Langsung ke konten utama

Ayah, Hebat!

Suatu sore yang cerah, Hasyim ditemani Ibu, sedang menunggu Ayah pulang dari kerja. Hasyim dan Ibu, duduk di taman bunga yang tidak jauh dari rumah mereka.

Hasyim sedang sedih, karena Ayah tidak bisa menemani Hasyim bermain sepeda sore ini. Padahal, Ayah sudah janji akan bersepeda dan pergi makan es krim yang besar.

"Hasyim, kecewa, ya?" tanya Ibu.

"Iya, Bu. Ayah ndak sayang Hasyim, ya, Bu?" tanya Hasyim sedih.

"Ayah sayang Hasyim, kok." jawab Ibu sambil tersenyum.

"Kalau Ayah sayang Hasyim, kok, Ayah ndak mau main sama Hasyim?" tanya Hasyim lagi.

"Ayah 'kan kerja, Nak. Ayah kerja biar apa coba?" jelas Ibu lagi.

"Biar dapat uang,"

"Terus uangnya untuk apa?"

"Untuk beli susu Hasyim, sama mainan, sama kue coklat, sama es krim."

Ibu tertawa kecil mendengar jawaban Hasyim yang panjang. "Kalau begitu, Ayah sayang tidak sama Hasyim?"

"Sayang." Suara Hasyim terdengar lebih semangat sekarang.

"Hasyim, mau dengar tidak cerita tentang ayah pinguin?"

"Mau, Ibu, mau." jawab Hasyim sambil bersorak senang. Lalu, Ibu mulai bercerita.

Di sebuah lembah es, hiduplah sekumpulan kawanan pinguin. Diantara pinguin yang banyak itu, ada seekor pinguin kecil yang sedang bermain di depan rumahnya. Namanya, Pingping pinguin.

Pingping sedang menunggu ayahnya pulang dari mencari ikan, udang, cumi-cumi, atau yang lainnya, yang bisa dimakan Pingping. Sudah semenjak pagi ayah Pingping pergi, sekarang sudah hampir gelap. Padahal, ayah Pingping berjanji, akan mengajari Pingping cara berenang. Namun, Pingping tidak marah pada ayahnya. Pingping sabar menanti sang ayah pulang. Karena Pingping tahu, kalau ayahnya pergi untuk mencari ikan, agar dia bisa makan.

Tidak lama kemudian, Pingping merasa capek bermain. Lalu, Pingping memilih duduk sambil berdoa, agar ayahnya cepat pulang. Pingping teringat cerita ibu, saat Pingping masih di dalam telur.

Selama Pingping di dalam telur, ayahlah yang mengerami Pingping. Telur diletakkan ayah diantara dua kaki. Ayah kuat berdiri lama agar telur Pingping tetap hangat. Bahkan, ayah tidak makan selama mengerami telur Pingping.

Mengingat itu, Pingping semakin rindu pada ayahnya. Kenapa ayah pulang terasa begitu lama? Begitu tanya Pingping di dalam hati.

"Ibu Pingping, kemana, Bu?" tanya Hasyim setelah mendengarkan cerita Ibu.

"Ibu Pingping pergi mencari makan." jawab Ibu.

"Kenapa bukan ayah Pingping yang cari makan? Kayak Ayah, cari uang buat beli makan. Ibu yang temanin Hasyim."

Ibu tersenyum sambil mengusap kepala Hasyim, "Karena, ibu Pingping tidak kuat berdiri lama sampai Pingping menetas. Makanya, ayah Pingping yang mengerami, ibu Pingping yang cari ikan."

"Terus, kenapa ayah Pingping ndak makan? Kalau ndak makan, nanti sakit perut, 'kan, Bu?" tanya Hasyim masih penasaran.

"Itu semua atas izin Allah, Nak. Ibu Pingping bertelur itu saat musim dingin. Ketika musim dingin, makanan sulit untuk di dapatkan. Makanya, yang kuat untuk tidak makan, dan juga berdiri lama itu ayah Pingping."

"Wah ... Ayah Pingping kuat!" ujar Hasyim kagum.

"Terus, kapan ibu Pingping pulang, Bu?" lanjut Hasyim bertanya.

"Ibu Pingping pulang saat telur akan menetas. Pada saat itu, biasanya musim dingin akan berakhir. Es-es sudah mulai mencair, sehingga terbentuk lubang-lubang air. Dari situlah ayah, dan ibu Pingping dapat berburu ikan atau makanan lainnya."

"Es kayak di dalam kulkas, ya, Bu?" Hasyim bertanya lagi, sepertinya dia belum mengerti.

"Benar, Nak. Sini, Ibu gambarkan." Hasyim dan Ibu jongkok di atas tanah. Ibu mulai menggambarkan, bagaimana bentuk es di Kutub yang kemudian membentuk lubang air saat mencair.

"Nah, dari lubang es seperti ini, pinguin mulai mencari ikan, udang atau cumi-cumi tadi." Tangan Ibu masih menggambar-gambar di atas tanah. "Nanti di rumah, Ibu lihatkan dimana Pingping pinguin tinggal. Oke?"

"Oke, Ibu!" sorak Hasyim senang. Wajah Hasyim tidak lagi menunjukkan kesedihan.

"Hasyim ... Ayah Pingping begitu kuat menjaga Pingping saat masih di dalam telur. Saat Pingping sudah menetas, ayah Pingping juga yang mencari makan dan melindungi Pingping dari hewan buas lain." jelas Ibu perlahan.

"Iya, ya, Bu. Ayah Pingping kuat." Hasyim membeo.

"Ayah juga begitu, lho, Nak. Saat Hasyim masih di dalam perut Ibu, Ayah sangat menjaga Ibu agar tetap makan makanan bergizi, tidak sakit, dan juga capek. Tiap hari, Ayah kerja, agar dapat membeli semua yang Hasyim perlukan. Kemarin, pas Ayah mau pergi kerja, hujan 'kan?"

"Iya, Bu. Hujannya deras, Ayah perginya sambil main hujan, ya, Bu?" tanya Hasyim dengan wajah senang.

"Saat panas, Ayah tetap pergi kerja juga. Itu semua untuk Hasyim. Kalau Ayah tidak kerja, pasti Hasyim diajak main oleh Ayah. Ya, 'kan?"

"Ayah suka main gelitikin Hasyim, Bu. Ayah ngajarin Hasyim main sepeda juga. Ayah sering belikan Hasyim es krim ...."

Selama Hasyim berceloteh tentang Ayah, Ibu menggenggam tangan mungil Hasyim menuju rumah mereka. Langit mulai menggelap, menandakan sebentar lagi matahari akan terbenam.

Sesampai di rumah, ternyata Ayah sudah duduk menunggu Hasyim dan Ibu di teras rumah. Hasyim berlari ke pelukan Ayah, sambil bersorak, "Ayah ... Hasyim kangen."

"Wah ... kenapa Hasyim terlihat begitu rindu sama Ayah?" tanya Ayah sambil menggendong Hasyim masuk ke dalam rumah.

"Tadi, Ibu cerita tentang Pingping pinguin, Yah. Pingping sabar menunggu ibunya pulang cari ikan. Terus, Pingping rindu ayahnya karena ayahnya lama sekali pulang. Jadinya Hasyim juga rindu sama Ayah." Hasyim bercerita sambil kembali memeluk Ayah, erat.

"Maaf, ya, Nak. Ayah terlambat pulang kerja. Kita juga tidak jadi bermain sepedanya. Hasyim ... ndak marah 'kan pada Ayah?" tanya Ayah hati-hati pada Hasyim. Ayah khawatir, kalau Hasyim menangis.

Ayah menyesal karena tidak bisa menunda pekerjaan di kantornya.

"Hasyim ndak marah sama Ayah. 'Kan kata Rasulullah, janganlah kamu marah, maka surga bagimu. Hasyim mau surga, Ayah." jawaban Hasyim membuat kagum Ayah dan Ibu.

"Masyaallah ... Hasyim tau dari siapa hadist Rasulullah itu?" tanya Ibu sambil meletakkan dua gelas air mineral di meja dekat Ayah dan Hasyim duduk.

"Pak Ustadz, Bu." Setelah menjawab pertanyaan Ibu, Hasyim kembali bercerita pada Ayah. "Ayah, Ayah ... ayah Pingping bisa berdiri lama, juga ndak makan-makan. Ayah Pingping kuat, ya, Yah?"

Ayah tersenyum, dan memeluk Hasyim. "Hasyim juga kuat, kuat untuk tidak marah karena tidak jadi main sepeda."

"Yeee ... Hasyim kuat." Hasyim tepuk tangan mendengar pujian Ayah.

"Kalau Ayah Hasyim?" tanya Ibu sambil tersenyum.

"Kalau Ayah Hasyim ... Ayah, hebat!"

Hasyim, Ayah, dan Ibu tertawa bersama.

"Karena Hasyim sudah sabar menunggu Ayah, juga tidak marah, besok kita main sepeda seharian. Juga makan es krim." ucap Ayah.

"Horeee ... Terima kasih Ayah hebat." Hasyim meloncat-loncat gembira.

Ayah, adalah orang yang sangat sayang padamu. Ayah rela berkerja apa saja, kapan saja, demi membuatmu tersenyum. Ayah tidak akan rela, jika kamu tersakiti. Ucapkan terima kasih pada Ayahmu, dan beri satu kecupan sayang. Ayahmu akan merasa bahagia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

.sungai jambu.

apa yang terfikirkan oleh mu jika membaca judul HARAKA kali ini? kelamaan mikirnya, baca aja cerita HARAKA kali ini tentang "Desa ku yang Permai" hahaha... Sungai Jambu adalah sebuah nama nagari di Batu Sangkar. nagari ini terletak di pinggang gunung Marapi [ketinggian ±700 meter dari permukaan laut] , kecamatan Pariangan, Sumatera Barat. nagari yang sungguh menakjubkan, yakin de siapa pun yang pernah ke sana tak akan pernah bosan dengan alamnya, eksotis banget, Subhanallah sangat [terkagum-kagum]. Sungai Jambu termasuk nagari tertua di Sumatera Barat, dialiri oleh 3 batang sungai dan dilatar belakangi oleh Gunung Marapi . bagaimana zee bisa kenal dengan desa ini? jawabannya adalaaaaahh... taraaaaa... [dasar zee stres] itu kampung halaman zee, hehe... di desa ini mama tercinta dilahirkan dan dibesarkan. nah, bagi yang suka narsis, sampe capek silahkan berfutu-futu ria, tak kan pernah puas. zee aja setiap pulkam ga pernah puas berfutu-futu [ntah apa karna futu grafernya y

ku persembahkan untuk...

Alhamdulillahirabbilalamin... akhirnya zii terbebas juga dari kertas-kertas bermasalah [istilah skripsi oleh 2 sobat maya..] mau pamer halaman persembahan ni ceritanya, reading-reading aja yah :) “Dan seandainya semua pohon yang ada dibumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habislah kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.  (QS. Lukman: 27) Alhamdulillahirrabil’alamin Sebuah langkah usai sudah Satu cita telah ku gapai Namun… Itu bukan akhir dari perjalanan Melainkan awal dari satu perjuangan Setulus hatimu mama, searif arahanmu papa Doamu hadirkan keridhaan untukku, petuahmu tuntunkan jalanku Pelukmu berkahi hidupku, diantara perjuangan dan tetesan doa malam mu Dan sebait doa telah merangkul diriku, menuju hari depan yang cerah Kini diriku telah selesai dalam studi sarjana Dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhaan-Mu ya Allah,

Reuni (POV Dezia)

Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus. Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana. Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi. Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu. Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Deg