Langsung ke konten utama

Haruskah Aku Sakit Dulu

 "Iraaa ... mana kunci mobil Papa?"

Suara papa terdengar menggelegar di rumah berlantai dua ini. Kalian tahu siapa yang bernama Ira? Dia, gadis enam belas tahun yang sedang duduk santai di pagar beton balkon kamarnya di lantai dua. Iya, itu aku.

"Ira! Kamu dengar Papa manggil, gak?" Terlihat Papa sedang mendongak melihatku duduk mengayun-ayunkan kaki. "Lagian kamu ngapain duduk di sana? Mau jatuh? Turun!"

Ck! Menyebalkan.

"Mana kunci mobil? Papa udah telat, Ra!"

"Gak mau, Papa janji hari ini kita pulang kampung."

"Besok. Ini pertemuan Papa penting. Ayo, mana?" Tangan papa terulur menanti aku memberikan benda yang begitu penting untuknya saat ini.

"Ira lupa di mana narok. Maaf, ya, Pa." Aku nyengir mengakui kesalahan.

"Ya Salaaam. Meli! Urus anakmu!"

Siapa yang berani memarahi aku di rumah ini? Tidak ada. Sekalipun Papa yang begitu keras terhadap ketiga kakakku. Padahal, menurutku, mereka begitu patuh pada papa dan mama. Tidak sepertiku, yang seringkali berulah menarik perhatian keduanya. Berbagai cara kulakukan agar sering menghabiskan waktu bersama mereka berdua. Nyatanya, pertemuan-pertemuan itu lebih penting dari padaku, anak bungsunya.

Jarak usiaku dengan kakak begitu jauh, sepuluh tahun, apalagi sama kakak yang nomor dua dan nomor satu. Sehingga, aku tidak punya teman untuk bermain.

Sepi. Sudah jelas, tapi aku bukan pribadi yang suka menikmati keheningan. Maka, aku akan membuat keributan paling tidak untuk diri sendiri.

Aku jadi ingat, saat mama bilang aku akan bersekolah. Senang banget, akan ada banyak teman yang bermain denganku. Aku selalu nomor satu datang dibandingkan teman-teman, yang kuingat, hari masih terasa begitu dingin. Bukankah itu masih pagi sekali? Selalu paling terakhir dijemput, dan malam sampai di rumah. Menyenangkan setiap hari bisa bermain dengan teman-teman, walau ... rasanya aku jadi jarang bertemu dengan papa dan mama.

Saat usiaku memasuki masa baju berseragam, papa, apalagi mama terlihat semakin sibuk. Setiap pagi, sarapan untuk kami sudah tersedia di meja makan. Mama, sebegitu perhatiannya pada kami sekalipun sangat sibuk. Sayangnya, aku tidak berselera untuk memakannya. Bukan karena tidak enak, tapi karena tidak ada teman yang menemani.

Mereka semua seperti dikejar orang jahat. Selalu terburu-buru sarapan, kemudian meninggalkan aku sendiri. Seandainya memang ada orang jahat yang memburu, apa mereka tidak mengingatku yang tertinggal sendiri? Ah, sudahlah. Jika aku membuat ulah demi menarik perhatian mereka, yang ada mereka balik merengek padaku meminta pengertian.

"Tolong ngertiin Mama, Ra. Kamu udah bisa sendiri 'kan, Nak?"

"Mengertilah, Ra. Papa dikejar waktu."

"Dek, kamu ngerti 'kan kalau Abang harus kerja?"

Harus mengerti apa, sih?

Mengerti harus mandiri dan sendiri. Okey, bukankah hidupku enak? Hidup yang didambakan setiap anak. Tidak banyak aturan dari orang tua, dan yang diinginkan selalu didapatkan.

Seperti waktu aku berkunjung ke rumah sepupu. Dia kaget melihat pemakaian pulsa handphone-ku, "ini serius pemakaian pulsa Ira satu juta? Masih setengah bulan, lho ini." tanyanya sedikit histeris.

"Iya, ya, Kak? Gak pernah Ira cek." Mungkin dia pikir, 'santai banget si Ira pake pulsa satu juta'.

"Pakai TM dong, Ra. Biar hemat."

"TM apaan, Kak?"

Dijelaskannyalah ketik ini dan itu untuk mendapatkan biaya hemat untuk menelpon atau sms. Ribet. Lagian, yang mau mengisikan pulsaku 'kan banyak. Papa, mama, abang dan kedua kakakku.

Pernah, sih, terpikirkan kenapa begitu banyak aku memakai pulsa. Jawabannya, memang setiap hari aku menelfon teman-teman, sepupu-sepupu yang lebih hangat dari pada keluarga sendiri. Dengan cara menelfonlah aku merasa tidak sendiri.

Kadang, aku ingin menjadi bagian keluarga mereka saja, yang setiap hari selalu ribut. Entah karena bertengkar atau memang sedang bercanda. Sering ingin menginap di rumah sepupu tapi papa tidak pernah mengizinkan. Padahal, mereka juga tidak pernah ada yang di rumah. Eh, di rumah sih, cuma untuk tidur di malam hari.

Bahkan, ketika kujatuh sakit, mereka jadi bertengkar siapa yang mau menemaniku di rumah. Tidak ada yang mau mengalah, semua punya alasan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.

"Ira tidur dulu, ya. Mama ke kampus cuma sebentar. Begitu selesai, Mama langsung pulang."

Akhirnya, itulah hasil keputusan mereka. Aku sempat berpikir, apa aku ini anak angkat, ya? Mengingat jarak usiaku dengan kakak. Ah, sudahlah. Aku masih beruntung dibandingkan mereka yang ada ayahnya, tidak ada ibu. Atau, ada ibu, tidak ada ayah.

Ternyata, Allah sedang menunjukkan sayangNya padaku. Sakit ini, semakin parah dari hari ke hari. Sangat menyiksa saat harus buang air kecil, yang rasanya ... kok, sering? Padahal minumku sedikit, karena juga sering muntah. Lalu, perut ini selalu perih. Jadinya, badanku sangat lemas.

Aku di bawa ke rumah sakit Yarsi. Sehari di sana, aku dirujuk ke rumah sakit umum. Langsung masuk ICU yang ketika itu aku memang tidak sadarkan diri.

Hasil dua hari dirawat di rumah sakit, aku divonis gagal ginjal stadium akhir oleh dokter. Semua shock, tak terkecuali diri sendiri. Bagaimana bisa? Aku tak menyukai minuman soda atau minuman kemasan lainnya. Apa mungkin ... makananku? Benar, makanan. Selain makanan siap saji, memang aku bisa makan apa lagi? Sementara di rumah tidak ada siapa-siapa di waktu siang hari.

Aku selalu memilih pulang ke rumah saat senja akan menyapa. Pulang sekolah, aku mencari teman yang bisa diajak bercerita. Lebih sering aku nongkrong di kedai milik sepupu, di seberangnya ada supermarket yang menyediakan segalanya. Jika lapar, tinggal menyeberang jalan. Semua makanan lezat, tersaji. Atau sekedar menghabiskan waktu, cuci mata. Sendiri. Namun, aku tidak pernah berpikir, jika makanan lezat itu mengantarkanku ke sini, unit gawat darurat.

Walau begitu, aku sangat bersyukur, pada akhirnya aku mendapat semua perhatian dari semua anggota keluarga. Bahagia. Rasanya, senyum terpahat dalam di wajah ini, walau kadang rasa sakit ini seperti hendak merenggut nyawa. Tidak apa, besarnya perhatian papa dan mama cukup untuk meredam rasa sakit itu.

Hingga tiga pekan berlalu, aku masih di sini. Pun merayakan sweet seventeen, bersama para dokter muda dan tentunya sepupu yang selama ini sering memberi kehangatan.

Terima kasih, ya Allah. Engkau mengabulkan doaku menjadi pusat perhatian papa dan mama terutama. Aku janji, setelah ini tidak akan bikin ulah lagi.

Melewati beberapa pekan, kondisiku semakin membaik. Badan yang sempat membengkak, sudah sedikit menyusut setelah melakukan prosedur cuci darah.

Kini, aku sedang berbaring di kamar VVIP rumah sakit ini. Rasanya, begitu damai setelah semalam bercanda bersama sepupu yang menyempatkan menginap menemaniku di sini.

Mama pun yang sangat kurang istirahat, dua hari ini tampak sedikit tenang. Maafkan Ira, ya, Ma, ketika Ira sudah diperbolehkan pulang nanti, Ira gak akan merepotkan Mama lagi.

●●●

15 Desember 2012

Aku berlari di lorong rumah sakit menuju ruang inap VVIP di lantai tiga. Ruangan yang berada di depan tangga itu tampak sedikit sesak. Sedikit memaksa, aku berhasil menerobos kerumunan tamu dan juga mereka yang berjas putih.

Pertama kali yang tertangkap oleh netra adalah tubuh kecil yang terbujur di atas bed, tak bergerak. Lalu kak Melda sedang menekan-nekan dada tuhuh itu. Kuat, sangat kuat. Tapi, tubuh kecil itu tetap diam. Kemudian mataku menangkap tante yang sudah terduduk lemas dengan air mata membanjiri wajah, menatap kosong ke arah bed. Dan monitor itu, hanya menunjukkan garis lurus.

Sesaat, senyum gadis belia itu menari-nari di kepala. Bagaimana suara riangnya setiap kali menelfon. Sikap hangatnya setiap kali kami berkunjung ke rumahnya. Pemurahnya yang selalu berbagi kepada siapa pun.

Enam bulan tante terpuruk. Di rumah saja, tanpa melakukan aktivitasnya biasanya begitu padat. Apa yang mau disesalkan sekarang? Bahkan, Ira menepati kata-katanya, tidak akan merepotkan mama lagi.

Tenang di sana, ya, Dek. Kami menyayangimu. Allah lebih sayang padamu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

.sungai jambu.

apa yang terfikirkan oleh mu jika membaca judul HARAKA kali ini? kelamaan mikirnya, baca aja cerita HARAKA kali ini tentang "Desa ku yang Permai" hahaha... Sungai Jambu adalah sebuah nama nagari di Batu Sangkar. nagari ini terletak di pinggang gunung Marapi [ketinggian ±700 meter dari permukaan laut] , kecamatan Pariangan, Sumatera Barat. nagari yang sungguh menakjubkan, yakin de siapa pun yang pernah ke sana tak akan pernah bosan dengan alamnya, eksotis banget, Subhanallah sangat [terkagum-kagum]. Sungai Jambu termasuk nagari tertua di Sumatera Barat, dialiri oleh 3 batang sungai dan dilatar belakangi oleh Gunung Marapi . bagaimana zee bisa kenal dengan desa ini? jawabannya adalaaaaahh... taraaaaa... [dasar zee stres] itu kampung halaman zee, hehe... di desa ini mama tercinta dilahirkan dan dibesarkan. nah, bagi yang suka narsis, sampe capek silahkan berfutu-futu ria, tak kan pernah puas. zee aja setiap pulkam ga pernah puas berfutu-futu [ntah apa karna futu grafernya y

ku persembahkan untuk...

Alhamdulillahirabbilalamin... akhirnya zii terbebas juga dari kertas-kertas bermasalah [istilah skripsi oleh 2 sobat maya..] mau pamer halaman persembahan ni ceritanya, reading-reading aja yah :) “Dan seandainya semua pohon yang ada dibumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habislah kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.  (QS. Lukman: 27) Alhamdulillahirrabil’alamin Sebuah langkah usai sudah Satu cita telah ku gapai Namun… Itu bukan akhir dari perjalanan Melainkan awal dari satu perjuangan Setulus hatimu mama, searif arahanmu papa Doamu hadirkan keridhaan untukku, petuahmu tuntunkan jalanku Pelukmu berkahi hidupku, diantara perjuangan dan tetesan doa malam mu Dan sebait doa telah merangkul diriku, menuju hari depan yang cerah Kini diriku telah selesai dalam studi sarjana Dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhaan-Mu ya Allah,

Reuni (POV Dezia)

Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus. Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana. Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi. Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu. Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Deg