Alhamdulillah ... masih bisa menulis di blog ini. Terima kasih masih menerimaku walau sudah sekian lama aku meninggalkanmu, blog (halahh ....)
Meminjam istilah dari dosen kece sewaktu sarjana, Guru Go Blog, saya berniat konsisten lagi untuk menulis di blog. Setelah kehilangan kenyamanan untuk bercuap-cuap di beranda si biru dan si oren, sepertinya di sini akan lebih nyaman (mudah-mudahan).
Ibu Go Blog. Ga enak banget ya kalau didengar, tapi dengan mempunyai wadah menulis kita bisa mengekspresikan diri tanpa langsung unjuk diri (khusus untuk orang pemalu seperti ibu 3H, hihii ....). Menulis juga bisa jadi pengingat diri atau self reminder kata orang-orang.
Misal, saat emosi datang mengunjungi ketika membersamai anak, apa yang bisa kita lakukan? Jika sedang berdiri, duduklah. Jika sedang duduk, berbaringlah. Dan segera berwudhu. Setelahnya ... kita bisa menulis apa yang terjadi. Selain untuk meluapkan kekesalan, juga sebagai pengingat diri agat tidak terulang.
Apalagi, katanya, wanita perlu mengeluarkan 22rb kata/hari agar hatinya plong. Menulis saja, menjauhkan kita dari kata-kata mubazir juga.
Sedikit tulisan dari salah satu bunda hebat di grup Matrikulasi Institut Ibu Profesional saat spiker of day setahun yang lalu.
"Betapa pentingnya kegiatan menulis dilakukan seorang ibu, seorang istri, seorang wanita. Yang seringkali menyimpan banyak hal dalam dadanya tanpa berani mengeluarkan. Karena di luar sana ada banyak mata yang mengawasi, telinga yang mendengar dan mulut yang mengomentari.
Karena seorang wanita harus kuat. Seorang istri harus sabar. Seorang ibu harus bisa segalanya. Maka perasaan itu harus ditekan, dipendam, dikubur dalam-dalam. Padahal, emosi/perasaan yang ditekan akan menekan balik. Tidak heran kemudian hari muncullah wanita yang drama, ibu yang bawel dan galak, dan seterusnya dan seterusnya ....
Bahkan muncul penyakit depresi hingga kejadian ibu yang menyakiti anak-anaknya sendiri. Yang disalahkan siapa? Ya si ibu dong ...."
Ayo menulis diary bu, kita ga terlalu tua untuk itu kok ☺
-putri keumalasari-
Bagi saya sendiri, menulis adalah ekspresi hati, imaji daya pikir, dan luapan asa. Jika dulu hanya sebatas khayal, kini ... ingin menjadikan rangkaian kata menjadi bernilai dan bermakna.
Menulis selain hobi juga bakat (mungkin). Lebih mengarah pada fiksi sih. Hanya saja, fiksi akan sedikit sulit ditulis jika kita ingin mencantumkan ilmu/pesan yang akan disampaikan. Harus lihai bermain kata agar pembaca tidak merasa sedang membaca non fiksi. Ini yang sedang dipelajari.
Nah, bagaimana hukum menulis fiksi dalam agama Islam? Secara fiksi jelas karangan semata. Di posting selanjutnya Insyaallah ....
Asy-Sya'bi rahimahullah berkata,
إذا سمعت شيئا فاكتبه ولو في الحائط
"Apabila engkau mendengar sesuatu (dari ilmu) maka tulislah walaupun di atas tembok." (HR. Abu Khaitsamah dalam Al-Ilmu no.146)
Biar ragamu saja yang mati, jiwamu tetap menjadi penasihat bumi lewat kisah-kisah yang kau tulis dengan segenap hati.
~Patrick Kellan
Meminjam istilah dari dosen kece sewaktu sarjana, Guru Go Blog, saya berniat konsisten lagi untuk menulis di blog. Setelah kehilangan kenyamanan untuk bercuap-cuap di beranda si biru dan si oren, sepertinya di sini akan lebih nyaman (mudah-mudahan).
Ibu Go Blog. Ga enak banget ya kalau didengar, tapi dengan mempunyai wadah menulis kita bisa mengekspresikan diri tanpa langsung unjuk diri (khusus untuk orang pemalu seperti ibu 3H, hihii ....). Menulis juga bisa jadi pengingat diri atau self reminder kata orang-orang.
Misal, saat emosi datang mengunjungi ketika membersamai anak, apa yang bisa kita lakukan? Jika sedang berdiri, duduklah. Jika sedang duduk, berbaringlah. Dan segera berwudhu. Setelahnya ... kita bisa menulis apa yang terjadi. Selain untuk meluapkan kekesalan, juga sebagai pengingat diri agat tidak terulang.
Apalagi, katanya, wanita perlu mengeluarkan 22rb kata/hari agar hatinya plong. Menulis saja, menjauhkan kita dari kata-kata mubazir juga.
Sedikit tulisan dari salah satu bunda hebat di grup Matrikulasi Institut Ibu Profesional saat spiker of day setahun yang lalu.
"Betapa pentingnya kegiatan menulis dilakukan seorang ibu, seorang istri, seorang wanita. Yang seringkali menyimpan banyak hal dalam dadanya tanpa berani mengeluarkan. Karena di luar sana ada banyak mata yang mengawasi, telinga yang mendengar dan mulut yang mengomentari.
Karena seorang wanita harus kuat. Seorang istri harus sabar. Seorang ibu harus bisa segalanya. Maka perasaan itu harus ditekan, dipendam, dikubur dalam-dalam. Padahal, emosi/perasaan yang ditekan akan menekan balik. Tidak heran kemudian hari muncullah wanita yang drama, ibu yang bawel dan galak, dan seterusnya dan seterusnya ....
Bahkan muncul penyakit depresi hingga kejadian ibu yang menyakiti anak-anaknya sendiri. Yang disalahkan siapa? Ya si ibu dong ...."
Ayo menulis diary bu, kita ga terlalu tua untuk itu kok ☺
-putri keumalasari-
Bagi saya sendiri, menulis adalah ekspresi hati, imaji daya pikir, dan luapan asa. Jika dulu hanya sebatas khayal, kini ... ingin menjadikan rangkaian kata menjadi bernilai dan bermakna.
Menulis selain hobi juga bakat (mungkin). Lebih mengarah pada fiksi sih. Hanya saja, fiksi akan sedikit sulit ditulis jika kita ingin mencantumkan ilmu/pesan yang akan disampaikan. Harus lihai bermain kata agar pembaca tidak merasa sedang membaca non fiksi. Ini yang sedang dipelajari.
Nah, bagaimana hukum menulis fiksi dalam agama Islam? Secara fiksi jelas karangan semata. Di posting selanjutnya Insyaallah ....
Asy-Sya'bi rahimahullah berkata,
إذا سمعت شيئا فاكتبه ولو في الحائط
"Apabila engkau mendengar sesuatu (dari ilmu) maka tulislah walaupun di atas tembok." (HR. Abu Khaitsamah dalam Al-Ilmu no.146)
Biar ragamu saja yang mati, jiwamu tetap menjadi penasihat bumi lewat kisah-kisah yang kau tulis dengan segenap hati.
~Patrick Kellan
Komentar
Posting Komentar
Komentar darimu membangun Imajinasiku