terlambat terus. Semua karena abang sibuk dengan hp," perlahan yang meletup-letup di dalam dada mulai berkurang.

"Ya 'kan Azki-nya yang ga mau sama abang," katanya membela diri.

"Ga mau apanya? Sebelum abang punya dia gimana? Tadi bisa 'kan Azki tertidur di tangan abang? Kalau hati ga ikhlas duluan, anak biasanya ga nyaman berada sama kita. Abang jawab dalam hati aja, iya atau benar."

Tidak ada bantahan dari abang.

"Aku ga larang abang main hp, kalau abang senang aku juga senang. Tapi saat ini abang udah keterlaluan, ga boleh diganggu. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, trus waktu abang buat kami kapan?"

"Kadang ada yang penting dek, ga bisa ditinggal,"

"Kadang 'kan bang? Ga setiap saat 'kan? Lagian kalau penting dan mendesak pasti ditelfon." Aku diam sejenak untuk lebih mengontrol emosi. "Aku selalu menahan diri ga pegang hp selama abang di rumah, biar kita punya waktu, biar abang merasa kalau aku menghargai abang."

Sesaat kami saling terdiam, kata-kata yang telah aku susun dari semalam untuk disampaikan pada abang, hilang entah kemana.

"Kalau adek minta tolong, abang 'kan tetap kerjain,"

Aku mendengus mendengar pembelaan dirinya lagi, "aku capek minta tolong terus, tanpa dibilangpun sebenarnya abang bisa ngerjain kalau ga pegang hp. Seperti tadi, Azki sudah terisak-isak abang beneran cuek aja."

"Ya 'kan, tadi abang pikir adek tidur dekat Azki,"

"Sekalipun aku ada dekat Azki kalau dia udah nangis kejer gitu apa abang ga niat liatin? Dulu abang ga secuek ini, dikit aja Azki nangis pasti langsung didekati. Tanpa aku minta tolong pun, abang datang nawarin. Sekarang bahkan aku sering dibentak, padahal cuma ngajak ngobrol. Semua karena abang terlalu asik dengan hp abang."

Perlahan aku menarik nafas panjang, rasa lega memenuhi rongga dada. Walau nafas sedikit sesak menahan emosi agar tidak menangis di depan abang.

"Maafin abang dek," ungkap abang sambil mendekatkan dirinya padaku, "abang ... ga tau ternyata hanya bermain hp bisa membuat kamu galau kayak gini."

"Ga hanya galau bang, nyaris stres aku tuh."

"Jangan dong," abang menggenggam tanganku, "abang salah, terlalu asik dengan hp. Maafin abang ya?" tanyanya lembut.

Mendengar pengakuan dan permintaan maaf abang yang penuh dengan penyesalan, aku yang berencana merajuk hingga besok pagi, tidak bisa tidak tersenyum lega.

"Iya aku maafkan, tapi janji ya, selama di rumah ga main hp terus?"

"Insyaallah, janji." jawabnya sambil tersenyum lebar, "ingatin terus ya dek."

Terkadang, sesuatu yang kita anggap sepele, tidak demikian bagi orang lain. Seperti halnya bermain hp, kita asik dengan dunia maya, padahal yang ada di dunia nyata begitu berarti. Sering kali karena hp juga waktu kita terbuang percuma, padahal waktu tak akan pernah kembali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

.sungai jambu.

apa yang terfikirkan oleh mu jika membaca judul HARAKA kali ini? kelamaan mikirnya, baca aja cerita HARAKA kali ini tentang "Desa ku yang Permai" hahaha... Sungai Jambu adalah sebuah nama nagari di Batu Sangkar. nagari ini terletak di pinggang gunung Marapi [ketinggian ±700 meter dari permukaan laut] , kecamatan Pariangan, Sumatera Barat. nagari yang sungguh menakjubkan, yakin de siapa pun yang pernah ke sana tak akan pernah bosan dengan alamnya, eksotis banget, Subhanallah sangat [terkagum-kagum]. Sungai Jambu termasuk nagari tertua di Sumatera Barat, dialiri oleh 3 batang sungai dan dilatar belakangi oleh Gunung Marapi . bagaimana zee bisa kenal dengan desa ini? jawabannya adalaaaaahh... taraaaaa... [dasar zee stres] itu kampung halaman zee, hehe... di desa ini mama tercinta dilahirkan dan dibesarkan. nah, bagi yang suka narsis, sampe capek silahkan berfutu-futu ria, tak kan pernah puas. zee aja setiap pulkam ga pernah puas berfutu-futu [ntah apa karna futu grafernya y

ku persembahkan untuk...

Alhamdulillahirabbilalamin... akhirnya zii terbebas juga dari kertas-kertas bermasalah [istilah skripsi oleh 2 sobat maya..] mau pamer halaman persembahan ni ceritanya, reading-reading aja yah :) “Dan seandainya semua pohon yang ada dibumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habislah kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.  (QS. Lukman: 27) Alhamdulillahirrabil’alamin Sebuah langkah usai sudah Satu cita telah ku gapai Namun… Itu bukan akhir dari perjalanan Melainkan awal dari satu perjuangan Setulus hatimu mama, searif arahanmu papa Doamu hadirkan keridhaan untukku, petuahmu tuntunkan jalanku Pelukmu berkahi hidupku, diantara perjuangan dan tetesan doa malam mu Dan sebait doa telah merangkul diriku, menuju hari depan yang cerah Kini diriku telah selesai dalam studi sarjana Dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhaan-Mu ya Allah,

Reuni (POV Dezia)

Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus. Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana. Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi. Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu. Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Deg