Langsung ke konten utama

Jeruk Utrujah dan Rumput Hanzhalah

"Baiklah, kita lanjutkan bacaan Quran pekan lalu. Silahkan." Hafsha mempersilahkan seorang mahasiswa yang duduk di sudut depan sebelah kanan untuk mulai membaca Kalam Illahi.


"Saya membaca sambil lihat Ibuk, ya?" candanya khas mahasiswa playboy.


Hafsha yang sudah memahami tingkah laku anak didiknya membalas dengan senyum kecil, "Kalau kamu baca Quran karena saya, kamu tidak akan mendapat apa-apa. Pilih mana?"


"Pilih dapat pahala dong, Buk. Tapi kalau bisa dapat dua duanya, kenapa nggak?" cengir mahasiswa tadi sampil melempar pandangan ceria ke arah teman-temannya.


Sorak riuh terdengar dari segala penjuru kelas. Inilah salah satu resiko menjadi dosen teknik yang sering dihadapi Hafsha. Menghadapi tingkah pola pelajar yang didominasi para lelaki beranjak dewasa, perempuan yang masih betah sendiri ini harus memperkuat mental apalagi iman.


Hafsha mengangkat tangan kanannya, seketika suara ribut tadi hilang. Tidak lama kemudian terdengar lantunan ayat suci dibacakan. Sekalipun suara sumbang yang terdengar, desiran di kalbu begitu terasa bagi insan yang mendengar dari luar kelas. Satu orang per ayat cukup untuk mengawali perkuliahan setiap kali pertemuan.


Kegiatan ini telah dilakukan Hafsha hampir dua tahun, sebagai ajang dakwah setelah hijrahnya. Pertemuan pertama di awal semester, dosen muda ini akan menjelaskan tata cara perkuliahan di mata kuliah yang diampu. Salah satunya ialah membaca Qur'an sebelum perkuliahan dimulai. Sikap anggun dan wibawa gadis berusia 28 tahun ini mampu membius mahasiswanya untuk mengikuti aturan main perkuliahan. Tidak ada ancaman terkait nilai, semua murni sesuai keinginan masing-masing.


"Bagi yang bersedia, silahkan instal aplikasi Qur'an di hp masing-masing. Bagi yang tidak bersedia atau non muslim, boleh mendengar saja di dalam, menunggu di luar, atau membaca kitab suci kepercayaan masing-masing. Yang penting tidak membuat gaduh."


Tidak satupun yang menolak ajakan Hafsha hingga semester ini. Selesai penjelasan diberikan, mereka langsung mengunduh aplikasi Al-Kitab Qur'an.


***


"Dan Kami turunkan Al-Qur'an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur'an itu) hanya menambah kerugian." (QS. Al-Isra : 28)


Hafsha baru saja mematikan laptopnya saat seorang office boy menyampaikan pesan dari ketua program studi (prodi). Gadis penyuka warna hijau lumut itu diminta menemui atasan sekarang juga, "penting," ucap OB tadi.


"Insyaallah tidak mengganggu tujuan pembelajaran, Pak. Ini semester ke empat saya melakukannya, semua pencapaian dari mata kuliah saya baik-baik saja 'kan?" Saat ini Hafsha sedang duduk di sofa ruangan ketua. Menjawab pertanyaan Egi--sang ketua prodi--terkait cara pengajaran Hafsha, terutama kegiatan membaca ayat suci sebelum perkuliahan.


"Lalu bagaimana dengan mereka yang non muslim?"


"Alhamdulillah mahasiswa saya muslim semua."


"Kamu tidak memaksa mereka 'kan?"


"Bapak boleh tanya mereka apa saya paksa atau mereka ikhlas melakukannya. Memang kenapa, Pak? Sebagai seorang muslim saya pikir Bapak tidak mempermasalahkannya, benar?" Kali ini Hafsha memberanikan diri untuk melepaskan kegundahan yang mulai dia rasakan. Gadis itu mengetahui dengan jelas bagaimana pemahaman agama pimpinannya tersebut.


Egi tidak menanggapi pertanyaan Hafsha. Lelaki berperawakkan sedang tapi berkharisma itu mendekati teman seangkatan sewaktu kuliahnya dulu. Pandangan mereka sempat terkunci satu sama lain, begitu sadar Hafsha beristighfar dan memilih memperhatikan kegiatan di luar ruangan. Pintu ruangan sengaja dibuka setiap kali Hafsha berurusan dengan ketua prodi.


"Kenapa menolak lamaranku?" tanya Egi pelan begitu sudah berdiri di hadapan Hafsha.


"Kalau tidak ada yang penting lagi, saya pamit." Hafsha memutari meja untuk mencapai pintu keluar.


Egi telah memendam rasa pada Hafsha, gadis itu pun sudah lama menyadarinya. Hanya saja Hafsha tidak sepaham dengan gaya hidup Egi yang glamor. Terlahir dari keluarga yang sangat mampu membuat lelaki itu jauh dari Qur'an dan sunnah.


Hafsha tidak ingin seperti yang dialami teman-teman bahkan saudaranya sendiri. Menyesal menikahi laki-laki yang jauh dari ajaran agama. Pernikahan adalah ibadah terlama semasa hidup, maka seorang perempuan yang lebih mudah tergoda syaitan butuh pemimpin yang kuat memegang teguh Qur'an dan sunnah. Semua demi keutuhan pernikahan hingga ke surga kelak. Hal itu tidak ada sama sekali pada pribadi Egi.


Lamunan Hafsha terhenti ketika pintu ruangannya diketuk. Setelah dipersilahkan masuk, seorang mahasiswi mengingatkan bahwa jam mata kuliah sudah lewat beberapa menit.


'Astaghfirullah. Begitu culasnya setan untuk menjauhkanku dari Quran.' Hampir 15 menit waktu terbuang, biasanya kegiatan tilawah Quran telah selesai dilakukan. Maka kali ini mau tidak mau dosen yang mudah tersenyum itu tidak mengadakan tilawah. Hafsha menyesali lamunannya yang sungguh tidak penting tadi.


"Maaf, sepertinya kali ini kita tidak tilawah. Mengingat hari ini jadwal kuis, akan memakan waktu lebih lama," sesal Hafsha membuka perkuliahan.


"Gak apa-apa, Buk. Kami ikhlas tilawah aja dari pada kuis. Kuis, mah, dunia. Benar, gak, Pren?" sorak mahasiswa yang duduk di barisan paling belakang.


Tawa cemooh terdengar riuh, "Sok, lu, mah." Begitu rata-rata teman kelasnya menyoraki.


Setiap kelas pasti ada bintangnya. Entah itu bintang dengan nilai terbaik, ataupun bintang dengan suara ternyaring.


Seperti biasa Hafsha akan menanggapi terlebih dahulu dengan senyum kecil, "Benar, saya setuju. Tetapi di sini kita punya kewajiban yang lain. Apalagi menuntut ilmu, insyaallah pahalanya sama."


Seorang yang diketahui Hafsha sebagai ketua kelas mengangkat tangan.


"Silahkan Badril, ada apa?"


"Saya dapat pesan dari ketua prodi, Buk, hmm ...." Tampak sekali keraguan di wajah Badril.


"Ya?" Hati Hafsha pun kembali gelisah mendengar pesan dari katua prodi.


"Hmm ... beliau minta kita menghapuskan kegiatan tilawah agar waktu pembelajaran lebih maksimal. Baca Qur'an bisa di rumah masing-masing, kata beliau," tutur Badril dengan suara bergetar.


Hafsha terdiam. Suasana kelas ikut menjadi sunyi. Raga-raga yang sedang haus ketenangan batin itu memandang dosennya dengan tatapan prihatin. Mereka tahu tujuan sang dosen mengadakan tilawah sebelum pembelajaran dimulai. Tidak ada yang salah, sedikitpun tak ada yang keberatan.


Hafsha duduk menyandar. Pandangannya mengitari ke sekeliling kelas. Sepasang netranya mulai berembun, kemudian melepas nafas secara kasar.


"Begitu banyak cara syaitan agar kita menjauhi apa yang disukai Allah." Suara Hafsha begitu bergetar menahan gejolak emosi di dada. Gemeletuk gigi menahan tangis tidak lagi tertahan, satu tetes akhirnya membasahi pipi Hafsha.


Butuh lima menit Hafsha mengendalikan diri. Ingin rasanya dia berlari ke ruangan ketua prodi, mencaci maki lelaki yang merasa akan hidup selamanya itu. Namun itu bukanlah sikap seorang muslimah sesuai ajaran sunnah Rasulullah, maka Hafsha memilih menguatkan iman anak didiknya.


"Saya ... ingin kalian berterus terang. Apa kegiatan membaca Al-Qur'an membuat kalian tidak nyaman?"


Semua kepala yang sedang menghadap padanya menggeleng.


"Apa membuat kalian tertinggal pelajaran?"


Jawaban dengan kepala menggeleng kembali didapatkan Hafsha dari mahasiswanya.


"Apa ada yang membuat hati kalian resah jika kita tilawah sebelum belajar?"


"Tidak, Buk. Bahkan saya merasa lebih merasa mudah dalam menerima pelajaran." Ketua Kelas memberanikan diri bersuara menjawab pertanyaan dari sang dosen.


"Benar, Buk. Saya merasakan ketenangan yang beda jika sudah selesai di mata kuliah Ibuk. Saya rasa itu karena ngajinya." Mahasiswa lain mulai ikut menyahut.


"Saya bahkan sangat semangat di mata kuliah Ibuk, karena ada mengaji ini. Jika tidak di sini, saya gak pernah ngaji di rumah."


Kemudian diikuti pembenaran dan kata hati dari mahsiswa yang lain.


Api amarah yang tadi berkobar di dada Hafsha, seakan diguyur air hujan, menyejukkan mendengar ungkapan dari peserta didiknya. 'Alhamdulillah.'


"Oke. Kalau begitu tidak perlu kita dengarkan bisikan syaitan. Bismillah, Allah memberkahi kita," seru Hafsha dengan tersenyum lebar.


"Aamiin," sorak seisi kelas penuh semangat.


***


Tiga pekan berlalu setelah kejadian yang membuat Hafsha ingin memberi pelajaran pada Egi. Setiap hari di kelas yang berbeda, ketua kelas menyampaikan pesan yang sama dari ketua prodi untuk Hafsha. Keyakinan gadis itu bahwa Allah selalu bersama hamba-Nya yang sabar (QS. Al-Baqarah : 153), menjadikannya lebih kuat menghadapi hari setelahnya. Terbukti, kegiatan tilawah tetap berlanjut tanpa paksaan.


Bersamaan tidak ada lagi teguran dari ketua prodi, salah satu dosen favorit mahasiswa tidak lagi tampak di lingkungan kampus.


"Jadi Hafsha diskors?"


Pertanyaan yang terdengar dari dalam ruangan dosen membuat Badril semakin mempertajam pendengarannya.


"Iya, katanya karena doi memaksa mahasiswa baca Qur'an sebelum perkuliahan dengan ancaman nilai."


"Yang aku lihat sepertinya gak gitu, deh. Malah aku senang dengarnya setiap kali mendengar mereka gantian ngaji."


"Gak tau pasti juga, sih, masak hanya karena alasan itu dia diskors."


Pemuda itu tadinya ingin mencari dosen pengganti di jam mata kuliah Hafsha. Santer terdengar Hafsha tidak menghadiri perkuliahan selama seminggu ini dikarenakan sakit. Mendengar percakapan dari ruangan dosen tadi menyulut jiwa juang di dada Badril untuk membela yang benar. Akhirnya pemuda berambut ikal itu memilih tidak mencari dosen pengganti, dia kembali ke kelas dan menyebarkan berita yang didengarnya tadi.


"Oke. Untuk langkah awal kita akan mencari bukti kebenaran Bu Hafsha benar diskors. Setelahnya menemui kaprodi. Jika tidak berhasil, lanjut ke kajur. Langkah terakhir ke dekan. Deal, ya?"


Begitu hasil rembuk mahasiswa yang mata kuliahnya diampu Hafsha. Tidak semua pemuda pemudi itu ikut serta, ada yang tidak mau ambil pusing, ada juga yang akan menolong lewat doa saja. Semoga doa mereka terkabul.


Tidaklah sulit bagi Badril dan teman-temannya menemukan bukti skorsing bu dosen. Mereka hanya menemui teman terdekat Hafsha yang langsung mendukung rencana mahasiswa itu. Tanpa berpikir panjang mereka segera mengejar Egi yang akan menaiki mobilnya. Langit yang mulai kemerahan tidak menyurutkan semangat mereka.


"Kalian mengejar saya sampai ke parkiran hanya karena ini?" Emosi Egi tersulut setelah mengetahui tujuan para ketua kelas menemuinya.


"Kami gak terima, Pak, jika Bu Hafsha memang diskors hanya karna tilawah."


"Bahkan karena mengaji itu kami merasa nyaman dan semangat untuk kuliah."


"Tidak usah sok-sokan kalian. Kuliah saja yang benar, ini bukan urusan kalian!" Nada suara Egi semakin meninggi saat beberapa pemuda itu mengungkapkan isi hati mereka.


Egi memasuki jazznya dan segera meninggalkan mahasiswa yang kecewa.


***


Aroma embun pagi belum sepenuhnya menguap saat Badril dan teman-temannha sudah menunggu kedatangan ketua jurusan. Mereka berharap sang ketua jurusan yang terkenal bijak bisa membantu mencabut skorsing ibu dosen.


"Maaf, saya tidak bisa berbuat apa-apa."


Namun sepertinya harapan mereka terlalu tinggi pada Kajur. Mereka lupa bahwa ketua jurusan juga manusia, sama seperti mereka. Kekecewaan memenuhi rongga dada para pemuda itu.


Pilihan selanjutnya mereka akan menemui dekan. Berita mereka akan menemui orang penting tersebut sepertinya lebih dahulu tersebar, hingga petang mereka tidak bisa menemui pimpinan fakultas tersebut.


***


Hari ini, di kelas Badril kembali tidak ada dosen yang menggantikan mata kuliah yang dipegang Hafsha. Saat semua mahasiswa telah memasuki kelas, mereka berinisiatif melakukan tilawah.


Seorang mahasiswi membacakan arti dari ayat yang baru saja dia baca. Sebelumnya tidak pernah dari mereka membaca arti ayat yang telah mereka lafalkan.


"Dan hanya kepada Rabb-mu hendaknya kamu berharap." (QS. Al-Insyirah : 8)


"Sepertinya kita kurang doa, Pren," sambung mahasiswi itu.


"Betul. Tapi gue merasa kita sedang dikerjain tetua-tetua itu." Badril berdiri agar bisa maksimal menatap teman-temannya, "gue perhatiin tiap hari dekan masuk ruangannya. Kenapa setiap kita ke sana, mereka bilang dekan tidak di kantor?" lanjutnya berapi-api.


Pintu kelas terbuka dengan suara berdebam. Rayen, salah satu ketua kelas yang paling semangat terengah-engah mendekati Badril.


"Dekan sama sekali ga mau kita temui. Gue sempat maksa masuk ruangannya sebentar ini, tapi gue kalah kuat," geramnya.


"Kita hadapi sama-sama. Hubungi yang lain," tekan Badril melangkah keluar kelas.


Keributan tak terelakkan saat hampir semua mahasiswa yang diajar Hafsha mendorong beberapa security dekanat. Mereka tidak terima dosen yang mereka kagumi dizolimi.


Beranjak siang, kekacauan teratasi dengan ditahannya Badril, Rayen, dan beberapa mahasiswa yang terdepan. Di kantor security kampus mereka menunggu pembelaan dari siapa saja yang mau membela. Sejauh ini, tidak terdengar sosok yang akan datang menjamin mereka.


Tak ada raut kekhawatiran di wajah para pemuda itu. "Apa yang perlu dicemaskan? Kita 'kan membela yang benar." Begitu motivasi yang Rayen sampaikan pada teman-temannya.


Sementara itu Hafsha tergopoh-gopoh berlari dari kosan menuju kampus setelah mendapat telfon dari sang sahabat. Kantor security tujuan pertamanya.


Hampit dua jam perundingan dilakukan Hafsha dengan perwakilan dekan. Badril dan yang lain bebas setelah mendapat jaminan dari Hafsha.


"Masalah tidak akan selesai dengan kekerasan. Nabi juga gak pernah mengajarkan umatnya dengan perdebatan." Nasihat demi nasihat terlontar dari dosen kepada para anak didik.


Tidak ada yang berani menyahut.


"Terima kasih banyak kalian membela saya. Jika kalian ingin juga menolong saya, datangi ruangan teknisi, minta lihat rekaman cctv hari dimana saya terakhir kali di kampus, di ruangan ketua prodi."


Kepala-kepala yang tadi menunduk menegak setelah mendengar titah Hafsha. Mata-mata yang tadi redup, kembali berbinar mendapat petunjuk masalah. "Kelicikkan bisa kita kalahkan dengan kepala dingin," ucap Hafsha mengakhiri hari.


***


"Perumpamaan orang mukmin yang suka membaca Al-Qur'an ialah separti buah jeruk utrujah, baunya enak dan rasanya pun enak dan perumpamaan orang mu’min yang tidak suka membaca Al-Qur'an ialah separti buah kurma, tidak ada baunya, tetapi rasanya manis. Adapun perumpamaan orang munafik yang suka membaca Al-Qur'an ialah separti minyak harum, baunya enak sedang rasanya pahit dan perumpamaan orang munafik yang tidak suka membaca Al-Qur'an ialah separti rumput hanzhalah, tidak ada baunya dan rasanyapun pahit." (HR. Bukhari dan Muslim)


Tidak akan pernah ada yang menang melawan Al-Qur'an, sebab Allah langsung yang akan menjaganya (QS. Al-Hijr : 9 dan QS. At-Taubah : 32). Jika pembalasan tidak didapatkan penista di dunia, di akhirat dosa akan ditebus lebih berat (QS. An-Nur : 63).


Itulah yang dialami Egi saat ini. Mendapat skorsing lebih berat dari Hafsha sebelumnya, hukuman sosial pun dirasakannya. Tidak sanggup kembali menampakkan wajah di kampus, Egi memilih mengundurkan diri. Tidak ada yang tau apa rencana mantan ketua prodi itu selanjutnya, pun tak ada yang peduli.


Agam, 20022021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

.sungai jambu.

apa yang terfikirkan oleh mu jika membaca judul HARAKA kali ini? kelamaan mikirnya, baca aja cerita HARAKA kali ini tentang "Desa ku yang Permai" hahaha... Sungai Jambu adalah sebuah nama nagari di Batu Sangkar. nagari ini terletak di pinggang gunung Marapi [ketinggian ±700 meter dari permukaan laut] , kecamatan Pariangan, Sumatera Barat. nagari yang sungguh menakjubkan, yakin de siapa pun yang pernah ke sana tak akan pernah bosan dengan alamnya, eksotis banget, Subhanallah sangat [terkagum-kagum]. Sungai Jambu termasuk nagari tertua di Sumatera Barat, dialiri oleh 3 batang sungai dan dilatar belakangi oleh Gunung Marapi . bagaimana zee bisa kenal dengan desa ini? jawabannya adalaaaaahh... taraaaaa... [dasar zee stres] itu kampung halaman zee, hehe... di desa ini mama tercinta dilahirkan dan dibesarkan. nah, bagi yang suka narsis, sampe capek silahkan berfutu-futu ria, tak kan pernah puas. zee aja setiap pulkam ga pernah puas berfutu-futu [ntah apa karna futu grafernya y

ku persembahkan untuk...

Alhamdulillahirabbilalamin... akhirnya zii terbebas juga dari kertas-kertas bermasalah [istilah skripsi oleh 2 sobat maya..] mau pamer halaman persembahan ni ceritanya, reading-reading aja yah :) “Dan seandainya semua pohon yang ada dibumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habislah kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.  (QS. Lukman: 27) Alhamdulillahirrabil’alamin Sebuah langkah usai sudah Satu cita telah ku gapai Namun… Itu bukan akhir dari perjalanan Melainkan awal dari satu perjuangan Setulus hatimu mama, searif arahanmu papa Doamu hadirkan keridhaan untukku, petuahmu tuntunkan jalanku Pelukmu berkahi hidupku, diantara perjuangan dan tetesan doa malam mu Dan sebait doa telah merangkul diriku, menuju hari depan yang cerah Kini diriku telah selesai dalam studi sarjana Dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhaan-Mu ya Allah,

Reuni (POV Dezia)

Aku mengatakannya sebagai preman kampus tapi dia dikenal sebagai kapten. Rambut panjang sebahu, wajahnya seroman rambo, sangar tapi tampan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, bahkan angkatan setelah dia lulus. Kata teman perempuannya sikap kapten Gema itu membuai tapi bangsat. Kata teman laki-lakinya Gema itu teman yang asik disegala suasana. Maka tak heran saat ini semua mata tertuju padanya yang berjenggot dan bercelana cingkrang, juga aku yang berniqab. Semua orang seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. "Wess ... akhirnya Kapten kita hadir juga." Sapaan dari arah barat menghentikan langkah kami. Genggaman di tanganku terasa semakin erat saat langkah dibimbing Bang Gema ke arah panggilan tadi. Aku mengenal mereka sebagai teman dekat Abang selama kuliahnya. Sama-sama salah jalan. Dulu. Sindiran dan tawa menjadi pembuka saat kami sampai di sana. Beberapa kali tertangkap Abang melirik ke arahku. Aku tahu dia khawatir, aku bahkan lebih mengkhawatirkan hati kusendiri. Deg