Langsung ke konten utama

Orang Tua Kita : Cerita Anak Religi

Aku paling senang saat teman-teman bertemu ayah dan ibunya setelah pulang sekolah. Ada yang berpelukkan, ada yang digendong, ada juga yang merengek. Tetapi yang paling banyak kulihat adalah wajah yang saling tersenyum sambil berpegangan tangan.

Aku sendiri belum dijemput mama. Sambil menunggu mama, aku memperhatikan teman-teman. Di dekat pintu pagar, aku melihat Arif duduk sendiri. Wah, aku ada teman. Lalu kuhampiri dia.

Saat kulihat wajahnya, ternyata dia menangis. "Kamu kenapa?" tanyaku jongkok di depannya.

"Ibuku sakit. Kata kakak ibu bisa meninggal," isak Arif.

"Sekarang yang jemput kamu siapa?" Aku merasa kasihan sekali pada Arif.

"Ayah. Tapi ayah gak datang-datang." Tangis Arif semakin keras. Aku semakin sedih melihatnya. Aku ingat, ustadzah masih di dalam sekolah. Maka aku berlari memanggil ustadzah Nisa.

Setelah kuberi tau ustadzah Nisa, aku kembali mendekati Arif. Ternyata mama sudah duduk di sebelah Arif. Mama memeluk Arif.

"Ibu Arif sudah seminggu di rumah sakit. Seminggu kemarin Arif juga gak masuk sekolah. Ayahnya kerja jadi telat jemput." Begitu ustazah bilang pada mama tadi.

Sampai di rumah, aku masih memikirkan Arif. Kasihan sekali dia.

"Kenapa melamun?" Mama dari dalam, duduk di sebelahku yang sedang berpikir di teras rumah.

"Mama, Hani jadi kaget," cemberutku.

"Maaf, Sayang. Lagian kenapa diam aja, sih?" Mama merangkulku.

Aku cerita pada mama. Kata Arif ibunya bisa meninggal, kasihan bukan?

"Kenapa orang besar bisa meninggal, sih, Ma?" tanyaku heran.

"Gak hanya orang dewasa, Nak. Anak kecil juga bisa meninggal. Bahkan, bayi baru lahir juga bisa."

"Kok bisa, sih, Ma?" tanyaku jadi bingung.

"Semua makhluk yang bernyawa pasti akan mati. Siapa yang menciptakan makhluk di bumi?" tanya Mama.

"Allah 'kan, Ma?" jawabku memiringkan kepala melihat mama.

"Betul sekali. Papa, mama, ibunya Arif, orang tua teman-teman Hani juga Allah yang menciptakan." Penjelasan mama membuatku semakin berpikir.

"Kalau papa dan mama diciptakan Allah, lahir dari siapa, dong?" Aku penasaran sekali.

"Jika Hani lahir dari mama, Mama lahir dari perut Nenek. Papa juga, lahir dari perut Nini." Aku mengangguk-angguk. "Hani udah tau 'kan, gimana Allah menciptakan bayi di perut ibunya?" Mama bertanya lagi.

"Tau, 'kan Hani punya bukunya," jawabku yakin. "Oh ya, Ma. Berarti ... nenek dan nini lahir dari perut iyuk*, ya?" tanyaku memastikan.

"Benar," jawab mama dengan senyumnya.

"Trus, iyuk lahir dari perut mamanya, mamanya iyuk lahir dari perut mamanya lagi. Lalu, gitu aja terus lahir dari perut mamanya, hahaha."

Aku dan mama tertawa. Kata mama, jika diurutkan lebih banyak, bisa sampai nabi Adam. Wah, Masyaallah, ya.

"Siap-siap pergi ngaji, gih. Bentar lagi Ashar."

"Laksanakan, Mama," jawabku langsung berdiri dan masuk ke rumah.

Saat aku pergi mengaji ke musholla, aku melihat ada anak laki-laki teriak-teriak pada ibunya. Ibunya juga dipukul dan ditinju, padahal ibunya sudah bilang sakit tapi dia tidak berhenti. Aku ingin menolong ibu itu tapi takut.

Di musholla, ummi mengajarkan tentang dosa-dosa. Dosa yang sering disebut ummi adalah dosa anak pada orang tuanya. Aku jadi ingat anak yang memukul ibunya tadi, aku pun bertanya pada ummi.

"Kalau kita pukul ibu sendiri, gimana, Ummi?"

"Itu jelas berdosa, Nak. Memukul orang lain saja kita berdosa, apalagi meninju ibu sendiri," jawab ummi.

Ummi bilang, kalau kita berkata ah dan membuat hati orang tua sedih itu juga berdosa. Aku pernah gak ya, membuat hati papa dan mama sedih?

"Nabi juga bersabda, surga itu di bawah telapak kaki ibu. Maksudnya, dengan selalu berbuat baik, menolong ibu, dan tidak melawan pada orang tua, insyaallah kita bisa masuk surga." Cerita ummi lagi.

"Jadi, siapa yang mau masuk surga?" tanya ummi lagi.

Aku dan teman-teman bersorak menjawab, "Saya."

"Jangan lupa, nanti sampai di rumah, minta maaf pada orang tua, ya?"

"Insyaallah, Ummi," jawab kami.

"Sekarang, ayo doakan dulu orang tua kita," ajak ummi.

"Rabbighfir lii Waliwaalidayya Warhamhumaa Kamaa Rabbayaanii Shagiiran,

Artinya : "Tuhanku, ampunilah dosa-dosaku dan kedua orang tuaku, serta kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka telah mendidikku sewaktu kecil."



*iyuk : panggilan untuk buyut

Komentar

Postingan populer dari blog ini

.sungai jambu.

apa yang terfikirkan oleh mu jika membaca judul HARAKA kali ini? kelamaan mikirnya, baca aja cerita HARAKA kali ini tentang "Desa ku yang Permai" hahaha... Sungai Jambu adalah sebuah nama nagari di Batu Sangkar. nagari ini terletak di pinggang gunung Marapi [ketinggian ±700 meter dari permukaan laut] , kecamatan Pariangan, Sumatera Barat. nagari yang sungguh menakjubkan, yakin de siapa pun yang pernah ke sana tak akan pernah bosan dengan alamnya, eksotis banget, Subhanallah sangat [terkagum-kagum]. Sungai Jambu termasuk nagari tertua di Sumatera Barat, dialiri oleh 3 batang sungai dan dilatar belakangi oleh Gunung Marapi . bagaimana zee bisa kenal dengan desa ini? jawabannya adalaaaaahh... taraaaaa... [dasar zee stres] itu kampung halaman zee, hehe... di desa ini mama tercinta dilahirkan dan dibesarkan. nah, bagi yang suka narsis, sampe capek silahkan berfutu-futu ria, tak kan pernah puas. zee aja setiap pulkam ga pernah puas berfutu-futu [ntah apa karna futu grafernya y

ku persembahkan untuk...

Alhamdulillahirabbilalamin... akhirnya zii terbebas juga dari kertas-kertas bermasalah [istilah skripsi oleh 2 sobat maya..] mau pamer halaman persembahan ni ceritanya, reading-reading aja yah :) “Dan seandainya semua pohon yang ada dibumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habislah kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.  (QS. Lukman: 27) Alhamdulillahirrabil’alamin Sebuah langkah usai sudah Satu cita telah ku gapai Namun… Itu bukan akhir dari perjalanan Melainkan awal dari satu perjuangan Setulus hatimu mama, searif arahanmu papa Doamu hadirkan keridhaan untukku, petuahmu tuntunkan jalanku Pelukmu berkahi hidupku, diantara perjuangan dan tetesan doa malam mu Dan sebait doa telah merangkul diriku, menuju hari depan yang cerah Kini diriku telah selesai dalam studi sarjana Dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhaan-Mu ya Allah,

Reuni (POV Dezia)

Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus. Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana. Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi. Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu. Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Deg