Langsung ke konten utama

Hijrah Rasa (3)

Sebelumnya → Hijrah Rasa (2)

Setelah upacara penerimaan siswa baru yang dihadiri seluruh keluarga SMA tadi di lapangan, kini murid-murid baru tersebut melakukan sedikit permainan di dalam kelas untuk saling mengenal, tentunya didampingi oleh senior.

Sejauh ini, semua aman menyangkut urusan rasa di hati Qia. Entah pada Gita, Gema yang lebih dahulu menjadi warga sekolah ini, alias kakak kelas, seringkali menampakkan batang hidungnya. Lalu, mereka senyum malu-malu kucing. Elah.

"Cape dweh! Si bulet ungu mulai bergerilya, nih," komentar Qia saat kedapatan Gita kembali tersenyum ke arah jendela. Karena apalagi kalau bukan ada dengungan suara di luar sana, a.k.a Gema.

"What? Baru beberapa jam, lo udah dikuasainya, Qi? ... ber-ba-ha-ya."

"Gak usah, sok ngeles." Qia memutar bola matanya, jengah. "Dengar, ya, sahabat sehidupku. Selama aku masih kamu anggap teman, selama itu pula Gege gak bisa berduaan denganmu."

"Abang, Qi. Dia lebih gede dari kita, lho."

"Lo aja, gue gak. Udah, ah. Itu ada yang perhatiin kita bisik-bisik kayaknya." Qia mengalihkan perhatiannya ke depan kelas. Terlihat sudah berdiri beberapa orang senior, yang Qia tahu mereka pejabat OSIS dan MPK.

Gita mengikuti arah pandangan Qia. Benar saja, ketua OSIS yang tadi sempat berurusan dengan Qia, sedang menatap mereka. Kepada Qia tepatnya.

Dia yang berurusan dengan Qia, atau Qia yang bermasalah dengan dia? Seterahlah, mudah-mudahan ini si Polos gak dikerjain para tetinggi-tetinggi itu. Mereka kenapa bisa jangkung-jangkung gitu, coba?

"Kamu berdua, ke depan!"

"Oh, God. Baru juga membatin," bisik Gita monolog.

"Kita, Git?" Wajah polos Qia itu ... ugh, Gita jadi gemes tingkat dewa.

"Gak, anak belakang."

Qia auto melihat ke bangku belakangnya. Lalu, kembali menghadap Gita yang tampak menunduk memijit dahi. Ingin memastikan lagi, namun Gita sudah berdiri berjalan pelan ke depan kelas.

'Lha, katanya anak yang di belakang, kenapa dia yang ke depan?'

Qia masih saja bengong di tempat duduknya, saat Gita sudah berdiri bersama para senior di depan sambil menatap Qia malas.

"Teman kamu itu, kenapa gak maju?" tanya si Ketos yang sedari awal sudah penasaran dengan teman Gita itu.

"Panggil lagi, aja coba, Kak." jawab Gita spontan yang dibalas langsung dengan pelototan oleh para senior. "Eh, aku aja yang jemput dia, Kak." Lanjut Gita cengengesan sambil ngacir kembali ke tempat Qia.

"Qi! Ish ... lemot."

Gita langsung saja menarik tangan Qia ke tempat para senior yang tadi memanggil mereka.

Tampak Diky merubah gaya berdirinya, melipat tangan di dada dan menatap Qiara tanpa beralih sedikitpun. 'Kesempatan', begitu batinnya berbisik.

"Tau apa kesalahan kalian?"

Baru saja Gita akan menjawab, telunjuk Diky mengarah ke Qia. Gita yang tadi mangap, ngatup lagi, lalu menyenggol Qia dengan sikunya.

Untungnya, Qia mengerti maksud Gita, "bisik-bisik," jawab gadis berhijab syar'i itu padat dan jelas.

"Pasti gak dengar 'kan apa yang disampaikan Angga?" tanya Ketos lagi.

"Dengar, Kak ...," jawab Gita langsung akan mengulang apa yang dibicarakan sang ketua MPK.

Namun, sepertinya Diky tidak memberikan Gita kesempatan untuk membela diri. "Dia yang jawab." potong Diky sambil menunjuk Qia dengan dagunya.

"Kenapa aku lagi?" Sewot Qia.

"Karena saat kamu bisik-bisik, matamu mengarah pada saya. Ya 'kan?"

"Emang kenapa kalau aku lihatin Kakak?"

"Kamu tahu salah tapi tetap melakukannya. Kamu bicarain saya?"

"Idih, geer," bibir Qia mencebik seketika. "Nih, aku jawab. Bang Angga menyampaikan tentang reward bagi gugus yang berhasil lolos penilaian terbaik saat hari terakhir MOS. Kemudian door prize khusus bagi yang terpilih jadi King and Queen SMA ini. Jadi, tunjukkan potensi diri agar dilirik guru dan para senior. Benar 'kan?"

"Cakep," komentar Angga saat Qia selesai bicara. "Kamu saya beri poin khusus karena satu-satunya manggil saya, Abang. Like it!" lanjut Angga sambil mengedipkan satu matanya ke arah Qia.

"Waduh ... gak usah, gak usah. Aku ralat, deh, panggilannya jadi, Kak."

"Udah terlanjur, Manis."

"Gula kali, manis." Singgung Qia tanda tidak suka mendengar panggilan Angga ke pada dirinya.

Bukannya tersinggung, Angga malah tertawa, "jangan ubah panggilan tadi, ya, Sweety ..."

"Namaku Qia, Kak, Qi-a-ra. Bukan manis atau sweety." Jutek Qia akhirnya tak tertahan lagi. Gadis itu merasa jengah dengan gaya Angga yang ... menyebalkan menurutnya.

"Ngga, dia punya gue." Suara bass itu terdengar tegas tak terbantahkan. Dingin, membekukan suara-suara yang tadi sedikit berdengung.

"Hah? Sejak kapan?" Nada suara Angga yang tadinya terdengar receh, berubah sedikit gugup.

Tatapan Diky tajam ke arah Angga memberi jawaban dari sorot matanya. Pantas Diky terpilih jadi ketua, auranya bisa memenjara sikap seseorang.

"Owh ... I know. Sorry, gue gak tahu." Angga mendapat jawabannya setelah beberapa saat memutar ingatannya. "Nice to meet you, Qiara." ucapnya lagi sambil berlalu ke luar kelas.

"I'm not,"

Angga yang berjiwa santai, tertawa lagi mendengar jawaban dari Qia. "It's okay. Gue suka gaya lo." Lalu pintu kelas tertutup.

'Gila', batin Qia mengalihkan tatapannya yang kemudian terhenti di mata Diky yang sedang menatapnya dengan tatapan ... awas kamu!

"Gita, kamu boleh kembali ke bangkumu,"

"Makasih, Kak." Gita sedikit menyenggol Qia saat berjalan je arah mejanya.

"Kamu, tetap di sini sampai saya selesai bicara."

"Hah? Mana boleh, gitu?" Protes Qia merasa dikerjain.

"Boleh, kalau gue yang ngomong." Ada nada kesal di suara Diky kali ini.

'Menyebalkan'. Qia sudah terlanjur malas untuk lanjut berdebat. Maka, dia memilih menggerutu di hati saja.

Bukankah Rasul menyuruh umatnya untuk menghindari perdebatan? Ah, Qia menyesal tadi meladeni ucapan-ucapan receh dari Angga.

'Astaghfirullah ... sebegitu culasnya si bulat ungu untuk merusak akidah seorang mukmin. Apa Qia mampu untuk lanjut di sini, ya Rabb ....'

Komentar

Postingan populer dari blog ini

.sungai jambu.

apa yang terfikirkan oleh mu jika membaca judul HARAKA kali ini? kelamaan mikirnya, baca aja cerita HARAKA kali ini tentang "Desa ku yang Permai" hahaha... Sungai Jambu adalah sebuah nama nagari di Batu Sangkar. nagari ini terletak di pinggang gunung Marapi [ketinggian ±700 meter dari permukaan laut] , kecamatan Pariangan, Sumatera Barat. nagari yang sungguh menakjubkan, yakin de siapa pun yang pernah ke sana tak akan pernah bosan dengan alamnya, eksotis banget, Subhanallah sangat [terkagum-kagum]. Sungai Jambu termasuk nagari tertua di Sumatera Barat, dialiri oleh 3 batang sungai dan dilatar belakangi oleh Gunung Marapi . bagaimana zee bisa kenal dengan desa ini? jawabannya adalaaaaahh... taraaaaa... [dasar zee stres] itu kampung halaman zee, hehe... di desa ini mama tercinta dilahirkan dan dibesarkan. nah, bagi yang suka narsis, sampe capek silahkan berfutu-futu ria, tak kan pernah puas. zee aja setiap pulkam ga pernah puas berfutu-futu [ntah apa karna futu grafernya y

ku persembahkan untuk...

Alhamdulillahirabbilalamin... akhirnya zii terbebas juga dari kertas-kertas bermasalah [istilah skripsi oleh 2 sobat maya..] mau pamer halaman persembahan ni ceritanya, reading-reading aja yah :) “Dan seandainya semua pohon yang ada dibumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habislah kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.  (QS. Lukman: 27) Alhamdulillahirrabil’alamin Sebuah langkah usai sudah Satu cita telah ku gapai Namun… Itu bukan akhir dari perjalanan Melainkan awal dari satu perjuangan Setulus hatimu mama, searif arahanmu papa Doamu hadirkan keridhaan untukku, petuahmu tuntunkan jalanku Pelukmu berkahi hidupku, diantara perjuangan dan tetesan doa malam mu Dan sebait doa telah merangkul diriku, menuju hari depan yang cerah Kini diriku telah selesai dalam studi sarjana Dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhaan-Mu ya Allah,

Reuni (POV Dezia)

Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus. Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana. Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi. Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu. Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Deg