Langsung ke konten utama

Sepuluh Hari Terakhir

Semburat mentari pagi mewarnai bumi. Tidak terasa, Ramadhan akan segera pergi. Ayu, si gadis kecil yang periang sudah berniat dari awal Ramadhan, kalau puasanya akan penuh di sepuluh hari terakhir ini. Walaupun, di hari-hari sebelumnya banyak juga yang hanya sampai siang hari.

"Ternyata, makin dekat hari raya, puasa makin terasa berat." keluh Ayu saat jam istirahat. Ayu memilih duduk di kelas saja, tampak beberapa orang teman mengeluarkan bekal yang sengaja mereka bawa dari rumah.

Ayu memalingkan wajah ke arah yang lain, berharap tidak tergoda ingin menyicip kue teman-temannya. Perut Ayu terasa memanas. Memang, saat sahur tadi, Ayu terlambat bangun. Malas sekali untuk bangun sahur, alhasil, Ayu masih makan saat azan berkumandang. Kata Bunda, 'gak apa-apa, selesaikan aja makannya. Rasulullah pernah bersabda kalau kita sedang sahur, lalu terdengar azan, maka selesaikan dulu makannya. Hmm ... Ayu lupa apa sabda yang dibilang bunda tadi, ingatnya HR Abu Dawud aja'.

Lamunan Ayu buyar karena perutnya berbunyi, lalu terasa mau buang angin. Jadi ingat percakapan teman-teman di kompleknya saat tarawih.

"Kalau kentut puasa jadi batal lho, hati-hati."

"Yang benar?"

"Iya, kan kentut membatalkan shalat, berarti bisa membatalkan puasa juga."

'Aduh ... benaran jadi ingin buang angin, tapi batal dong puasa Ayu'. Ayu pun menahan gejolak perut yang semakin kembung hingga sampai di rumah.

Kepala dan badan Ayu jadi basah oleh keringat karena menahan kentut. Sejak sampai di rumah, Ayu memilih duduk terus, tidak kemana-mana. Hal ini jadi perhatian oleh Bunda.

"Ayu kenapa? Sakit?" tanya Bunda menghampiri Ayu.

"Gak Bunda. Cuma ... perut Ayu gak enak, mau buang angin."

"Perut Ayu sakit?" Bunda masih belum mengerti maksud dari jawaban Ayu.

"Ga Bunda, Ayu mau kentut, daritadi Ayu tahan. Jadinya, makin gak enak perut Ayu." jelas Ayu lagi.

"Kenapa ditahan, Nak?" Bunda sedikit menahan tawa mendengar penjelasan Ayu.

"Iya dong Nda, kalau kentut batal dong puasa Ayu. 'Kan Ayu mau puasa penuh sepuluh hari terakhir ini Nda."

"Siapa yang bilang kalau kentut bisa membatalkan puasa?" Bunda tidak bisa lagi menahan tawanya.

"Teman-teman, kemarin di mesjid." Ayu jadi heran melihat Bunda tertawa.

"Buang angin gak membatalkan puasa Sayang, kecuali setelah buang angin, Ayu makan, baru batal puasanya,"

"Ih Bunda jangan ketawa dong, Ayu 'kan gak tau." cemberut Ayu.

"Gak deh, ga ketawa lagi. Sana, buang angin ke belakang."

Setelah Ayu kembali dari belakang, gadis kecil ini kembali menemui Bunda yang masih duduk di tempat tadi.

"Untung ada Bunda, hampir aja tadi Ayu minum kalau kentutnya gak bisa ditahan lagi, hihihi ...." Ayu terkekeh sendiri mengingat ulahnya.

"Bukannya udah dikasih tau ustadz, apa saja yang bisa membatalkan puasa?"

"Iya, udah, Bunda."

"Trus, kenapa jadi seperti tadi?" tanya Bunda lagi.

"Ayu ragu Bunda, mau nanya juga malu." cengir Ayu.

"Sekarang, coba sebutkan apa yang bisa membuat puasa batal?"

"Makan, minum, muntah dengan sengaja, dan hilang ingatan. Benar 'kan Bunda?"

"Benar. Kalau yang merusak puasa, Ayu tau?"

"Yang bisa merusak puasa, maksudnya gimana Nda?"

"Ada beberapa perilaku, yang bisa merusak nilai puasa kita. Misal, marah, berbohong, itu bisa membuat puasa kita tidak sempurna." jelas Bunda.

"Oh iya, Ayu ingat, membicarakan kejelakan orang juga bisa 'kan Nda?"

"Iya, benar. Apalagi Ay?"

"Hmm ... cuma itu yang Ayu ingat Nda." Bunda hanya geleng-geleng melihat tingkah gadis kecilnya.

"Tadi Bunda dengar, Ayu bilang mau puasa penuh di sepuluh hari terakhir, kenapa?"

"Kata Ustadz, di sepuluh hari terakhir ada lailatul qadar Bunda. Malam yang katanya, lebih baik dari seribu bulan." jelas Ayu sumringah.

"Ayu ingin mendapat lailatul qadar?"

"Iya Nda, 'kan enak dapat pahala seribu bulan. Jadi, selama seribu bulan kita gak capek lagi deh cari pahala." jawab Ayu polos.

"Hah? Masyaallah, Nak ...." tawa Bunda kembali terdengar, "gak gitu juga kali Sayang. Di hari biasa, walaupun kita mendapatkan lailatul qadar, tetap kita mengejar pahala dari Allah. Lagian ya, yang tau kapan terjadinya lailatul qadar itu cuma Allah, Sayang."

Bunda pun memeluk Ayu dengan gemes, ada-ada saja pemikiran si Bungsunya ini. "Tapi, Bunda bangga dengan Ayu, udah niat puasa penuh dan ingin dapat lailatul qadar. Mudah-mudahan Allah mendengar doa Ayu."

"Aamiin ...."

***

Hari ini, hari terakhir sekolah. Sebentar lagi, Idul Fitri akan datang menyambut dengan suka cita. Sekolah pun, lebih cepat usai. Ayu berjalan ringan sambil membaca shalawat. Kata Bunda, setiap kita membaca shalawat, Insyaallah, akan selalu diterima Allah. Ah ... Ayu selalu lupa dengan hadistnya.

Shalawat yang sedang dilantunkan Ayu tiba-tiba terhenti, saat netra gadis berhijab putih ini menangkap seorang anak perempuan yang berpakaian sama dengannya, tengah menunduk seperti menahan sakit. Ayu pun mendekatinya, Ayu seperti kenal dengan gestur tubuh itu.

"Indah?" sapa Ayu.

"A Ayu." Indah terlihat begitu pucat dengan keringat yang membasahi wajahnya.

"Kamu sakit? Kamu pucat banget." Ayu terlihat cemas melihat kondisi teman sekelasnya ini.

"Perutku sakit banget Ay." Suara Indah terdengar begitu kesakitan.

"Ayo, Ayu bantu jalan sampai ke rumah." sigap, Ayu memapah Indah yang kesulitan berjalan menuju rumahnya yang tinggal beberapa meter lagi.

"Terima kasih banyak ya, Ay. Biasanya, walaupun gak sahur, aku masih kuat puasa." ucap Ayu saat sudah berbaring di dipan kamarnya.

"Kamu sering gak sahur ya In?"

"Iya," jawab Indah dengan suara kecil.

"Kenapa?" Ayu penasaran. Ayu ini anak yang mempunyai keningin-tahuan yang tinggi.

"Gak ada uang untuk membeli makanan." Jawaban Indah membuat mata kecil Ayu berair.

Sesampai di rumah, Ayu duduk termenung di teras depan rumah. Melihat itu, Bunda pun menghampirinya.

"Sekarang, kenapa lagi dengan anak Bunda ini?"

"Ayu teringat Indah, Nda."

"Indah ... ibunya yang jualan gorengan itu?" tanya Bunda memastikan.

"Iya Nda. Kasihan deh, tadi Indah hampir pingsan di jalan. Untung Ayu lihat, Ayu tolong pegangin Indah sampai rumahnya."

"Kenapa Indah hampir pingsan?"

"Dia gak sahur, Nda. Ayu tanya kenapa, ternyata ibunya gak ada uang untuk beli makanan. Kasihan ya, Nda." Hati Ayu kembali terenyuh saat bercerita kepada Bunda, hingga gadis berhati lembut ini pun meneteskan air mata. "Bunda ada uang? Kita kasih ke Indah yuk," pintanya kemudian.

"Ada kok, Sayang. Kalau gitu, zakat fitrah kita diberikan ke Indah saja." jawab Bunda sambil memeluk Ayu.

"Apa itu zakat fitrah Bunda?" Ayu melepaskan pelukan Bunda, dan menghapus air matanya.

"Zakat yang wajib untuk kita semua, Nak. Baik laki-laki, perempuan, anak-anak, maupun orang dewasa. Zakat fitrah ini kita keluarkan pada akhir bulan Ramadhan hingga sebelum shalat Idul Fitri, yaitu sebanyak 2,5 kg beras." jelas Bunda yang membuat mata Ayu berbinar.

"Kalau gitu, ayo Nda, kita kasih ke Indah aja semua." semangat Ayu. "Sekarang Nda ...." rengek Ayu lebih lanjut.

"Iya, Sayang, sabar dong. Bunda pakai jilbab dulu, Ayu juga yuk."

"Oke Bunda." sorak Ayu ceria.

Itulah hikmah lain dari bulan Ramadhan. Bulan peduli dan berbagi kepada sesama.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

.sungai jambu.

apa yang terfikirkan oleh mu jika membaca judul HARAKA kali ini? kelamaan mikirnya, baca aja cerita HARAKA kali ini tentang "Desa ku yang Permai" hahaha... Sungai Jambu adalah sebuah nama nagari di Batu Sangkar. nagari ini terletak di pinggang gunung Marapi [ketinggian ±700 meter dari permukaan laut] , kecamatan Pariangan, Sumatera Barat. nagari yang sungguh menakjubkan, yakin de siapa pun yang pernah ke sana tak akan pernah bosan dengan alamnya, eksotis banget, Subhanallah sangat [terkagum-kagum]. Sungai Jambu termasuk nagari tertua di Sumatera Barat, dialiri oleh 3 batang sungai dan dilatar belakangi oleh Gunung Marapi . bagaimana zee bisa kenal dengan desa ini? jawabannya adalaaaaahh... taraaaaa... [dasar zee stres] itu kampung halaman zee, hehe... di desa ini mama tercinta dilahirkan dan dibesarkan. nah, bagi yang suka narsis, sampe capek silahkan berfutu-futu ria, tak kan pernah puas. zee aja setiap pulkam ga pernah puas berfutu-futu [ntah apa karna futu grafernya y

ku persembahkan untuk...

Alhamdulillahirabbilalamin... akhirnya zii terbebas juga dari kertas-kertas bermasalah [istilah skripsi oleh 2 sobat maya..] mau pamer halaman persembahan ni ceritanya, reading-reading aja yah :) “Dan seandainya semua pohon yang ada dibumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habislah kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.  (QS. Lukman: 27) Alhamdulillahirrabil’alamin Sebuah langkah usai sudah Satu cita telah ku gapai Namun… Itu bukan akhir dari perjalanan Melainkan awal dari satu perjuangan Setulus hatimu mama, searif arahanmu papa Doamu hadirkan keridhaan untukku, petuahmu tuntunkan jalanku Pelukmu berkahi hidupku, diantara perjuangan dan tetesan doa malam mu Dan sebait doa telah merangkul diriku, menuju hari depan yang cerah Kini diriku telah selesai dalam studi sarjana Dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhaan-Mu ya Allah,

Reuni (POV Dezia)

Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus. Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana. Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi. Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu. Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Deg